Home cerpen Ini Kamar Siapa? (Cerpen)
Ini Kamar Siapa? (Cerpen)
Atiya Fauzan April 04, 2015 0
Dalam ketidakmampuan mengatupkan mata, aku masih mengenang.Mengingat malam-malam lalu.Diluar sana langit masih gelap, bintang bertabur, dan rembulan bercahaya sabit. Namun, di dalam kamar ini, semuanya terasa berbeda. Kamar yang sudah tiga puluh lima tahun aku dan suamiku huni. Menjadi ruang yang paling indah dan kurindukan, karena disinilah malaikat-malaikat kecil kami bermula, dan disini juga kami berbagi cerita, bertukar pikiran, menyembunyikan amarah, menjalin asmara, serta bercanda tawa. Jika mengingatnya, ada setitik air mata yang ingin aku jatuhkan.35 tahun silam. Tepat pada tanggal 03 Februari 2009 pernikahan kami dilaksanakan. Disaksikan puluhan pasang mata, Mas Agung duduk di depan penghulu dengan wajah tegang. Aku tertunduk disamping Ibu sambil sesekali melihat ke arah pengantin pria. Ada serbuan tangis mengaliri pipiku ketika Mas Agung berkata “Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Vinka Kinanti binti Sulaiman dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat sepuluh gram dibayar tunai.”
Sahutan kata ‘sah’ dari para saksi membuat bibirku basah oleh kalimat hamdalah. “Akhirnya aku halal bagi Mas Agung” gumamku dalam hati
Memiliki tanggung jawab baru sebagai seorang istri, bukanlah perkara mudah.Ada banyak ilmu dan pengetahuan yang tidak cukup kita pelajari di bangku kuliah ataupun buku-buku.Inti dari menjadi seorang istri yang baik bukanlah menguasai banyak teori, tapi mempraktekkan sebanyak mungkin teori yang telah dimiliki.Namun, sungguh beruntung aku memiliki suami seperti Mas Agung.Dimalam pertama kami sah sebagai pasangan suami istri, Mas Agung menyampaikan rangkaian kalimat yang melelehkan hatiku, “Dek Aisyah, apa adanya kamu sudah menyempurnakan hidupku.Aku mencintaimu dan memilihmu, karena hanya kamu yang bisa hatiku jamin untuk bertahta sebagai ratu selamanya. Dalam kondisi apapun kamu nanti, percayalah aku akan tetap disampingmu. Aku berjanji. Dan pria sejati tidak pernah melanggar janji” , Hanya Mas Agung yang mampu mencintai kelebihan dan kekuranganku, baik dimasa lalu, masa kini, ataupun dimasa depan.Aku sudah dimaafkannya sebelum melakukan kesalahan itu sendiri.Dan aku sudah diterimanya sebelum kekurangan itu hadir bertambah banyak.
Satu minggu setelah pernikahan, Mas Agung mengirimkan sebuah pesan singkat yang berbunyi, Kamarku Surgaku.Tidak sabar menunggu pagi berlari kepada sore. Sungguh, ingin rasanya aku tinggalkan tumpukan pekerjaan kantor, demi melihat senyum bidadari surgaku, Aisyah Vinka Kinanti.Aku hanya tersenyum pada layar handphone yang memuat pesan itu.Begitulah suamiku, penuh kejutan dan canda.Dan memang benar, aku juga menganggap bahwa kamarku surgaku.Karena kami berdua lebih banyak menhabiskan waktu di dalam kamar. Sholat berjama’ah, membaca buku, nge-game, curhat-curhatan, menonton film, semuanya bisa kita lakukan di dalam kamar. Karena kami sengaja mendesain kamar cukup luas dengan dilengkapi beberapa fitur lengkap. Seperti musholla mini, LCD proyektor, perpustakaan mini, play station, kamar mandi, dan lainnya.Alhasil, kami sepakat menyebut ‘kamarku surgaku’.Lebih dari itu semua, yang paling penting dari kamar kami adalah, adanya kami berdua. Hilang satu, kamar ini tidak berarti apa-apa.
Di kamar yang layak surga bagi kami berdua, aku dan Mas Agung menjalani dan mendapati kebersamaan yang indah.Seperti ketika suatu malam, kami berjama’ah shalat Maghrib. Aku berdiri tegak di belakang Mas Agung. Seusai shalat, aku mencium punggung tangan suamiku tercinta dan dia membalasnya dengan kecupan di keningku.
“Ternyata Dek Aisyah lebih dari yang Mas pinta dalam sujud terakhir selama ini” ucapnya memandangku
“Dan Mas Agung adalah jawaban dari doa adek” balasku
Dan dimenit selanjutnya, ditempat yang sama, kamar kami tercinta,Mas Agung, melantunkan ayat Al Qur’an. Aku pun menyimaknya.Telingaku dihiasi dengan suara lantunan ayat suci.Lisanku dihiasi dengan do’a dan nasehat.Mataku dihiasi dengan pandangan teduh seorang suami.Sungguh, ribuan hamdalah tak cukup rasanya untuk mengekspresikan rasa syukurku kali ini. Satu jam kemudian, terdengar suara adzan Isya’. Kami pun bergantian untuk berwudhu’.Dan akhirnya, kami sudah siap untuk berjama’ah.
“Dek Aisyah, mau jama’ah sama mas?” tanyanya lembut
“Iya Mas Agung” jawabku tak kalah lembut
“Mas jadi grogi”
“Grogi kenapa?”
“Mas tidak pernah mengimami makmum secantik adek” rayunya dengan senyum manis
“Gombal” jawabku sok imut
“Jangan begitu dong wajahnya, nanti batal lagi wudhu’nya mas”
“Kenapa bisa?” tanyaku heran
“Mas jadi ingin cubit pipi adek”
“Suruh siapa pilih istri yang imut”
“Suruh siapa adek mau menerima mas”
“Sudahlah mas, ayo dimulai shalatnya”
“Astaghfirullah…”
Namun, kami juga pernah bertengkar, diruang yang sama, kamar kami tercinta. Ketika itu malam minggu, kami berdua sepakat menghabiskan waktu sembari menonton film. Dengan cepat aku memutar DVD Drama Korea Boys Before Flower, karena meski berulang kali menontonnya, aku tidak pernah bosan.Mas Agung langsung memasang wajah asam sembari berkacak pinggang di hadapanku.
“Kok Lee Min Ho lagi dek?” tanyanya tanpa senyum
“…” aku diam seribu bahasa
“Malam minggu ini, sebenarnya tentang adek, atau tentang kita?” Mas Agung kembali bertanya dengan gaya dan posisi yang sama. Emosi.
“Maaf” balasku seraya mematikan si drama korea dan langsung tidur memeluk bantal
Hening.Mas Agung berdiri di samping tempat tidur, dan aku tidur membelakanginya. Semenit kemudian, dia memanggilku dengan manja,
“Dek Aisyah”
“…”
“Ayo nonton Lee Min Ho lagi”
“…”
Karena tidak ada jawaban, Mas Agung kemudian menghampiriku dan meraih kepalaku lalu mendekapnya.
“Maafin mas ya dek, mas yang salah” bisiknya
“Adek yang salah mas” balasku pada akhirnya
“Adek kan sedang ada tamu bulanan, wajar kalau emosinya tidak stabil.Mas yang normal malah tidak mau mengalah. Maaf ya.”
Dan akhirnya kami pun berdamai dalam hitungan menit
***
Semua hal indah itu, kebersamaan dan perselisihan, aku alami selama puluhan tahun.Mulai dari kulitku masih kencang hingga keriput dimakan waktu.Namun, semuanya harus berubah.Sejak setahun silam, Mas Agung menampakkan sikap yang tidak biasa. Pria yang aku kenal disiplin dan cerdas, saat aku titipi daftar belanja di mini market, kembali pulang dengan tangan kosong dan kebisuan yang mendalam. Sekali dua kali, aku masih memakluminya, karena usia kami sama-sama senja. Tapi, sikap aneh Mas Agung terjadi berulang kali, dan intensitasnya semakin hari semakin sering saja.Aku menyadarinya bahwa Mas Agung berbeda.Seperti sering lupa meletakkan kunci mobil dimana dan pernah suatu ketika Mas Agung yang begitu membenci kopi tiba-tiba minta dibuatkan kopi dan menghabiskan 3 gelas sekaligus.
Aku merasa iba pada imam hidup yang telah mendampingiku selama ini.Aku yang cemas pada keadaan Mas Agung, tentu tidak menginginkan sesuatu buruk terjadi.Pada akhirnya aku menghubungi putra bungsuku yang merintis karir di negeri ginseng, Korea Selatan.Karena dua anakku yang lainnya sudah berkeluarga dan tinggal di Belanda.Aku hanya tidak ingin menganggu mereka.
“Assalamu’alaikum Rajid” ujarku menyapa si bungsu
“Wa’alaikumsalam Mama” terdengar suara yang kurindu di seberang telepon
“Nak, apa kabar kamu sekarang?Sehat?”
“Alhamdulillah Ma. Papa dan Mama apa kabar disana?”
“…” aku terdiam, tidak menjawab pertanyannya
“Mama kenapa? Mama sakit?” tanya Rajid dengan suara penuh cemas
“Mama rasa, Papa yang sakit nak” jawabku pelan
“Sakit apa Ma?Tekanan darah Papa naik lagi?”
“Bukan jid.Papamu berubah.Tidak seperti biasanya.Terkadang tidak bisa membedakan mana siang mana malam.Kemarin, tepat jam 10 malam, Papamu minta lari pagi keliling kompleks.Terus juga setiap pagi selalu minta dibuatkan kopi. Mama bingung. Apa ini masalah jiwa?” jelasku panjang lebar
“Papa juga sering lupa terhadap hal sepele hingga hal penting?”
“Iya jid.Kamu tahu Papa kenapa?”
“Mungkinkah Alzheimer Ma?”
“Alzheimer?” aku tak percaya mendengarnya
***
Dan malam ini, aku lalui seperti malam-malam setahun lalu hingga kini. Tetap terjaga menemani detakan jarum jam yang akan mengarah pada tengah malam. Karena menjadi kebiasaan Mas Agung untuk bangun tepat jam 12 malam, dan melakukan segala aktifitas yang ingin dia lakukan. Seperti sholat, lari santai, makan, mencuci mobil, dan lainnya. Meski berulang kali aku ingatkan, hasilnya tetap sama. Aku hanya bisa setia dan berdo’a saja.Berharap obat-obat yang Mas Agung minum bisa mengembalikan sosoknya seperti sedia kala. Sungguh, saat kenangan itu bertepuk sebelah tangan, kami tidak bisa berpegangan sembari bernostalgia bersama. Memang, kami adalah pasangan, namun kami berada di dunia yang berbeda. Meski suami hebatku terkadang lupa siapa ‘Dek Aisyah’ yang begitu dicintainya, aku masih memiliki ingatan sempurna dan aku masih mengingat semuanya, tentu aku tidak akan pernah meninggalkannya, meskipun dokter telah memvonis Mas Agung terkena Alzheimer taraf medium.
“Dek” panggil suara parau yang tepat berada di sebelahku
Aku tersentak kaget dan tersadar dari lamunan panjang.Beruntung kali ini Mas Agung mengenaliku.Semoga semuanya semakin membaik, do’aku dalam hati.
“Iya mas?”
“Ayo jalan-jalan, sekalian cari tukang sayur” pintanya
Ini tengah malam, aku mengatakan yang sebenarnya pun percuma. Aku harus mencari alasan lagi, untuk menghindari aktifitas yang akan menjadi bahan perbincangan para tetangga.
“Mas, adek kurang enak badan. Bagaimana kalau kita minum kopi saja”
“Baiklah” ucapnya seraya beranjak dari tempat tidur
Benar saja, tebakanku tepat.Mas Agung memasuki kamar sambil membawa dua cangkir kopi.Aku merasa bersalah dengan sakitku yang pura-pura dan malah merepotkannya.
“Ini dek diminum” cangkir itu diarahkan padaku
Dan hampir saja aku memuntahkan kopi yang terlanjur diminum, rasanya asin.Namun, demi menjaga perasaan Mas Agung, aku tetap menikmatinya.
“Mas, tidak terasa kita sudah tua ya” ucapku memulai percakapan, di malam yang diterangi oleh sinar lampu kamar
“Kata siapa?” wajahnya menunjukkan rasa heran
“Kita sudah menjadi pasangan berkepala enam. Namun aku bersyukur, kita masih bersama ditempat yang sama”
“…” dia terdiam
Aku mencoba memancing untuk bernostalgia
“Kamarku surgaku. Dulu kita sering mengucapkannya mas” ucapku tiba-tiba
“Kamar?Kenapa seperti surga? Apa indahnya?” tanyanya polos
Tidak terasa aku menjatuhkan air mata.
Oh, suamiku, tidakkah satu saja yang bisa kau kenang diusia senja ini. Entah itu saat kita berjama’ah bersama, bermain game yang sama, berebut menonton film favorit masing-masing, menunggu detik-detik kelahiran anak-anak kita atau saat kau tegang menikahiku, ucapku lirih dalam hati
Lalu kemudian aku raih jemari Mas Agung, dan menggenggamnya kuat.
“Mas, apa adanya kamu sudah menyempurnakan hidupku.Aku mencintaimu. Aku tahu, terkadang kamu tidak memahami banyak hal, tapi percayalah aku akan tetap disampingmu untuk memberi pemahaman itu”
“…” Mas Agung membisu
Aku bingung.Aku tidak tahu harus menjelaskannya darimana pada Mas Agung. Aku tidak paham apa yang tidak dia mengerti dan apa yang sebenarnya ingin dia tahu.Bagian mana yang dia ingat dan bagian mana yang dia lupa.Pikiranku buntu.
“Adakah hal yang mengganjal dan ingin Mas Agung tanyakan?”
“Iya”
“Apa mas?”
“Ini kamar siapa?”
Aku menghela nafas panjang.Tidakkah dia mengerti bahwa di kamar ini hanya ada kami berdua, dan itu artinya ini adalah kamar milik kita berdua.
“Inilah kamar yang laksana surga, bagi Mas Agung dan juga bagiku.Perjalanan hidup kita selama 35 tahun bersama, lebih banyak dihabiskan di kamar ini mas.Kamar ini penuh sejarah canda, suka, dan duka. Dikamar ini pula kita berdua melakukan banyak aktifitas yang biasanya orang-orang lakukan di ruangan lain. Seperti menonton film, sholat berjama’ah, membaca buku, dan hal lainnya” jelasku panjang lebar.
“…” dia kembali terdiam.
Tak mengapa jika sehari kemudian Mas Agung lupa kembali tentang hal, ini kamar siapa, atau bahkan lupa siapa aku yang terus berada di sampingnya. Aku tidak akan menyerah. Aku bersedia bingung bersamanya. Aku akan merawatnya hingga nafas terlepas. Aku tidak ingin menyerahkan kenangan yang sudah kami buat pada orang lain. Biarkan aku setia dan menjaganya, itulah pintaku pada anak-anak dan dokter yang merawatnya.
(Sorry guys, meski cerpennya amburadul dengan logika cerita kacau balau, masih aku posting. Mohon koreksinya)
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment