Home umum Annyeong-hi Gyeseyo, Debi Oppa (Cerpen)
Annyeong-hi Gyeseyo, Debi Oppa (Cerpen)
Atiya Fauzan June 09, 2015 0
“Saya mencintai anda. Itu aja yang gue katakan sama dia. Kenapa?” tanyaku pada Ajeng, sahabat karibku.
“What? Deylida, kamu serius nembak Debi?” Ajeng balik tanya, lengkap dengan sorot mata tajam tak percaya.
“Nembak? Gue cuma mengungkapkan perasaan dalam hati aja, gue ngerasa yakin kalo Debi adalah pria yang baik bagi gue, keluarga gue, agama gue, dan negara gue” jawabku penuh keseriusan.
“Tapi loe itu cewek Dey, loe harusnya pasif, bukan aktif. Kemaren Dimas berniat serius sampe cari perhatian di depan Mama Papa loe, malah ditolak. Lah sekarang, Debi yang diem-diem aja malah loe minta serius. Gimana sih? Emang Debi cinta sama loe? Lagian apa bagusnya Debi banding Dimas? Emang sih, si Debi udah mandiri bisa cari duit sendiri, tapi kan tetep aja Dimas lebih cakep, pengusaha muda juga, meskipun usaha bokap nyokap dia juga sih, tapi kan Dimas juga nggak jahat-jahat amat. Loe kayaknya perlu belajar untuk nge-nilai cowok sama gue deh Dey” Ajeng berapi-api, mungkin tidak ingin sahabatnya terluka.
“Ajeng sahabatku sayang, cewek harus pasif? Bukankah Sayyidatina Khadijah binti Khuwailid pernah menyatakan keseriusan yang sama ketika melihat akhlaq mulia Rasulullah? Loe gimana sih, katanya anak pesantren. Bagi gue, menyatakan cinta sama cowok tuh kayak ‘Golden Ticket’, gue cuma punya satu seumur hidup, dan itu udah gue gunakan untuk Debi. Dan yang pantes dapetin golden ticket itu, bukan cowok yang hebat, tapi yang sangat hebat. Menurut gue, Debi lebih hebat dari Dimas. Untuk masalah Debi cinta atau nggak sama gue, itu urusan belakangan. Gue udah istikharahin dia, yah sekarang giliran dia istikharahin gue. Dia cowok yang cerdas, dan tentu akan memiliki pilihan dan jawaban yang cerdas juga. Pasrah aja Jeng, yang penting jalan gue diridhoi Allah ama Mama. Udah itu aja cukup. Dan masalah menilai cowok, kamu salah Jeng. Menemukan cowok bukan dengan cara menilai mereka. Karena kalo kita nge-nilai mereka, nggak akan ada habisnya, kita nggak akan tahu berapa nilai sempurna itu, setelah nilai seratus ada cowok lain yang bagi kita ternyata pas dapetin nilai seratus sepuluh, begitu seterusnya. Jadi, cowok itu cukup diyakini serta dicintai dalam hati dan diminta dalam do’a mulia. Begitu” jelasku panjang lebar.
“Ampun dah, nyerah gue nasehatin loe Dey” Ajeng menghela nafas.
“Tapi gue bener kan?” tanyaku memainkan alis ke atas ke bawah dan lantas tersenyum.
“Iya juga sih” balas Ajeng sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Assalamu’alaikum wr.wb. Kak Debi yang terhormat. Dua hal yang saya tahu tentang anda, membuat saya yakin untuk mengistikharahkannya. Kak Debi adalah pria baik yang menjaga shalatnya dan pria hebat yang tidak pernah pacaran. Berangkat dari hal tersebut, saya pun memohon petunjuk pada Allah. Dan ternyata Kak Debi baik untuk agama saya, keluarga saya, dan kehidupan saya. Namun saya tidak tahu untuk sebaliknya.
Jujur, saya kurang paham seperti apa sosok Kak Debi sesungguhnya. Namun saya begitu mengerti seperti apa hati yang dimiliki oleh Kak Debi. Maka saya pun memohon sesuatu, dan Allah menggerakkan hati saya untuk melakukan hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh Siti Khadijah pada Rasulullah. Terpukau oleh kepribadian dan akhlaq, lalu kemudian menggunakan perantara ‘orang lain’ untuk menyampaikan isi hatinya. Berbeda dengan saya, surat dalam maya inilah yang saya pilih sebagai perantaranya. Dan, semuanya saya pasrahkan pada Allah. Jika memang jalannya dan takdirnya, maka semuanya akan dimudahkan. Dan jika memang tidak, maka tidak akan terjadi apa-apa diantara kita berdua.
Sebagai wanita, saya hanya berharap yang terbaik dan memohon yang terbaik pula. Tentang pria yang akan menua bersama saya atau tentang pria yang akan menjadi ayah untuk anak-anak saya kelak atau tentang pria yang akan menjadi jalan saya menuju surgaNya. Wassalamu’alaikum wr.wb.
***
Surat singkat untuk Debi dengan berani gue kirim, namun berhari-hari dia tak membalasnya. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, Debi tetep diem. Ah, sepertinya cinta gue bertepuk sebelah tangan. Gue harus bertindak, gue nggak bisa hidup dalam rasa penasaran, gue harus melanjutkan hidup, bukan diam dan tetep nunggu Debi tanpa pamrih gini. Dengan perasaan yang tak menentu, akhirnya surat kedua pun gue luncurkan ke email Debi.
***
Asslamu’alaikum wr.wb Kak Debi. Jika anda tidak berkenan dengan surat yang saya tulis, maka setidaknya anda menjawabnya meski satu kata, yaitu “tidak”. Karena sepertinya, sebenar-benarnya penolakan lah yang akan bisa membuat hati saya benar-benar berhenti untuk memikirkan hati anda. Dan setelah itu, semoga kita tetap bersaudara baik serta tetap dalam lindungan Allah SWT. Saya harap anda memiliki waktu untuk menjawabnya, karena hal tersebut yang saya tunggu, yang juga akan mempengaruhi langkah saya ke depan. Jika anda berkenan, maka saya akan menunggu hal tersebut, sampai kapan pun. Namun, jika anda tidak berkenan, maka dengan “tidak” tersebut insya Allah hati saya menerima. Saya mohon maaf untuk semuanya, dan saya berterima kasih pada anda untuk segalanya. Wassalamu’alaikum wr.wb.
***
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, Debi tetep diem. Gue bingung harus ngapain, gue nggak tahu harus mengartikan apa atas segala sikap Debi. Gue harus cerita apa sama Ajeng? Dua kali ngirim surat, dan tidak ada yang dibalas satu pun? Ajeng pasti akan tertawa lepas, karena keaktifan gue yang berbuah pahit. Mau nggak mau, gue tetep harus cerita hal ini pada Ajeng. Dan hasilnya diluar prediksi gue,
“Bego banget sih si Debi. Dia nolak loe? Kok bisa? Lagian loe juga pake acara nembak-nembak. Kenapa harus Debi sih? Yang cinta sama loe itu banyak Dey. Yang sms-in gue minta dikenalin sama loe dan didukung PDKT-an sama loe banyak Dey. Kenapa sih nggak salah satu diantara mereka aja, jangan Debi. Atau Dimas aja? Dia cinta banget sama loe” Ajeng malah marah-marah atas ceritaku, bukan tertawa.
“Jeng, Debi nggak nolak gue. Dia cuma diem aja, nggak jawab. Gue juga nggak tahu dia cinta atau nggak sama gue. Gue masih ngarepin dia. Gue cinta sama dia. Dan kenapa harus Debi? Itu sama aja gue tanya sama loe, kenapa loe hidup sebagai Ajeng sahabat gue? Kenapa nggak hidup sebagai orang lain? Jawabannya yah satu, takdir. Karena gue nggak bisa milih harus cinta sama siapa, ini takdir gue untuk mencintai Debi, entah sementara atau selamanya. Jadi, loe nggak usah tawar-tawar hati gue lagi” ucap gue dengan suara lemas.
“Disaat kayak gini loe masih belain Debi? Dey, gue kasihan sama loe. Ini pengalaman pertama loe suka dan cinta sama cowok. Gue cuma pengen bimbing loe, agar berakhir di cowok yang baik dan bener. Itu aja” Ajeng ikut melemahkan suaranya.
“…”
“Deylida, kayaknya loe harus cerita sama Mama loe deh” saran Ajeng.
“Jeng, Mama sakit. Udah dua hari ini gue sendiri hidup di rumah, jagain adek. Papa bawa Mama ke rumah sakit di Singapura. Sorry, gue nggak cerita dan jujur sama loe”
Ajeng langsung memelukku erat dan berkata, “Tante sakit lagi Dey? Loe yang kuat ya. Bulan-bulan lalu setiap om bawa tante berobat ke singapura, loe selalu ngubungin gue, loe selalu minta gue tinggal di rumah loe, kenapa sekarang nggak?”
“…” gue terdiam dan mulai menangis terisak.
“Pikiran loe terbagi sama Debi ya? Maaf ya gue tadi marah-marah sama loe” ucap Ajeng seraya melepaskan pelukannya
Dengan pipi yang dibanjiri airmata, gue ceritakan yang sebenarnya pada Ajeng,
“Mama udah tahu tentang Debi, semuanya. Satu detik pun nggak ada yang gue rahasiakan dari Mama. Beliau bahagia banget ngelihat gue bahagia. Beliau berharap banyak sama Debi, tanya tentang Debi, titip salam buat Debi, nge-do’ain Debi, kirim hadiah buat Debi. Tapi gue simpen aja semua salam dan hadiah itu, tapi Allah pasti mengabulkan do’a baik Mama untuk kebahagiaan dan kesuksesan Debi. Gue merasa bersalah, karena sudah mengecewakan Mama”
Ajeng tak membalas pernyataanku, dia ikut larut menangis bersamaku.
***
Assalamu’alaikum wr.wb Kak Debi. Saya mengartikan ‘diam’nya anda sebagai ‘tidak’. Itu berarti anda tidak berkenan atas surat-surat yang pernah saya tulis dan saya kirim. Sekali lagi mohon maaf untuk semuanya. Karena mungkin dengan mengenal saya, hidup anda terganggu dan tidak bahagia. Terima kasih untuk segalanya. Karena anda lah yang menjadi perantara bagi saya untuk mengenal cinta yang disematkan Allah pada kaum Hawa teruntuk kaum Adam. Saya beruntung mencintai anda, teramat beruntung. Dan, selamat menempuh studi S2 di Mesir, semoga dimudahkan, dilancarkan, dan semoga sukses. Insya Allah, tahun ini saya juga akan menempuh studi S2 di Korea Selatan, berdasarkan ‘diam’ yang anda berikan. Semoga anda tetap dalam lindungan Allah SWT dan tetap memiliki pribadi yang baik nan sholeh. Wassalamu’alaikum wr.wb.
***
Debi akan terbang meninggalkan Indonesia, gue pun demikian. Meski gue nggak pernah tahu seperti apa isi hati Debi sebenarnya, meski gue harus hidup dengan hati sesak setiap waktu, gue tetep menerimanya, gue tetep bahagia. Dan mengenai keputusan gue melanjutkan studi di Korsel, jelas membuat Ajeng mengamuk tak karuan. Gue pun pengen mengamuk pada keadaan, karena harus berpisah dengan Mama, Papa, adek, dan Ajeng. Tapi mau bagaimana lagi, takdir yang menuntun gue hingga sampai di langkah ini. Melihat keadaan hati gue sendiri, gue jadi teringat novel hebat berjudul “Assalamu’alaikum Beijing”. Gue jadi tahu alasan mengapa Beijing bagi Asma begitu indah, gue jadi mengerti sakit yang terobati dengan mengunjungi negeri lain, dan gue jadi paham bahwa cinta menghadirkan senyuman. Maka, dengan membawa hati yang ambigu, entah kosong atau terisi, gue melakukan apa yang Asma lakukan, terbang membelah langit. Bedanya, Asma melupakan pria Indonesia-nya untuk selamanya. Sedangkan gue tetap mengharapkan pria Indonesia-gue untuk selamanya.
“Annyeong-hi gyeseyo, Debi oppa” ucap gue dalam hati sembari berjalan memasuki Bandara Soekarno Hatta. Gue melangkah sembari menunggu discene ke berapa gue dipertemukan kembali dengan Debi atau discene ke berapa Debi terhapus dari hati gue. Dan inilah skenario kehidupan Yang Maha Indah.
_____________________
Selamat tinggal, Kak Debi
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment