Berlabuh Di Hati Yang Halal (Cerpen)

Berlabuh Di Hati Yang Halal - Sudah 10 tahun aku hidup di ibu kota, Jakarta. Kota yang menjadi tempat pelarian kebanyakan orang untuk mengadu nasib, perihal ekonomi alias rupiah. Namun, berbeda denganku. Aku berlari kesini untuk mengadu nasib perasaan. Meski satu dekade telah berlalu, aku masih ingat luka itu. Meski sudah tak semenganga dulu, namun luka tetaplah luka. Meski sudah tak berbekas, kenangan luka nya tak kan pernah terlupa. Ah, kenapa aku tak menggubris nasehat ibu waktu itu. Dan hanya dua hal yang bisa aku lakukan saat ini, antara menyesal dan mengenang.

Sepuluh tahun lalu, aku hidup di kota kecil dengan keadaan yang begitu baik. Keluarga yang penuh cinta dan sahabat penuh kasih. Sungguh, hidupku nyaris sempurna bagi kebanyakan orang. Kakekku adalah orang nomer 1 di kota kecil kami. Pendidikanku 12 tahun dari masa SD hingga SMA ditempuh di sekolah favorit. Memasuki dunia remaja beranjak dewasa, aku menimba ilmu di perguruan tinggi kota sebelah, yang bertetangga dengan kota kelahiranku. Di sebuah perguruan tinggi negeri aku melalui masa remaja beranjak dewasa. Ketika itu, usiaku masih 17 tahun. 4 tahun berada di bangku kuliah, aku hanya tahu belajar dan belajar. Masalah cinta? Aku tidak terlalu mengurusnya, hanya sekedar dengan kakak angkatan, tak pernah lebih. Diam-diam suka, bukan diam-diam cinta. Hanya sebatas pengagum rahasia yang menyukai karya-karyanya. Dan ditahun keempat, aku lulus dengan nilai cumlaude. Satu bulan sebelum wisuda, aku sudah diterima bekerja disalah satu perusahaan impian semua orang. Maka tak heran, banyak dari teman-temanku yang mengatakan ‘hidupmu terlalu beruntung’. Aku hanya percaya bahwa hidup itu adil, jika ada siang maka akan ada malam. Dan memasuki dunia kerja, malamku pun dimulai.

Meski aku tahu jika cinta itu akan segila dan seindah yang aku rasakan saat itu. Aku masih bersedia mengulanginya, dan kembali jatuh cinta diusiaku yang sudah melewati angka 20. Aku begitu mencintainya, namanya Salman, sahabat baikku. Sejak kelas 1 SD hingga kelas 3 SMA kami mengenyam pendidikan di sekolah yang sama, atap yang sama, jurusan yang sama, dan kelas yang sama. Entah sejak usia berapa aku mencintainya, aku terlalu lupa untuk hal itu. Namun, di masa-masa kuliah, kami memilih kota yang berbeda, kami berpisah untuk sementara, mungkin bagi Salman dia hanya kehilangan seorang sahabat, yaitu aku. Namun bagiku, aku kehilangan seorang yang begitu berarti bagi hatiku. Maka dari itu, selama menjadi mahasiswi aku tak pernah mampu mencintai siapapun, karena sebenarnya hatiku tak pernah kosong. Sudah ada nama Salman sejak beberapa tahun silam, yang aku simpan dengan rapi dan rapat. Dan takdir memberi kabar baik untukku. Di dunia kerja, aku dan Salman kembali bertemu. Meski ada kecanggungan setelah 4 tahun tak bertemu, aku masih bahagia untuk itu. Dari malam ke malam, aku merangkai rindu untuknya. Beginilah wanita, hanya bisa menunggu, pikirku saat itu.

Setelah satu bulan lebih hariku dihiasi rona kecemasan dalam harapan, lalu berubah menjadi kebahagiaan yang merekah, dan pada akhirnya hatiku harus tersayat dengan sebuah kertas pamungkas. Aku memilih berlari ke pelukan ibu. Aku sakit dan aku pulang.

“Ibu, nikahkan aku dengan siapapun” ucapku saat itu
“Kenapa? Nikah itu tidak diputuskan dengan pikiran emosi dan hati yang sakit. Kau terluka?”
Aku menyodorkan selembar undangan pernikahan berukirkan nama Salman Robert Athoillah dan permaisurinya.
“Zaiva anakku, ibu sudah memperingatimu, jangan berlebihan berharap terhadap suatu hal”
“Aku tidak pernah meminta untuk dicintakan pada Salman, bu. Mencintainya dalam diam adalah kebahagianku selama ini. Lantas esok masih bisakah aku bahagia? Nikahkan aku besok bu, terima saja salah satu lamaran dari pria-pria itu” ceritaku terisak.
Ibu mendekapku erat.
“Zaiva, jika kamu ingin mengobati sakit hatimu dengan pernikahan dibalas pernikahan, itu bukanlah solusi. Lupakan Salman, dekatkan dirimu pada Allah. Mintalah untuk diberi kepercayaan cinta yang lebih baik”
“Salman cinta pertamaku bu. Ini nyata bu. Aku sakit, dan bukan teori yang menyembuhkanku. Aku butuh tindakan ibu. Nikahkan aku segera”
“Tidak. Ibu tidak bersedia. Kau pikir lukamu sembuh hanya dengan menikah?”
“Aku mohon bu. Aku tidak sanggup melihat Salman bersama wanita lain. Hatiku seperti dihujam oleh ribuan belati. Sakit bu. Aku tidak tahu harus seperti apa menceritakannya pada ibu. Sakiiit bu…!!!” teriakku dengan berurai airmata
Ibu memelukku erat. Turut menemaniku menangis. Mungkin beliau tak pernah menyangka bahwa putri tunggal kesayangannya akan mengalami cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan. Putri yang selama 20 tahun ini mematuhi perintahnya untuk mengedepankan masalah ilmu daripada cinta. Putri yang selalu membanggakan nama besar keluarganya, yang selalu mampu mengatasi masalahnya selama ini. Namun, untuk satu hal ini, ibu merasa prihatin atas ketidakmampuan sang putri untuk mengontrol perasaannya sendiri.
“Aku akan berhenti bekerja bu” ucapku tiba-tiba ditengah deraian tangis
“Ibu tidak setuju jika kau melepas karirmu yang tidak semua orang bisa mendapatkannya”
“Bukankah kebahagiaanku diatas segalanya bagi ibu?”
“Memang. Kau rela melepasnya?”
“Untuk saat ini, ijinkan aku menjalani mimpiku yang tertunda bu. Biarkan aku menjadi jurnalis di ibukota. Aku tidak ingin kembali ke kota itu lagi, aku tidak mau mendengar nama Salman lagi. Ibu mengerti bukan seberapa besar dan dalam cintaku untuk Salman? Hingga aku mau menukarnya dengan masa depan gemilangku di kota kecil itu. Percayalah bu, aku akan tetap menjaga amanah ibu. 20 tahun aku selalu menggunakan keputusan ibu. Sekali ini saja bu, aku mohon ibu mau menggunakan keputusanku”
“Bagi ibu, Salman adalah pria bodoh yang tidak mampu melihat wanita sehebat engkau nak. Pergilah. Kejar kebahagiaanmu. Ibu akan mengurus semua masalah mengenai kepindahanmu. Dan semoga kau tidak bertemu lagi dengan pria seperti Salman”
“Jangan salahkan Salman bu. Aku mencintainya dan dia tidak mencintaiku, sama sekali bukan kesalahan dia. Bukankah ibu yang mengajarkan padaku hakikat hati dan perasaan?” belaku pada sosok Salman
“Maafkan ibu. Ibu hanya tidak kuat melihatmu sesakit ini. Ibu tidak pernah membuatmu bersedih, ibu selalu menjaga kebahagiaanmu, tapi oranglain telah menggores senyummu. Dan itu murni karena perasaan dan hati, bukan salah siapa-siapa. Dipuncak duka, kamu masih saja membela Salman. Tapi ibu bersyukur, setidaknya kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian ini”
“Maafkan aku bu, tidak pernah mendengarkan kata-kata ayah dan ibu. Tolong jangan ceritakan hal ini pada ayah”
“Tentu. Ayahmu pasti akan sangat marah jika tahu kamu menyimpan nama seseorang dalam hatimu. Beliau pasti mengira, kamu menolak perjodohan selama ini karena nama itu. Tapi ayahmu benar juga, andai saja kamu mau mendengarkan nak, kamu pasti tidak akan sesedih ini”
“Aku menyesal bu. Maafkan aku”
Dan pada akhirnya, acara kesedihan yang didramatisir oleh tangisan ibu dan aku berujung pada keputusan bagiku untuk berhenti bekerja. Dan mencoba hal baru untuk hidup di kota Jakarta. Satu bulan pasca perang airmata antara aku dan ibu, semua masalah mengenai kepindahanaku ke Jakarta sudah rampung. Hanya menunggu jadwal keberangkatan kereta, mengenai pekerjaan, aku sudah mendapatkannya. Sebagai seorang jurnalis di sebuah majalah nasional. Dan kini, aku masih mengingatnya, 01 April 2004 aku melaju ke arah barat bersama deretan gerbong tua. Saat itu hatiku berkata, “bukan sampai jumpa Salman, tapi selamat tinggal Salman”
Kala itu, aku hidup sebatang kara tanpa keluarga di megahnya ibukota. Sungguh membuat nyaliku ciut, antara kembali pulang atau tetap bertahan. Meski ada Fatin, kawanku semasa kuliah yang lebih dulu terjun ke dunia jurnalistik, aku tetap bimbang begitu menginjak lantai stasiun gambir. Melihat ke depan, terbayang kantor baru, teman baru, dan rutinitas baru, yang semuanya serba asing. Melihat ke belakang, ada wajah ibu yang kurindu namun terhalang sesosok pria berbadan tegap dengan senyum ramah dan lukisan sikap sopannya, Salman. Namun sosok itu menggandeng tangan wanita lain, yang jelas bukan tanganku. Maka dengan tegas aku melangkah maju, mencoba menyimpan luka-luka itu dan meninggalkannya di belakang, jika saja bisa dibuang, sudah dari kemarin aku lakukan, sayangnya aku tak pernah bisa.
***

Tiga tahun dari hijrahku kota kecil menuju ibukota berlalu, di sebuah malam pada musim hujan, Evan, rekan kerja satu timku, melamarku di bawah rintiknya hujan. Aku yang sedang menunggu hujan hingga benar-benar reda di depan kantor, dikejutkan dengan tepuk tangan keluarga kecil Evan, orangtua dan kedua adiknya. Saat itu, Evan hanya membawa cincin yang aku idamkan ketika kami bertugas di Aceh. Cincin emas putih dengan dipenuhi ukiran arab pegon. Seberani ini Evan melukiskan perasaannya untukku? Bagaimana kecewa keluarganya jika aku tolak? Bukankah aku tidak pernah memberikan sinyal apapun? Selama ini kami hanya berteman baik dan tak pernah lebih kan? Mengapa dia berani melamarku langsung tanpa ritual menembak dengan menyatakan cinta? Evan, ada apa denganmu? Aku diam dengan cercaan pertanyaan dalam hati. Keluarga evan tersenyum hambar, antara bahagia dan cemas. Orangtua dan kedua adiknya tetap berdiri mematung disamping mobil mereka yang berteduh dibawah atap halaman kantor. Evan tepat berdiri dihadapanku. Suara merdu Evan menjadi pengantar lamunanku.
“Berkenankah kau menjadi yang halal bagiku?” tanya Evan menunduk
“Kenapa aku dan semendadak ini?”
“Karena aku meyakinimu untuk menjadi makmumku dan ibu dari calon anak-anakku kelak. Itu saja alasanku”
Jujur saja, jawaban Evan membuat hatiku meleleh, memang dia lebih baik lebih tampan dan lebih mapan dari Salman, namun aku masih memikirkan suami orang dalam hal segenting ini. Hal ini membuatku bertanya-tanya sendiri, haruskah ada cinta dalam pernikahan? Mungkin jika tidak saat ini, cinta itu bisa tumbuh nanti seiring waktu. Aku kembali mengingat pertanyaan ibu seminggu lalu melalui telepon. Kapan kau akan menikah nak? Ibu ingin segera menimang cucu. Sudah lama waktu berlalu, masihkah Salman ada di hatimu? Ibu hanya ingin kamu bahagia. Maka dari itu, jangan pernah abaikan pria baik yang mencintaimu, karena pria baik itu ibu yakini mampu membahagaiaknmu. Bukankah lebih baik hidup dengan orang yang mecintaimu daripada dengan orang yang kamu cintai? Kau sudah dewasa, renungkanlah nasehat ibu. Bertahun-tahun kau memikirkan Salman, namun sedetik pun Salman tak pernah memikirkanmu, dia sudah damai dengan istri dan anaknya. Sedangkan kau? Masih di tempat, menikmati luka-luka yang kau buat sendiri.
“Aku bersedia” jawabku dengan suara parau. Sontak saja, ada puluhan tepuk tangan mengiringinya setelah itu. Lamaran Evan untukku terjadi menjadi tontonan gratis bagi yang lalu lalang disekitar kantor. Betapa malunya aku, begitu sadar aku menjadi pusat perhatian diantar puluhan orang yang juga menunggu redanya sang hujan, rekan sekantor, atasan, office boy, semuanya menjadi saksi kesungguhan cinta Evan padaku. Dan, rintikpun sudah reda menyerbu bumi lalu perlahan sirna dari permukaan. Akupun berharap demikian terhadap cintaku untuk Haidar, menjadi layu mengering dan musnah diterbangkan angin.
***

Dan kini, diusia pernikahan ke-7 bersama Evan, aku sudah dikaruniai 2 orang putra kembar yang begitu hebat. Aku begitu mencintai mereka. Akhirnya aku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang melebihi mencintai diri sendiri. Begini rasanya, cinta ibu terhadapku. Dan inilah cintaku terhadap anak-anakku. Cinta ini melebihi cintaku pada Salman. Ah, pria yang aku nobatkan sebagai cinta pertama itu tak bisa benar-benar musnah. Ingatanku masih merahasiakannya dan mengenang seorang diri.
Minggu pagi, dibulan yang dipenuhi rintik hujan. Ada sesosok yang ku kenal dijendela chat whatsapp-ku. Salman.
“Assalamu’alaikum. Apa kabar Zaiva?”
Aku jelas membelalakkan mata. Kenapa sosok ini tiba-tiba hadir dan menyapa. Aku biarkan saja pesan itu terbaca tanpa membalasnya. Aku kembali menyibukkan diri di depan laptop. Lima menit kemudian, smartphoneku kembali berbunyi, tanda pesan di WA masuk. Sebuah puisi cinta yang begitu panjang, tentang hati yang begitu mencintai hati lain namun terhalang oleh keinginan orang tua. Diakhir puisi itu tertulis ini adalah tentang hatiku dan hatimu, Zaiva. By: Salman (Duda Keren). Aku tetap tak membalasnya. Diam dan berpikir. Apa yang harus aku lakukan. Merahasiakan tentang Salman atau menceritakannya. Meski aku tahu bahwa Evan, suami yang begitu bijaksana, tetap saja aku tidak tahu harus mengawalinya darimana. Namun, jika aku diamkan saja, aku takut suatu hari nanti ada kesalahpahaman yang akan terjadi setelahnya. Aku merenung, jemariku berhenti menari di atas tuts-tuts keyboard. Dan ditengah kegamangan itu semua, aku memberanikan diri menceritakan semuanya pada Evan. Evan adalah suamiku, imamku, kepala rumah tanggaku, pemimpinku, ayah dari anak-anakku. Evan adalah segalanya, aku tidak ingin ada fitnah diantara kami berdua. Evan harus tahu semuanya. Diakhir cerita tentang Salman, Evan memelukku hangat dan berbisik,
“Terima kasih Mama sudah jujur pada Abi. Terima kasih Mama sudah menomor satukan Abi. Terima kasih Mama tetap setia pada Abi. Terima kasih Mama telah memilih Abi dan anak-anak. Terima kasih Ma, Abi sayang Mama”.

Aku hanya bisa diterisak di dadanya, menangis bahagia, karena ditakdirkan menjadi makmum dari seorang pria hebat bernama Evan. Aku hanya bisa membalas pelukannya, menjatuhkan airmata di bajunya, tersedu-sedu penuh syukur, karena dianugerahi suami sekaligus imam hidup sesempurna Evan. Aku tidak ingin membahas Salman lagi, biarlah hal tersebut menjadi urusan Evan untuk berkomunikasi dengannya. Aku hanya akan mengingat Evan, merindukan Evan, mencintai Evan, mendo’akan Evan, mengasihi Evan, dan menyayangi Evan. Dan tentu kedua malaikat kecilku bersama Evan. Kembali teringat ucapan Evan, tidak penting bagaimana aku mencintainya di masa lalu, yang terpenting bagi Evan bagaimana aku mencintainya kini, esok, dan kelak di JannahNYA.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes