Home inspiratif Mengejar Rupiah (Cerpen)
Mengejar Rupiah (Cerpen)
Atiya Fauzan June 07, 2015 0
Mengejar Rupiah (Cerpen) - Udara dingin menembus jaket lusuh yang aku kenakan. Aaaargh… dingin sekali malam ini. Jaketku satu-satunya pemberian almarhum bapak, tidak bisa membantuku untuk berperang melawan dinginnya malam. Dari lubang-lubang kecil dinding bambu rumahku terlihat samar cahaya bintang. Indah. Malam semakin larut namun mbak Ita belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Mungkin masih membantu emak membuat kue di dapur. Mataku belum mau terpejam, kuitari pandangan keseluruh kamar.
Di kamar sederhana ini hanya ada satu ranjang untuk kami berdua. Tak ada perabotan lain. Hanya ada sebuah ranjang yang hampir reot. Detik ini, mataku mulai mengantuk, kudengar langkah kaki Mbak Ita memasuki kamar.
“Anis, kamu masih belum tidur?” tanya Mbak Ita
“Belum mbak, Anis kedinginan” jawabku
Mbak Ita pun meraih selimut dan menyelimutiku.
“Mbak pakai apa? Mbak kan tidak pakai jaket”
“Selimutnya pakai kamu saja, nanti kamu sakit. Mbak keringetan habis bantuin emak barusan di dapur” ucap Mbak Ita sambil berbaring disampingku
“Enak ya mbak kalo seandainya rumah kita dari tembok, kita tidak akan kedinginan seperti ini” kataku seraya memandang genteng rumah
“Huuus… jangan ngomong seperti itu. Bersyukurlah kita masih sehat, kamu masih bisa sekolah, kita masih punya rumah meski sangat sederhana, dan punya emak yang sangat sayang sama kita”
“Iya mbak… maaf” ucapku penuh sesal
Mbak Ita lalu memelukku penuh kasih. Terima kasih Tuhan telah memberiku kakak sebaik Mbak Ita. Biarlah meski lantai rumahku dari tanah dan dinding rumahku dari bambu. Yang penting emak dan Mbak Ita tetap disampingku. Ditengah malam aku terbangun, aku lihat Mbak Ita menggigil kedinginan. Udara malam ini memang sangat tidak bersahabat. Aku lepaskan pelukannya perlahan dan aku selamuti dia. Semoga aku tidak membuatnya terbangun.
Pagi yang indah menyambutku hari ini. Selesai mandi aku kenakan seragam putih-biruku. Almarhum bapak pasti bangga melihat anaknya masih bisa tetap sekolah hingga SMP.
“Anis… kamu sudah mau berangkat? Jangan lupa makan dulu” teriak emakku dari dapur
“Iya mak” jawabku
Aku hampiri meja yang terletak didepan kamarku. Lima buah singkong bertengger.
“Alhamdulillah, Bismillahirrahmanirrahim” ucapku
Dengan terburu-buru aku makan singkong lalu ke dapur untuk berpamitan pada emak dan mbak Ita. Aku lebih beruntung dari kakakku satu-satunya itu. Mbak Ita tidak sempat lulus SD. Ia rela berhenti sekolah demi aku. Karena sejak bapak meninggal, emak tidak bisa membiayai kami berdua untuk sekolah. Akhirnya, mbak kerja bantuin emak untuk jualan gorengan, garap sawah orang hingga menjadi buruh cuci. Terima kasih emak. Terima kasih mbak Ita. Aku berjanji akan menjadi anak yang berprestasi.
Setibanya di sekolah, aku berjalan dari gerbang ke kelas dengan penuh rasa percaya diri. Biarlah teman-teman meledekku dan melihatku dengan tatapan aneh. Apa yang mereka katakan memang benar. Tidak ada gunanya jika marah, buang-buang tenaga saja. Laila berkata demikian kepadaku. Dialah satu-satunya sahabat yang aku miliki di sekolah ini. Buat apa menanggapi sikap mereka. Meskipun mereka mengatakan “hai anak yatim”, “orang dekil”, “sikurus datang, mungkin gak pernah makan”. Lalu disambut oleh tawa dari teman-teman. Aku tahu, bapakku sudah meninggal tidak seperti bapak mereka yang dengan gagahnya menaiki mobil atau sepeda motor untuk antar jemput anaknya. Aku tahu, sepatuku sudah robek disana-sini tidak seperti sepatu mereka yang selalu baru tiap tahunnya. Aku tahu, makananku selalu singkong tidak seperti mereka yang bisa makan nasi disetiap harinya. Tapi mereka tidak tahu aku selalu juara kelas, mereka tidak. Aku juara pidato di sekolah ini, mereka tidak. Aku tidak pernah mendapatkan nilai ulangan Matematika dibawah 90, mereka iya. Aku tersenyum dalam hati. Bukan senyum kesombongan tapi sebuah senyuman untuk menghibur diri. Senyum milik semuanya kan. Siapapun bebas tersenyum. Tidak ada peraturan hanya orang kaya saja yang boleh tersenyum.
Tepat pukul 12.30 sekolah usai. Aku langkahkan kaki menuju rumah, sekitar 30 menit waktu yang harus aku tempuh. Laila sudah dijemput bapaknya tadi. Begitupun teman-teman yang lain. Hari yang melelahkan, tapi aku harus tetap semangat. Aku persembahkan semuanya untuk bapak, emak dan mbak Ita. Ejekan dari teman-teman hanya masalah kecil saja bagiku. Aku masih punya guru-guru dan sahabat setiaku, Laila.
“Anis… udah datang?” tanya Mbak Ita kepadaku
“Iya mbak, mana emak?” tanyaku tentang keberadaan wanita tua yang tetap memiliki semangat muda
“Lagi ada cucian di rumahnya Bu RT, gimana dengan sekolahmu hari ini?”
“Sangat menyenangkan, tambah betah saja di sekolah” ucapku berbohong
“Syukurlah…” balas mbak dengan senyum mengembang
Mbak Ita selalu bertanya seperti itu. Padahal aku sudah hampir dua tahun sekolah disitu. Tapi tetap saja disodori dengan pertanyaan yang selalu sama. Mungkin dia khawatir. Seharusnya aku bahagia memiliki mbak yang begitu perhatian.
“Nis, emak tadi beli beras. Hari ini kita makan nasi” kata Mbak Ita kemudian
“Hore…” balasku sumringah
Syukurlah, aku bisa makan nasi hari ini. Tidak melulu singkong, ubi, dan pisang. Ada berapa juta manusia yang tidak menyadari dan bersyukur atas nikmat Tuhannya. Terkadang aku pun demikian. Padahal masih banyak orang-orang yang lebih malang dariku. Putus sekolah, tidak punya tempat tinggal, tidak memiliki keluarga, tidak tahu apa yang harus dimakan esok hari. Sedangkan aku? Aku salah satu siswi SMP di desa ini, aku mempunyai rumah meski sangat sederhana, aku memiliki seorang ibu dan kakak, aku masih bisa kenyang disetiap harinya meski hanya terisi dengan singkong saja. Pernah suatu hari Laila bercerita kepadaku, adiknya ngambek hanya karena sarapan berlauk tahu dan tempe saja. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Betapa nikmatnya bagiku jika setiap hari aku bisa sarapan seperti itu.
Malam kembali datang, semua orang merebahkan diri untuk beristirahat. Tapi tidak bagi emak dan Mbak Ita. Keduanya sibuk untuk membuat kue yang akan dijual besok pagi. Namun kini ada yang berbeda. Malam masih belum jauh merangkak, namun Mbak Ita sudah masuk kamar. Akupun masih belum selesai mengerjakan PR. Ada apa gerangan, apakah mbak bertengkar dengan emak, tapi aku sama sekali tidak mendengar keributan.
“Mbak, kok tidak bantuin emak? Mbak lelah ya? Biar aku saja yang bantuin emak” tanyaku
“Nggak, emak lagi libur buat kuenya”
“Kenapa mbak?”
“Sudahlah, kamu kerjakan saja PR-mu lalu tidur”
“Tapi kan aku harus tahu mbak, aku kan anak emak juga”
Mbak Ita kemudian menghampiriku dan membelai rambutku dengan lembut.
“Anis, mbak sayang sama kamu. Kamu turuti omongan mbak ya, itupun kalau kamu sayang sama mbak dan emak. Kalau kamu tidak sayang, jangan turuti omongan mbak dan emak”
“Aku sayang mbak dan emak”
“Ya udah, kamu langsung tidur setelah ini. Kamu jangan pikirkan apa-apa. Sekolah saja yang kamu pikirkan”
“Iya mbak”
Aku paksa mataku untuk terpejam. Namun hasilnya nihil. Bukan karena kedinginan, namun karena beban pikiran. Kenapa emak libur buat kuenya. Lelahkah? Kenapa aku selalu dilarang-larang untuk membantu emak. Padahal aku bisa sekolah sambil kerja. Aku tidak marah pada Mbak Ita karena menyembunyikan sesuatu. Tak mengapalah, karena aku sayang emak dan mbak.
Pagi hari yang indah aku sambut dengan sebuah senyuman. Sekolah lagi hari ini. Ada sedikit rasa malas untuk berangkat ke sekolah. Bukan karena tidak mengerjakan PR. Tapi karena aku malas saja dengan ejekan teman-teman. Kapan mereka akan mulai menghargaiku dan menganggap aku ada. Tapi biarlah, seperti apapun itu aku harus menjalankan amanah emak, bapak, dan mbak. Akulah harapan satu-satunya.
Pagi belum terlalu sempurna, aku paksakan diri untuk mandi karena aku tidak mau terlambat datang ke sekolah. Terdengar suara emak dan mbak dari dapur.
“Mak, tolong ridhoi Ita untuk pergi ke Malaysia”
Hah? Malaysia? Kenapa? Aku tidak mau jauh dari mbak. Aku tunda mandiku. Aku simak lagi pembicaraan emak dan mbak.
“Emak tidak rela kamu jadi TKW. Emak khawatir ta..”
“Tolonglah mak, kasihan Anis kan. Ita ingin Anis tetap sekolah. Jangan sampai Anis seperti Ita”
“Emak bisa cari pekerjaan lain untuk membiayai kalian berdua. Emak yang bertanggungjawab atas kalian”
“Tidak mak. Emak sudah tua, waktunya Ita bekerja sekarang”
“Jadi TKW itu banyak resikonya”
“Emak percaya sama Ita. Selama Ita menjadi orang yang baik, tidak akan ada yang tega menyiksa Ita”
“Jangan ta.. emak masih belum rela”
“Kita mau makan apa mak? Bayar sekolah Anis dengan apa? Tabungan emak sudah habis. Menjual kuepun rasanya tidak mungkin, karena banyak yang tidak laku. Dan itu membuat emak rugi. Kalau Ita ke Malaysia, Ita bisa ngirim uang tiap bulan ke emak dan Anis. Setelah memiliki uang yang cukup, Ita akan pulang mak”
“Terserah kamulah. Emak hanya bisa bantu do’a”
Dunia terasa gelap bagiku. Sudah cukup aku kehilangan bapak, jangan mbak.
“Anis tidak rela mbak pergi” ucapku kemudian. Terlihat jelas rasa kaget pada diri emak dan mbak. Mungkin mereka tidak akan mengira bahwa aku akan mendengar semuanya.
“Nis, kamu kok sudah bangun?” tanya Mbak Ita
“Anis gak ngijinin mbak pergi ke Malaysia”
“Kamu mandi saja” pinta emak padaku
“Pokoknya Anis gak mau jauh dari mbak” ucapku sambil berlalu pergi ke kamar mandi di belakang rumah. Aku tidak habis pikir, kenapa Mbak Ita berani mengambil tindakan bodoh itu. Aku takut mbak kenapa-kenapa. Seperti yang sering aku dengar. Sudah banyak bukti korbannya. Menjadi seorang TKW tidak semudah seperti bayangan saja. Seperti halnya yang dialami tetanggaku tempo lalu. Istrinya yang menjadi TKW bukan pulang dengan uang tapi dengan wajah lebam. Kenapa mbak harus menjadi pembantu di negeri orang lain dan negeri sendiri. Aku tidak mau semuanya menimpa mbakku tersayang, Mbak Ita.
“Nis, kamu tidak sekolah?” tanya emak padaku
Aku hanya terdiam memandangi seragamku tergantung.
“Emak kecewa sama kamu. Kamu tidak kasihan sama emak. Emak sudah tua. Mbakmu mau ke Malaysia, kamu tidak mau ke sekolah. Emak jadi pusing. Semuanya emak dan mbakmu lakukan hanya agar kamu bisa bertahan sekolah” nasihat emak panjang lebar
“Maafin Anis mak..”
“Kamu cepat berangkat ke sekolah, mbakmu pasti marah kalau tahu kamu tidak mau sekolah”
Dengan sigap aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ketika aku memakai seragam, mbak masuk kamar. Sepertinya habis mandi. Aku hanya diam.
“Masih marah sama mbak?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Kalau tidak marah, sapa mbakmu ini”
Aku tetap diam seribu bahasa.
“Adek Anis…”
Deg. Adek? Ini pertama kalinya mbak memanggilku adek. Biasanya selalu “Anis” saja.
“Iya”
Mbak Ita menghampiriku. Menyisir rambutku dengan jari-jarinya.
“Adek…mbak memang akan jauh dari pandangan matamu, tapi sesungguhnya hati mbak tidak. Mbak memang akan pergi, tapi sesungguhnya kasih sayang mbak tidak. Mbak memang akan hidup bersama oranglain, tapi sesungguhnya mbak selalu bersamamu”
Aku terharu mendengar kata-katanya. Aku menyesal. Aku berjanji akan tetap rajin sekolah dan meraih prestasi.
Sesampainya di sekolah, aku ceritakan semuanya pada Laila. Dia coba menghiburku.
“Nis, kadang kita tidak mengerti pikiran orang dewasa. Yakinlah bahwa ini keputusan terbaik. Kamu juga tidak mau kan selamanya melihat mbak dan emakmu menjadi buruh cuci, pedagang kue keliling” jelas Laila.
Terima kasih Laila, kamu masih mau berteman dengan orang sepertiku. Orang yang kurus, hitam, miskin, dan tidak memiliki teman. Aku bersyukur memiliki teman sepertimu. Setelah Mbak Ita pergi ke Malaysia, hanya kamu dan emak yang aku punya.
Pulang sekolah, seperti biasa aku tapaki jalan selangkah demi selangkah. Sedikit bernyanyi-nyanyi untuk menghibur diri. 30 menit kemudian sudah tampak rumahku yang mirip seperti gubuk. Meski hanya terbuat dari bambu, tapi itulah istanaku.
“Assalamu’alaikum” ucapku
“Wa’alaikumsalam” balas emak,
“Udah datang?” sapa emak padaku
“Iya mak” ucapku seraya menyalami tangan orangtuaku satu-satunya itu
“Mbak Ita mana? Mulai hari ini kan emak dan mbak tidak jualan lagi” tanyaku
“Sudah berangkat sekitar jam 10-an tadi”
“Kemana?” tanyaku lagi
“Dia sudah dibawa bosnya ke kota. Untuk mengurus segala keperluannya. Katanya, mbakmu juga akan dilatih”
“Kenapa tidak pamitan sama Anis”
Emak hanya terdiam. Aku berlalu begitu saja. Membanting tas sekolah ke kasur. Menumpahkan air mata. Mbak Ita kenapa tega tidak pamitan padaku. Aku kira mbak akan berangkat beberapa minggu lagi. Aku tidak siap jika harus berpisah dengan mbak secepat ini. Aku benci Mbak Ita. Aku benci Mbak Ita. Aku benci Mbak Ita. Akupun menangis sesenggukan.
“Sudahlah nis. Bukan hanya kamu saja yang merasa kehilangan, emak juga. Tapi kita harus rela. Bulan depan mbakmu sudah akan menghasilkan uang. Untuk bulan ini, emak menjual anting emak untuk hidup kita dan tetap jadi buruh cuci. Kamu jangan nangis saja. Bantu emak. Kamu sekolah dan rajin saja, itu sudah lebih dari cukup” pinta emak.
Aku masih menangis. Kapan aku bisa melihat Mbak Ita lagi. Aku tidak pernah tahu. Aku coba untuk mengikhlaskan kepergian mbak demi emak. Karena hanya aku yang dekat dengan emak sekarang. Aku tidak mau menambah beban emakku.
Sebulan kemudian, aku tetap merindukan Mbak Ita. Hari libur seperti sekarang ini hanya aku habiskan dirumah seperti biasanya. Ada perubahan pada emak. Emak yang dulu kuat dan penuh semangat, kini mulai sakit-sakitan. Batuk tanpa henti, keriput mulai jelas. Aku dan emak membutuhkan mbak. Aku mengerti emak sangat merindukan putri pertamanaya. Begitupun denganku, sangat merindukan kakak pertamaku. Tanpa jeda pikiranku melayang pada Mbak Ita. Wajahnya, senyumannya, kasih sayangnya, dan suaranya sangat kurindukan. Rumah terasa sepi tanpa kehadirannya. Bagaimana keadaan kakak semata wayangku? Ada dimana sekarang? Dengan siapa? Semoga semuanya sesuai dengan apa yang emak dan aku harapkan.
“Ngelamunin apa nis?” tanya emak yang sontak saja membuatku kaget
“Eh… tidak mak, Anis lagi ingat Mbak Ita saja” jawabku jujur
“Do’akan mbakmu. Semoga selamat dan tidak terlalu lama jauh dari kita”
“Pasti mak”
“Emak ingin kamu tidak bernasib seperti emakmu ini. Sekolah yang benar. Utamakan pendidikan. Jangan hanya sekolahmu yang tinggi, tapi juga ilmunya. Orang pintar pasti dicari orang. Kelak anakmu tidak perlu susah-susah jadi TKW” nasehat emak dengan mata berkaca-kaca
“Anis ngerti mak”
“Kamu sampai kapan mau seperti ini? Mbakmu pasti baik-baik saja. Oh ya, emak mau ke rumahnya Bu RT. Ada cucian disana”
“Iya mak” balasku seraya menuju kamar
Lama pandanganku mengitari seisi kamar. Mbak Ita tidur dimana ya? Lagi dan lagi pikiranku tertuju pada Mbak Ita. Aku katupkan kelopak mata perlahan. Kantuk mulai menyerang, mungkin karena semalam aku sulit tidur.
Belum lama aku terlelap, terdengar suara tangisan. Siapa? Suara emakku. Akupun terjaga. Aku cari sumber suara itu. Benar, emakku menangis di depan rumah. Tidak mungkin rasanya emak menangis hanya karena dimarahi Bu RT. Tapi ada yang aneh, banyak orang berdatangan ke rumahku.
“Ita… pulang nak...” jerit emakku histeris
Aku peluk emak. Aku usap air mata dan keringatnya
“Ada apa mak?” tanyaku dengan suara parau
“Mbakmu nis… mbakmu…” jawab emak dengan deraian air mata
“Ada apa dengan Mbak Ita?” tanyaku lagi
“Mbak mu meninggal… pesawatnya jatuh”.
Mbak Ita meninggal? Aku tidak percaya hal ini. Lututku terasa lemas. Kepalaku pening. Pandanganku mulai tidak jelas. Gelap.
Aku mulai sadarkan diri. Aku terbaring di kasur kamar. Terima kasih untuk orang yang telah memindahkanku. Aku lihat ada banyak orang yang mengelilingiku. Mungkin mereka merasa iba melihat nasib keluargaku. Bapak sudah tidak ada, sekarang mbak pergi untuk selamanya. Air mata kembali membanjiri pipiku. Tidak ada harapan lagi untuk melihat wajah mbak di dunia. Aku hanya bisa mengobati kerinduanku lewat mimpi dan foto. Emak masih belum berhenti menangis. Aku mencoba kuat agar mampu mengurangi beban emak dan bisa menghibur beliau. Semua tetanggaku mengucapkan rasa berduka. Terima kasih, masih mengingat keluargaku.
“Sudahlah nduk… do’akan saja mbakmu. Semoga bahagia di alam sana” ucap salah satu tetanggaku
“Dimana mbak sekarang?”
“Jenazahnya mungkin tiba besok pagi. Kata pak RT sih begitu nduk”.
Aku terdiam. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Namun, aku harus tetap rela. Akan aku jaga amanah mbak padaku. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk Mbak Ita. Aku tidak mau hanya sekolah hingga SMP. Akan aku buat senyum mbak mengembang, aku ingin kuliah. Kelak akan ku persembahkan Toga-ku untukmu, Mbak Ita.
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment