Home inspiratif Tunggu Aku Di Madinah (Cerpen)
Tunggu Aku Di Madinah (Cerpen)
Atiya Fauzan June 06, 2015 0
Tunggu Aku Di Madinah - Surabaya, menuju kota tujuanku akhir pekan ini. Ada sebuah kompetisi menulis nasioanl tentang fashion yang diikuti oleh kalangan wartawan dan blogger dari seluruh penjuru Indonesia. Demi pengalaman, aku mendaftarkan diri sebagai peserta blogger yang akan turut berpartisipasi. Dan dua hari lalu, aku mendapatkan email dari panitia untuk menghadiri acara Festival Fashion Batik di Dyandra Convention Center Surabaya, disebutkan dalam aturan kompetisi, para peserta diwajibkan hadir dalam acara tersebut dan membuat review tulisan tentang acara yang akan berlangsung selama 7 jam tersebut, untuk kemudian di posting di blog atau di muat di media masing-masing. Bismillah, aku berangkat.Aku harus menempuh perjalanan selama lima jam untuk tiba Dyandra Convention Center. Berkat sikap ‘over disiplin’, aku tiba satu jam lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Registrasi masih dimulai pukul sembilan tepat, alhasil aku punya waktu 60 menit untuk mengelilingi bangunan semegah dan seluas ini, yang tidak pernah aku temukan di kota kecilku. Mengelilingi koridor luar, mencari musholla yang ternyata berada di area parkir dalam. Lelah dengan pengamatan dan potret-memotret, aku mencoba duduk di kedai yang tepat berada berseberangan dengan musholla. Sembari memesan makanan dan minuman instant, aku melihat kembali hasil jepretan yang sudah didapat. Gedung tampak luar, lantai, pintu, taman mini, kursi, keset, musholla, toilet, sandal, mobil terparkir, dan masih banyak lagi obyek yang masuk dalam kamera pribadiku.
“Ini pesanannya kak. Selamat menikmati” ucap pelayan kedai seraya meletakkan pesananku di atas meja"
“Terima kasih” balasku
Kembali aku menikmati obyek-obyek yang sudah aku tangkap, sembari membunuh waktu menunggu jarum jam bergerak ke angka sembilan. Ditengah-tengah itu, tiga orang pria, pelanggan kedai juga yang kursinya tepat di hadapanku bersuara dan tertawa dengan keras, memaksaku untuk memerhatikan mereka.
“Woi, Hai wartawan musholla juga datang ternyata” ucapku mereka hampir bersamaan, sambil melihat ke arah pintu masuk yang tepat berada di belakangku.
Lantas seorang pria bertubuh tinggi lengkap dengan setelan kaos jeans, ransel hitam, dan topi yang dipasang terbalik bak penyanyi hip hop, muncul dengan memunggungi wajahku.
“Wajib ikut lah, kalian belum mau mengganti sebutan untukku?” balas si pria yang disebut wartawan musholla tersebut sembari menarik kursi dan kemudian duduk, tetap dengan punggung yang menghadap ke wajahku.
Aku kembali ke kamera, namun pikiranku masih pada istilah wartawan musholla, sejak kapan ada sebutan demikian dalam ranah jurnalistik. Dan aku bersyukur karena tanpa menguping pun, aku mendengar percakapan mereka. Setidaknya penasaranku bisa terhapuskan. Wartawan musholla?
“Yah pas aja sama kamu Hai. Status profesi wartawan majalah fashion, tapi sering nongkrong di musholla” mereka melanjutkan pembicaraan, aku menyimak dengan samar.
“Haidar, haidar… kamu tuh dikit-dikit ke musholla, lagi liputan ke musholla, nungguin narasumber pamit ke musholla, lagi santai siang juga ke musholla” ucap yang lain disertai gelengan kepala.
“Iya Hai, sebutan wartawan musholla udah pas buat kamu, tidak bisa tergantikan. Barusan kamu pasti dari musholla dulu kan?” pria ketiga menimpali
“Iya, masih dhuha-an dulu. Namanya juga panggilan dan kebutuhan bro. Setiap tempat kan tidak selalu memiliki masjid, kalo musholla udah pasti ada” jawab si pria yang membelakangiku itu penuh pembelaan.
“Tuh kan… Hahaha… bener kita dong”
***
09.15 WIB, aku sudah di dalam ruangan besar dengan dominasi warna cream pastel yang dilengkapi suhu dingin. Sudah banyak peserta yang duduk di deretan kursi yang tertata mengelilingi area panggung, bersiap menyimak acara dari awal hingga akhir, agar bisa membuat tulisan yang menarik dan keluar sebagai pemenang, termasuk aku. Dan seperti biasanya, acara tidak dimulai tepat waktu. Aku hanya bisa menunggu dan mengamati keadaan, tidak lupa mencatat hal-hal yang aku anggap menarik dan penting. “Brak”. Aku merasakan seseorang menempati kursi kosong di sebelah kananku. Aku tetap asyik dengan corat-coret.
“Alphananda Haidar” ucap pencipta bunyi ‘Brak’ yang tepat berada disebelahku.
Otomatis aku menoleh ke arahnya. Wartawan musholla? Pemakai topi ala hip hop? Satu detik dua detik aku menatap wajahnya yang membuatku penasaran beberapa menit yang lalu. Ternyata wajah ini yang disebut wartawan musholla, kata siapa wartawan itu dekil dan lusuh, buktinya pria di hadapanku terlihat bersih dan rapi.
“Khilwani Farida?” panggilnya ditengah lamunanku.
Aku tersentak dan langsung menundukkan kepala. Memalukan. Dan, kenapa dia bisa tahu namaku?
“Anda mengetahui nama saya?” tanyaku sopan
“Tuh ID card di hijabmu” jawabnya
“Oh iya, cukup panggil Khilwa saja” balasku dengan gerakan tangan salah tingkah
“Haidar” dia mengulurkan tangan
Aku membalasnya dengan mengatupkan kedua tanganku di depan dada. Lantas ia berseloroh,
“Oh maaf, tidak semua yang berhijab tidak berjabat tangan. Aku kira kamu sama, eh ternyata beda”
Aku hanya mengernyitkan dahi dan kembali pada posisi awal, menghadap ke depan, mengamati panggung yang megah.
“Wartawan atau blogger?” tanyanya
“Blogger”
“Oh pantes”
“Maksud anda?”
“Begini, menurut asumsi pribadiku, 100% wartawan itu banyak biacara dan sok akrab, karena kerjanya di lapangan dan bertemu dengan orang yang berbeda setiap hari. Tapi, kalau blogger 50% yang kayak gitu. 50% yang lain lebih tertutup, kan nulis setiap hari di depan laptop di dalam ruangan juga. Jarang interaksi” jelasnya panjang lebar
“Anda salah, ada prosentase blogger yang lain, yang merupakan gabungan dari keduanya. Tertutup dengan orang asing, dan sangat ramah serta akrab dengan orang yang dikenal” balasku dengan ucapan tanpa nada.
“Batasan orang asing dan orang yang dikenal seperti apa hayo? Bukankah kita semua saudara, berjaga-jaga itu boleh tapi kalau berprasangka buruk dulu tanpa alasan itu yang salah kaprah. Yang dikenal seperti apa, cukup tahu nama, tahu wajah, atau bagaimana? Dengan siapapun, kita itu harus ramah dan terbuka” ia mengakhiri kalimat itu dengan senyuman dan alis yang diangkat berulang kali.
Aku salah. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dan tidak bisa pula membantah pernyataannya. Akhirnya aku tersenyum karena dua alasan, aku yang terlalu bodoh terjebak dengan pernyataan yang kubuat sendiri dan mimik lucu yang dibuat si wartawan musholla.
“Maaf ya Khilwa kalo ada kalimatku yang salah. Selamat berteman denganku selama 7 jam ke depan” ucapnya membalas senyumku.
Mungkin dia mengerti bahwa aku menyadari kebodohanku sendiri. Dan 7 jam acara aku habiskan di samping Mas Haidar, begitulah aku memanggilnya. Mulai dari acara awal dimulai, tanpa pamrih dia mengajariku banyak hal, mengawalku menemukan ide dan angle menulis yang pas seolah-olah aku pelajar SMP yang baru belajar menulis. Tapi aku menghargainya. Setidaknya, banyak hal selain ide dan angle yang belum pernah aku pelajari di buku tapi aku dapatkan dari Mas Haidar, si wartawan musholla. Dan menjelang istirahat siang, kami tetap bersama meski beranjak dari kursi yang berdampingan. Ke musholla bersama, berjama’ah sholat dzuhur, lalu kemudian ia mengenalkanku dengan banyak teman-teman wartawannya. Inilah pengalaman. Bukan seberapa banyak tempat yang kita kunjungi, tapi seberapa banyak kita mengenal manusia lainnya dan lantas mendapatkan hal baru, itulah pengalaman.
Diakhir acara, aku menyadari banyak hal yang selama ini aku salah menafsirkannya. Berkat Mas Haidar, ceritanya, sikap sok akrabnya, dan kawan-kawannya. Dan sebelum berpisah, kami saling bertukar kartu nama.
***
Sudah hampir enam bulan berlalu, sejak aku mengenal Mas Haidar. Meski tidak lagi pernah bertatap muka, hubungan antara kami sebagai rekan masih bertahan kuat. Melalui telepon dan pesan singkat, kami berinteraksi dan menyambung tali persaudaraan. Namun, aku merasakan ada yang berbeda. Saling intens bertukar pesan dengan para sahabat wanitaku, dan intens bertukar pesan dengan Mas Haidar, satu-satunya sahabat priaku, ada yang berbeda antara keduanya.
Ada senyuman yang belum pernah aku sunggingkan ketika menerima pesan dari Mas Haidar, ada debaran yang belum pernah aku rasakan ketika mengiriminya pesan. Cinta? Hah? Persahabatanku mulai bermodus? Aku memikirkannya dengan posisi duduk di depan meja belajar lengkap dengan buku di tangan yang masih mengatup. Kenapa bisa? Apa alasannya? Ah, aku jadi teringat kalimat dalam sebuah novel yang pernah aku baca, “Cinta dalam hati ibarat ruh dalam raga. Sudah Tuhan sertakan dan titipkan untuk kita jaga dan fungsikan sebaik-baiknya. Jangan tanya alasannya kenapa ada atau kenapa kita, hal tersebut sudah masuk dalam skenario paling indah bernama takdir. Terima, syukuri, jaga, dan muliakan.” Dan ditengah renungan sakralku, handphoneku bergetar, sebuah pesan singkat dari Mas Haidar.
Mas Haidar, Assalamu’alaikum. Lagi ngapaian Khil?
Balasanku, Wa’alaikumsalam. Sedang berkutat dengan laptop Mas.
Mas Haidar, Aku punya kabar baik. Mulai bulan depan aku pindah ke Jakarta. Aku akan bekerja disebuah surat kabar islam. Dan Alhamdulillah aku dikirim ke Madinah, akan belajar dari kontributor di sana. Keren kan?
Balasanku, Wah Mas Haidar hebat. Jangan lupa bagi-bagi ilmu.
Mas Haidar, Siap buk bos.
Balasanku, Bisa sekalian umroh ya mas.
Mas Haidar, Iya sih, tapi keinginanku sebenarnya pengen haji atau umroh pertama kali dengan seseorang yang sangat special buatku.
Balasanku, Ibadah harus disegerakan, jangan ditunda.
Mas Haidar, Kan hanya keinginan Khil. Kalau kamu? Hal yang ingin dilakukan untuk orang specialmu apa? Bukan abah atau umik lho. Imammu kelak.
Balasanku, Aku ingin buku pertamaku berjudul namanya dan berisi tentangnya. Entah itu fiksi atau non fiksi.
Mas Haidar, Oalah, pantes aja kamu belum menerbitkan karya apapun hingga saat ini. Jadi nunggu toh.
Balasanku, Hehehe. Maaf Mas, sambung nanti lagi ya. Aku ada kesibukan. Sekali lagi selamat.
Mas Haidar, Oke. Makasih.
***
Sebuah ketukan di kamarku, membuat telinga menyimak dan badan bangkit dari tempat tidur.
“Khilwa, ada paket untukmu” panggil kakakku
“Iya” balasku beranjak dan kemudian membuka pintu.
Sebuah paket tepat sejajar dengan kakiku di depan pintu kamar, dan entah kemana kakakku si pembawa paket, padahal masih ada hal yang ingin aku tanyakan. Sekilas terbaca olehku nama pengirim paket adalah Alphananda Haidar. Semenit kemudian, aku sudah tahu isi paketnya. Sebuah novel dwilogi berjudul “Diorama Sepasang Al Banna” dan “Dilatasi Memori” lengkap dengan surat berwarna putih. Dwilogi lama yang sudah berulang kali aku membacanya, namun aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilikinya. Hanya meminjam di perpustakaan dan membacanya di googlebook. Di kota kecilku, toko buku Gramedia saja tidak ada, butuh perjuangan untuk mendapatkan novel dwilogi karangan Ari Nur tersebut. Dan Mas Haidar memberikannya untukku? Lantas aku pun membaca surat yang juga menemani perjalanan sang dwilogi.
“Assalamu’alaikum Khilwa. Ketika kamu membaca surat ini, itu berarti aku terbang ke Madinah. Aku menghadiahkan novel ini untukmu yang begitu menginginkannya. Tak hanya itu, aku sertakan hatiku juga yang aku gambar dalam surat ini. Kamu tidak paham maksudku? Begini, intinya aku ingin meminta izin untuk memikirkanmu, merindukanmu, dan mencintaimu. Maaf ya Khilwa. Sudah lama aku menyimpannya, sudah lama pula aku meyakininya, namun baru hari ini aku mengutarakannya. Karena aku bertekad saat aku mampu membahagiakanmu dan keluargamu, maka saat itu pula lah aku harus menyampaikan istikharah panjangku tentangmu. Aku mencintaimu, selepas masa tugasku berakhir, aku akan menemui abah umikmu, aku akan mengkhitbahmu, aku akan menikahimu, dan kemudian kita saling menuntun untuk sampai di JannahNYA. Tak perlu kamu balas suratku, cukup do’akan aku dan istikharahkan tentangku. Jika iya, direncana umrohmu awal tahun depan bersama kakakmu, aku akan menemui dan cukup tersenyum padaku. Jika tidak, jangan pernah tersenyum padaku ketika aku menemuimu di Madinah nanti. Terima kasih kamu sudah berkenan membaca suratku. Wassalamu’alaikum.”
***
Keesokan harinya aku memutuskan menulis karya yang aku impikan, yang akan aku kirim ke penerbit. Mungkin butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya, namun aku akan berusaha sekuat tenaga. Aku yakin inilah saatnya, aku yakin dialah imam masa depanku, yang akan menggantikan abah untuk membimbingku. Maka dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan, aku menuliskan judul novel pertamaku ini terlebih dahulu “Pria pertamaku, ALPHANANDA HAIDAR”. Sedetik kemudian aku sibuk membuat outline, berpikir keras, riset, riset, dan riset. Tak lama setelahnya, jemariku mulai menari di atas tuts-tuts keyboard. Merangkai kata yang entah akan berakhir dihalaman ke berapa. Aku harus giat melakukannya, karena waktuku tak panjang. Hari demi hari aku menulis dan menulis tentang novel yang akan dihadiahkan pada calon imamku tersebut.
Blog pun jarang aku sentuh. Aku hanya fokus pada satu hal, hadiah untuk Mas Haidar. Mungkin abah, umik, dan kakakku akan merasa terheran-heran karena aku yang pendiam semakin menjadi terutup saja. Jika saatnya nanti, jika tiba masanya kakiku menginjak tanah Madinah, aku ingin membuat senyum yang terbaik untuk Mas Haidar. Yang mengisyaratkan bahwa aku juga meyakininya dan aku juga mencintainya. Dan aku akan mengantarkan Mas Haidar ke hadapan abah dan umik, meyakinkan kedua orangtuaku bahwa Mas Haidarlah menantu yang mereka cari selama ini, menantu yang bisa dipercaya untuk menjaga putri kesayangannya, yaitu aku. Dan aku akan menjadikan buku pertamaku sebagai souvenir untuk tamu undangan yang hadir di acara pernikahan kami. Dan aku akan… dan aku akan… dan aku akan… banyak hal yang ingin aku lakukakan, yang sudah aku rencanakan dengan indah. Maka cinta yang tersimpan rapat diantara kami berdua, aku rela menunggunya, memberi jawab untuknya. Karena Mas Haidar, aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua perjalanan hatiku sudah aku utarakan dalam novel perdanaku, bagaimana hatiku bermula, bagaimana hatiku jatuh, bagaiaman hatiku sakit, dan bagaimana hatiku berakhir pada sosok Alphananda Haidar. Semua aku balut dalam cerita dan tokoh fiksi.
***
10 bulan kemudian…
Aku gemetar nyaris menangis, mematung dengan dipenuhi keringat dingin. Tetap terpaku berdiri di salah satu lobi hotel di Madinah. Ya, sepuluh bulan sudah berlalu. Aku di Madinah. Namun, aku tidak percaya atas apa yang aku lihat. Entah bahagia atau sedih yang harus aku rasakan. Aku bahagia tapi sedih, aku sedih tapi bahagia. Aku bahagia karena aku melihat langsung sosok yang aku rindukan selama ini,
Mas Haidar tepat berdiri 5 meter di hadapanku dengan tatapan penuh tanya. Pria dengan setelan kaos jeans dan topi ala hip hop yang hanya sekali aku temui seumur hidup, tiba-tiba nampak di depan mataku dengan baju koko lengkap dengan celana hitam layaknya ustad muda. Aku tidak menyangka akan secepat ini bertemu dengannya, padahal aku pikir butuh persiapan panjang untuk sekedar menemuinya. Dan aku sedih karena tatapan yang dimiliki oleh Mas Haidar. Aku memahami tatapan itu, dengan senyuman atau tanpa senyumanku dia sudah memahami satu hal.
Ditengah suasana lobi hotel, kami berhadapan dan saling membisu. Tangan kiriku menggenggam erat novel pertamaku yang sudah terbit berjudul “Pria pertamaku, ALPHANANDA HAIDAR” sedangkan tanan kananku memegang peci putih milik pria yang juga memegang peci yang sama dan kini berdiri tepat di sampingku. Pria itu adalah seseorang yang abah jodohkan denganku. Dari mana aku harus menjawab tatapan Mas Haidar? Dari mana aku harus mulai berkata-kata untuk menjelaskannya? Aku bertunangan karena dijodohkan? Aku pergi umroh dengan tunanganku diluar kesengajaan? Aku hanya dimintai tolong untuk memegangkan peci itu dan tunanganku kemudian akan mengambilnya tepat di depan sorot mata Mas Haidar? Dari mana aku harus mulai?
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment