Home cerpen Aku Mencintai Santrimu, Gus
Aku Mencintai Santrimu, Gus
Atiya Fauzan December 05, 2014 0
Malam belum terlalu sempurna, adzan maghrib baru dikumandangkan. Kudirikan shalat di Masjid pondok bersama ratusan santri lainnya. Allahu akbar... tiga rakaat usai dilaksanakan. Dzikir panjang aku lalui dengan sebuah lamunan. Tentang sosok pemuda biasa yang mampu menjabat sebagai raja di hatiku. Dialah Hasan Mubarak. Yang biasa dipanggil dengan sebutan ustad Hasan. Semuanya berawal dari pertemuanku dengannya dimalam selasa selepas shalat Isya. Seperti biasa, setiap malam minggu sampai malam jum’at ada kajian kitab kuning yang langsung dibimbing oleh Gus Saif. Kegiatan tersebut dimulai dari pukul 19.00-21.00. Malam itu, aku dan santriwati lainnya menunggu kehadiran Gus Saif selama setengah jam lebih. Tapi beliau tak kunjung datang. Seperti ada bunga dalam hati kami, liburkah malam ini? Namun, semua santriwati menahan senyumannya ketika terdengar suara bakiak mendekat ke arah aula. Pertanda yang tidak mengenakkan. Ternyata, bukan Gus Saif. Tapi seorang pemuda yang memperkenalkan dirinya sebagai ust.Hasan.
“Sofi, kok ngelamun maghrib-maghrib?” tegur Ais, teman kamarku yang kebetulan satu shaf denganku.
“Astaghfirullah…” tak henti-hentinya aku mengucap istighfar. Virus ust.Hasan membuatku semakin tak karuan dari waktu ke waktu.
“Ngelamunin apa Sof?”
“Nggak penting kok” balasku seraya tersenyum manis
Aku hanyalah wanita biasa yang tak bisa lepas dari cinta. Entah itu cinta yang nyata ataupun maya. Malam selasa itu, merupakan awal dari rasa yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Rasa yang menyebabkan ust.Hasan bertengger dipikiranku. Rasa yang menyebabkan suara ust.Hasan terngiang selalu. Cinta O cinta.
Tet…tet…tet… suara bel pondok menjerit tak karuan. Berlomba menjadi bel terkeras. Menyaingi suara bel dari antar daerah. Tanpa aba-aba lagi, para santriwati mengenakan busana rapi. Siap dengan sebuah pena dan kitab kuning bertuliskan “Tadzhib”. Jantungku berdetak tak seperti biasanya, virus cinta mulai merasukiku kembali. Hingga terlintas sebuah harapan “semoga ust.Hasan yang mengisi malam ini”. Sepasang sandal jepit, aku pacu melangkah ke arah aula. Mencari tempat strategis, tak terlalu nampak dan tak terlalu tersembunyi. Aku mainkan pulpen hitamku, meminimalisir ketegangan yang mungkin hanya aku yang mengalami di aula ini.
“Kamu kenapa Sof? Kok aneh?”
“Aneh? Maksudnya?”
“Biasanya kan sambil nunggu Gus Saif rawuh kamu itu yang paling rame dan banyak ngomong. Tumben sepi”
“Lagi ada masalah saja”
“Masalah apa? Sama pengurus?”
“Bukan”
Aku tak mungkin berterus terang mengenai masalah hatiku ini.
“Terus?”
“Hanya masalah,
Belum selesai aku berbicara, terdengar suara batuk yang membuat suasana aula menjadi sangat hening. Ternyata Gus Saif sudah rawuh. Ada sedikit kecewa menyelimuti hatiku, kenapa bukan ust.Hasan. Dosa besar kamu, Sofi gerutuku dalam hati pada diri sendiri. Kenapa aku harus kecewa saat Gus Saif bisa hadir untuk mentransfer ilmunya kepada para santri. Oh… ust.Hasan, pesonamu meluluh lantakkan jati diriku. Kau telah mampu membuatku lupa daratan. Begitu dahsyatnya cinta antara kaum Hawa dan kaum Adam. Mungkinkah ini yang dinamakan magnet hati. Merasa selalu ingin memandang dan berada didekatnya. Entahlah. . .
Sedikit demi sedikit suara gaduh mulai berkurang. Dibawah jam dinding yang menunjukkan angka 11, aku mengurai kata dan menjalin makna. Tengah malam memang, tapi hal itu tidak bisa mencegahku untuk tetap menulis. Malam ini, terangkai sebuah puisi yang mungkin menggambarkan sedikit perasaanku atas ust.Hasan.
Seperti ada bunga dalam hati
Ketika ia ada
Serasa berbaring di taman diri ini
Ketika ia mulai menyapa
Inikah cinta?
Cinta yang sebenarnya
Cinta seperti kata para pujangga
Perasaan ini apa adanya
Yang dilukiskan dalam kata-kata
Jantumgku bekerja tak teratur
Saat suaranya mengalun
Keringat dingin berontak keluar
Saat senyumnya mengembang
Inikah cinta
Cinta yang sebenarnya
Cinta seperti kata para pujangga
Ketika cinta melanda
Syair cintapun tercipta tiba-tiba
Mimpi, angan, nyata, dipenuhinya
Coba selami sesuatu janggal
Didalam rongga dada
I N I K A H C I N T A ?
Aku membacanya berulang kali, terbesit sekilas senyuman manis ust.Hasan. Dengan segera aku tepis, astaghfirullah… dia bukan orang yang halal untuk aku bayangkan senyumnya. Dia tak pantas masuk dalam pikiranku. Berulang kali aku beristighfar.
***
Pagi dihari minggu, aku melangkahkan kaki menuju ndalem kyai. Speaker besar didepan kamar menjeritkan namaku “Sofi kamar Madinah-Tiga segera ke ndalemkarena ditimbali ibu Nyai”. Ada apa ini? Tanyaku pada diri sendiri. Mungkinkah ada Abah di ndalem? Inikan hari minggu, Abah biasanya selalu ke luar kota. Ada apa ya? Tanyaku semakin penasaran. Aku memang sering ke ndalem, karena ada Abah atau ada Umi yang mengunjungiku. Aku masih memiliki hubungan darah dengan keluarga ndalem.Nenekku dengan Uminya Gus Saif adalah adik-kakak.
“Masuk nduk” suara lembut ibu nyai menyadarkanku
“Enggeh”
Sambil menundukkan kepala aku mendekat ke arah wanita lembut nan anggun dihadapanku. Meski masih sanak family dengan beliau, aku tak bisa bersikap biasa saja. Ada sesuatu yang mengaharuskanku untuk menatap lantai.
“Duduk nduk, duduknya diatas jangan dibawah”
“Enggeh”
“Tadi malam, ibu nyai sama gus bertamu kerumahmu”
“Enggeh”
“Umimu titip salam”
Aku hanya mengangguk kecil disetiap pernyataan ibu nyai. Ditengah perbincanganku dengan ibu nyai terdengar suara langkah khas yang sangat aku hafal, Gus Saif.
“Kamu toh Sof. Sudah lama?”
“Belum gus”
“Gimana sekolahnya?”
“Alhamdulillah lancar”
“Kamu sudah kelas akhir ya?”
“Enggeh, dua bulan lagi insya Allah sudah lulus”
Gus Saif mengambil posisi duduk disamping ibu nyai. Aku tertunduk dihadapannya.
“Sudahlah Bi, langsung saja” ucap ibu nyai pada Gus Saif
“Begini, kamu dipanggil kesini bukan tanpa alasan. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan sama kamu”
“Enggeh”
“Sekarang, kamu sedang ta’aruf dengan seseorang? Menurut orangtuamu sih, tidak. Tapi kami ingin mendengarnya langsung dari kamu”
“Mboten gus”
“Baguslah, kamu tahu Khoirul? Anakku yang kuliah di ITB Bandung”
“Enggeh”
“Ganteng?”
Aku tak menjawab. Menundukkan kepala malu. Apa maksud sebenarnya, mungkin wajahku sekarang sudah semerah kepiting rebus. Aku tahu semuanya hanya bercanda, tapi aku tetap tersipu.
“Jangan gitu Bi. Kasihan Sofi. Jangan terlalu tegang nduk”
“To the point saja ya, kami dan orangtuamu berniat menjodohkanmu dengan Khoirul”
Hah? Badanku terasa lemas, aku bingung harus bahagia atau bersedih. Gus Khoirul bukan pria sembarangan, dia cerdas, jenius, sholeh, pendiam, penurut. Begitulah pendapat teman-teman santri mengenai Gus Khoirul. Sedangkan aku? Wanita yang sangat biasa, tak pantas rasanya aku bersanding dengannya, mana mungkin dia mau denganku? Dalam lubuk hatiku, ada sebuah jawaban TIDAK. Bukan karena minder, itu hanyalah alasan ke-seribu bagiku. Tapi karena Ust.Hasan lah yang aku sebut dalam sujud terakhirku, bukan Gus Khoirul.
“Jangan terlalu dipikirkan ya nduk. Kamu sekolah saja dulu. Fokus sama pendidikan, jangan lupa istikharah juga” nasehat ibu nyai padaku, sebelum aku keluar dari ruangan itu.
***
Berselimut malam, aku berbaring diatas kasur lantai. Berpikir panjang, tentang sebuah jawaban yang tak mengecewakan. Aku bingung, alasan apa yang harus aku gunakan untuk menolak Gus Khoirul. Apa yang harus aku katakan pada Abah dan Umi. Beralasan karena ust.Hasan? Sangat tidak masuk akal, ust.Hasan tahu namaku saja sudah Alhamdulillah. Dalam hal ini yang terjadi tak lebih dari cinta sepihak. Berkenalan langsung saja belum pernah, apalagi tiba-tiba mengakuinya sebagai calonku. Hmmm…
***
“Sofi kamar Madinah-Tiga segera ke reception karena ada tamunya”. Suara yang membuatku terpaksa menunda aktifitas awalku, membaca. Siapa sore-sore begini mengunjungiku, anak OSIS putra atau si Adli sepupu jauhku? Dengan baju yang tak begitu rapi (tapi menutup aurat) aku melangkah ke arah reception. Melewati daerah Makkah yang paling dekat dengan pintu gerbang, aku dongakkan kepala kepada si penjaga reception.
“Siapa mbak?” tanyaku
“Duduk disebelah sana” tunjuk Mbak Vivi yang kebetulan piket hari itu. Dia menunjuk sebuah tempat yang tak nampak begitu keluar dari gerbang. Aku segera mengikuti arah telunjuk Mbak Vivi. Hanya ada satu orang, laki-laki berkopyah dan menundukkan kepala. Dia mendongakkan kepala ketika mendengar suara sandalku. Ototku menjadi lemas seketika melihat tahu siapa yang sedang duduk dihadapanku. Aku sudah tak mampu menopang badanku sendiri. Aku juga bingung dengan penampilanku. Tanpa bedak, tanpa celak, dan pakaian tabrak warna. Huft…
“Assalamu’alaikum” sapanya seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Wa’alaikumsalam” balasku dengan suara yang tertahan. Mimpi apa aku semalam, bisa bertemu bidadara disore hari.
“Saya Hasan. Khadam-nya Gus Saif”
Aku tak menyahut, tak perlulah dia memperkenalkan diri. Jangankan nama, alamat rumah dan tanggal lahirpun sudah aku kantongi.
“Saya oleh Gus Saif disuruh memberikan ini untuk sampean”
Dia memberikan sebuah bungkusan plastik berwarna putih.
“O…iya terima kasih”
“Mari, saya pamit dulu”
“Ustadz”
“Iya ada apa neng?”
“Jangan panggil saya neng, panggil saja Sofi”
“Tidak bisa neng Sofi”
“Enggeh pon”
“O ya, ada apa neng?”
“Terima kasih sebelumnya”
“Iya neng, tidak apa-apa. Ini sudah kewajiban saya”
“Saya mau tanya-tanya. Sejak kapan ustadz tahu nama saya?”
“Sudah lama neng, Gus Saif dan ibu nyai sering bercerita tentang neng Sofi”
Wow. Berarti dugaanku salah, ini merupakan pertanda yang baik.
“Ada yang mau ditanyakan lagi neng?”
“Hmm… sudah nggak ada” jawabku bohong. Sebenarnya ada ribuan pertanyaan dibenakku untuk ustadz
“Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
***
Hari libur di hari Jum’at. Aku habiskan waktu dipojok kamar. Memeluk sebuah bantal dan merenung, apa yang harus aku lakukan dengan cintaku. Membiarkannya saja hingga lupa atau mengusahakan mendapatkannya. Banyak konsekuensi yang harus aku terima disetiap keputusan. Ya Rabb, berilah aku petunjukmu. Jika memang ustadz Hasan adalah jodohku, dekatkanlah, mudahkanlah jalannya. Jika dia bukan jodohku, berilah pengganti yang lebih baik darinya. Amin…
***
Akhir-akhir ini, para Gus Khoirul Lovers sedang berbahagia. Bagaimana tidak, hal yang mereka khawatirkan, yakni perjodohanku dengan Gus Khoirul dibatalkan. Alasannya, aku dan Gus Khoirul ternyata sama-sama merasa berat hati dengan perjodohan ini. Tapi Gus Khoirul yang pertama kali memberanikan diri untuk bersuara pada Gus Saif, lalu disusul dengan anggukan kepalaku. Dan akhirnya, aku bisa kembali tenang dan kembali bebas…
***
Kelulusan MA Zainul Hikam. Merupakan saat-saat yang paling membahagiakan. Aku lulus dengan nilai terbaik untuk kategori putri. Abah dan Umi memberiku hadiah sebuah laptop dan handphone. Akhirnya, aku bisa menggunakan alat-alat yang dipakai oleh orang-orang diluar sana. Ditengah semuanya, ada kesedihan yang pernah menyelimuti hatiku. Siang itu, satu hari sebelum aku boyongan, Gus Saif menyuruhku untuk ke ndalem. Di ruang tamu berukuran 5x9 itu duduk Gus Saif dan Ibu nyai. Ada sedikit gugup masuk ke dalam ruangan itu. Ada apa lagi ini. Aku tak bisa melupakan bahwa aku adalah calon menantu beliau yang “nggak jadi”. Pada awalnya, Gus Saif membicarakan masalah-masalah ringan. Dan tak lama setelah itu, dugaanku benar, ada udang dibalik batu. Lagi dan lagi, Gus Saif menawarkan perjodohan. Please deh, ini hidupku, aku ingin hidup bahagia dengan pilihanku. Saat itu, aku hanya bisa menyimak sambil menundukkan kepala. Ketika itu Gus Saif berkata,
“Orang tuamu minta tolong, agar kamu dicarikan jodoh. Mereka ingin, begitu kamu keluar dari sini, sudah ada mahramnya. Kuliahkan jadi enak kalau sudah ada yang halal. Tidak terganggu dengan godaan yang haram”
Aku hanya bergumam dalam hati. Kenapa Abah dan Umi begitu ingin melihatku menikah secepatnya. Aku masih muda, baru 19 tahun. Hmmm…
“Kalo saya sama ibu nyai inginnya begitu keluar kamu langsung menikah saja, tapi orang tuamu ingin kamu tunangan dulu. Kalau sudah siap baru menikah. Sekarang tinggal mencari yang cocok buat kamu itu siapa”
Ada sedikit ketenangan dalam hatiku
“Kamu sudah ada calon apa belum Sof? Kalau belum, kami carikan bagaimana? Boleh ditolak kok”
Aku semakin terdiam. Teringat dengan senyum manis ust.Hasan.
“Saya coba ajukan satu nama. Anaknya baik dan ulet. Sudah lulus S1, sekarang masih semester 2 di pasca sarjana. Asli orang Madiun. Wajahnya ya tidak tampan juga tidak jelek. Tapi aku berani jamin, dia orangnya jujur dan bertanggung jawab. Orang tuanya dulu satu kamar denganku sof. Dan sekarang juga sudah punya pesantren di Madiun. Meski lebih besar dari sini, tapi dia mempercayakan anaknya untuk nyantri disini” papar Gus Saif
Aku tetap tak bersuara. Ternyata seorang putra kyai yang ingin dijodohkan denganku. Aku tetap tak bergeming, wajah ust.Hasan meliuk-liuk dalam benakku. Meski pria yang dimaksud Gus Saif setampan Tom Cruise, sekaya Keluarga Bakrie, sepintar Albert Einstein, hatiku tetap memilih sosok sederhana yang sudah banyak menyita waktu, tenaga, perasaan, dan pikiranku. Yakni, ustadz Hasan.
“Bagaimana?”
Aku bergumam dalam hati Aku mencintai santrimu,Gus
“Kamu istikharahkan dulu”
Aku hanya menganggukkan kepala
“Namanya Hasan Mubarak. Santri kepercayaanku”
What? Itukan nama panjang ustadz Hasan. Aku tertawa dalam hati, lebih riang dari anak TK yang sedang bernyanyi. Ya Rabb… inikah jawabanmu. Syukran. Dan akupun menangis di depan Gus Saif dan Bu Nyai. Beliau melihat heran kearahku. Sungguh, aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan kebahagiaan ini.
*Iseng beres-beres file, menemukan cerpen yang aku tulis 4 tahun lalu. Terima kasih sudah mampir.*
*Iseng beres-beres file, menemukan cerpen yang aku tulis 4 tahun lalu. Terima kasih sudah mampir.*
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment