MENU

Pengantin Senja (Cerpen By: Qurratul A'yun)

Pengantin Senja (Cerpen By: Qurratul A'yun)

Senja. Aku begitu menyukai senja. Tentu kau telah tahu itu sejak lama. Bahkan sebelum bertemu denganmu dan memilih mencintaimu, aku lebih dulu mencintai senja. Entah, aku merasa bahagia saat melihat senja yang menyala jingga. Seperti nyala cinta Pencipta Senja untuk makhluk-Nya. Cinta yang terwujud dalam kasih sayang Maha Penyayang. Cinta yang terlukis dalam keindahan senja. Ada keindahan dalam keindahan, keindahan milik Yang Maha Indah.

Tak hanya keindahannya yang membuatku jatuh cinta pada senja, tetapi karena begitu banyak moment bahagia dalam hidupku yang kualami di waktu senja. Bahkan berbait-bait puisi telah kucipta di kala senja. Semua itu menjadi bagian terindah dalam tiap romatika nafasku. Seperti ketika kau melamarku dan berjanji atas nama Maha Suci bahwa kau akan membahagiakan aku. Saat itu, senja semakin melengkapi kebahagiaan kita. Bahkah meski saat itu hampir tiga tahun berlalu, tetapi hingga detik ini aku masih mengingatnya. Dan tak akan pernah kulupa.
“Aku ingin, kau yang nantinya menjadi ibu dari anak-anakku,” ucapmu senja itu, di beranda rumah kostku. Aku terdiam. Antara bahagia, terkejut, juga keraguan berkelindan dalam hatiku.
“Tapi aku takut….” hanya kalimat itu yang mampu mewakili campur aduknya perasaanku.
“Apa yang kau takutkan?”
“Aku pernah gagal di masa lalu, dan itu sungguh menyakitkan. Bahkan hingga kini masih menyisakan sedikit luka,”. Aneh, kau justru tersenyum mendengar alasanku. Ahh…jangan bilang kau sedang mengejek kegagalan cintaku dulu.
“Masa lalu bukan untuk ditakuti. Temukanlah hikmah dalam kesengsaraanmu karena yang Maha Memberi kesengsaraan tidak semata-mata memberi kesengsaraan. Allah juga memberi hikmah yang sangat besar di balik kesengsaraanmu. Sepahit apa pun, jika itu datang dari Allah pasti manis. Banyak hikmah yang terkandung dalam kerasnya cobaan Allah. Hingga yang ada hanya kata Alhamdulillah,” kau pun mulai “cerewet” menasehatiku. Tapi jujur, inilah yang membuat aku yang bodoh ini jatuh cinta padamu. Aku merasa tentram dengan wajangan-wejanganmu. Kau sangat berbeda dengan laki-laki lain yang pernah mendekatiku. Mereka hanya mengumbar kata rayu penuh nafsu. Sedang engkau, hemm….kau berhasil menyentuh sisi spiritualku. Membuka mata hatiku bahwa di antara gemerlap dunia, ada tugas mulia sebagai bentuk bakti kita pada Yang Maha Kuasa. Yaitu, menjadi pelayan-Nya. Menempatkan-Nya di urutan paling atas dari sebuah hierarki cinta.
“Kenapa diam?” suara baritonmu mengembalikan aku dari dunia lamunan.
“Yakinkan aku bahwa kau akan membahagiakanku,” lirih pintaku.
“Nisa dengar…Demi Allah Yang Maha Suci, aku, Yusuf Abdullah, berjanji tak akan menyakitimu. Aku akan membahagiakanmu, percayalah…..” ucapmu mantap. “Lantas apa lagi yang kau inginkan sekarang?”. Tanyamu kembali mengantarkanku ke dalam ruang bisu. “Katakanlah…!!” kau memelas.
“Aku…aku ingin menjadi istrimu, menjadi ibu dari anak-anakmu kelak,” kalimat ini terucap begitu saja. Meski agak terbata.
“Alhamdulillah…….” sekuntum senyum merekah mengiringi ucap syukurmu. “Kita mantapkan hati, lalu kita melangkah lebih jauh,” lagi-lagi, senyummu kian rekah bersama rekahnya senyuman senja yang begitu jingga. Dan senyum kita pun menyatu dengan indahnya senja.
Sejak senja itu, hari-hariku semakin ranum bersamamu. Manis dan indah. Aku semakin yakin dengan keputusanku untuk menerimamu. Sebab kau semakin menunjukkan keseriusanmu. Kau tanyakan mahar apa yang kupinta untuk pernikahan kita. Dan dengan tersipu aku hanya menjawab bahwa kau cukup membacakan syair-syair Imam al Busyiri, maka aku akan sah menjadi milikmu. Kau pun menyanggupi.
Tapi ternyata, kebahagiaan senja itu tak bertahan lama. Bahkan hanya seumur jagung. Aku mampu membacanya dari sikapmu yang kadang dingin dan acuh. Meski kau masih perhatian kepadaku, namun aku tahu kau masih memikirkannya. Ya, dia yang pernah mengisi sepenggal kisah cintamu. Dia, yang hingga detik ini masih menganggapmu sebagai kekasihnya dan mengharapkan tetesan cintamu. Dia, yang menganggap kehadiranku sebagai orang ke tiga yang merusak hubunganmu dengannya.
“Aku sudah nggak ada hubungan apa-apa dengan Diana, bahkan sebelum aku mengenalmu, hubunganku sudah berakhir. Kalaupun dia masih menganggapku sebagai kekasihnya, yach…itu urusannya” terangmu.
“Tegaslah padanya…..” aku merajuk.
“Annisa….dia terlalu lemah untuk menerima ketegasanku tentang komitmen kita,”
“Kau pikir aku cukup kuat dengan keadaan seperti ini?. Aku tersiksa, sakit hatiku…”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Tegaskan pada Diana tentang keseriusan hubungan kita,”
“Aku tak bisa,”
“Kenapa?”
“Ahh…diamlah…!!”
Pertengkaran. Ya, hanya pertengkaran yang kini mewarnai hari-hari kita. Berdebat tanpa ujung pangkal. Dan aku semakin sakit dengan keadaan ini. Ironis sekali, sakit hatiku justru karena orang yang telah berjanji tak akan menyakitiku. Begitukah janjimu?.
Sepenuhnya aku sadar, dibandingkan dia, aku memang orang baru dalam hidupmu. Aku pun tak pernah memaksa atau memintamu untuk memilihku. Semua itu keputusanmu. Setidaknya kau bisa bertanggung jawab dengan keputusan yang telah kau ambil. Bukankah itu yang selama ini sering kau katakana padaku. Bahwa hidup kita adalah tanggung jawab kita. Sedangkan keputusanmu adalah bagian dari hidupmu. Jadi, bertanggung jawablah…!!!.
Apa kau tak pernah tahu betapa hadirmu sangat berharga bagiku?. Hanya kau yang kuinginkan untuk menjadi suluh dalam rumah tanggaku. Menjadi guru lakiku, imamku. Sebab aku yakin, kau mampu menuntun jiwa ringkihku menapaki tangga menuju cinta-Nya. Tapi, apakah semua itu mungkin jika saat ini kau seperti telah melupakan janjimu. Sementara aku terlanjur mencintaimu, meski tentang cinta aku tak pernah mampu mendefinisikannya. Sedang tentang janji, aku tetap menanti.
Namun entah, akhirnya kau pun memenuhi janjimu untuk membahagiakanku. Hingga pernikahan kita benar-benar terjadi. Saat itu, aku terlonjak bahagia ketika kau bilang bahwa orang tuamu telah menetapkan tanggal pernikahan kita. Semua terjadi begitu cepat. Aku sendiri tak tahu apa yang mendorongmu membuat keputusan yang kurasa sangat mendadak. Tapi jujur, aku bahagia. Bahkan sangat bahagia.
* * * * *
Pada suatu senja di bulan Juni ini, kau ucapkan ikrar cintamu di depan penghulu. Lantas kau senandungkan burdahnya Imam al Busyiri sebagai mahar untukku. Saat itu, seluruh undangan yang hadir turut menyaksikan kebahagiaan kita sebagai pengantin senja. Sedang aku tak mampu menahan air mata. Haru dan bahagia. Senyum jingga sang senja seolah turut bertasbih. Menabur kuntum doa pada lembaran baru hidup kita.
“Kau bahagia?” tanyamu usai kita berjama’ah sholat maghrib.
“Aku tak hanya bahagia mas, tapi sangat bahagia,” jawabku manja.
“Berbahagialah….!” lanjutmu sebelum kita kembali menemui para tamu.
Apa maksud kata-katamu mas?. Meski kau tak menyuruhku berbahagia, aku sudah sangat bahagia. Tapi sepertinya kau tak bahagia. Padahal aku ingin ini menjadi kebahagiaan kita, bukan kebahagiaanku saja.
Serta merta ribuan tanya berebut tempat dalam rongga pikiranku. Berjubel penuh sesak. Sesak yang menjelma menjadi sebuah kegelisahan.
* * * * *
Setahun berlalu dari perjalanan rumah tangga kita. Kau tahu mas, aku begitu tertatih menempuh perjalanan ini. Meski saat ini kita telah menjadi suami istri dan menanti kelahiran sang jabang bayi, tapi aku tak yakin kau sepenuhnya bahagia dengan pernikahan kita. Sebab hingga detik ini kau masih memikirkannya. Dia kah kebahagiaanmu?. Aku tak pernah melarangmu menyayangi dia atau siapa saja. Tapi bukan rasa sayang sebagai kekasih. Namun jika itu yang membuatmu bahagia. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Selama ini, kau sudah cukup membahagiakan aku. Maafkan aku mas, jika aku egois. Aku bahagia tapi kau tidak. Tunggulah, jika saatnya tiba aku akan membahagiakanmu dengan caraku sendiri. Meski cara itu akan sangat menyakitiku.
Kau seperti terbebani dengan masa lalumu. Tiap matamu terpejam, aku hanya bisa membelai rambutmu. Memandangmu dengan hati nelangsa. Dengan linang air mata. Selalu. Selalu seperti itu tiap kau rebahkan tubuhmu di sampingku. Dan terkadang kau terjaga saat mendengar isakku.
“Kamu kenapa?” tanyamu memberi sekecup perhatian.
“Nggak apa-apa,” singkat jawabku. Buru-buru kuseka air mataku.
“Perutmu sakit ya?. Sini….!!!” kau rengkuh aku dalam dekapmu. “Kamu tidur juga ya, jangan nangis….” jemarimu dengan lembut mengusap perutku. Aku diam dengan mata terpejam. Meski linang air mata tak lagi ada. Tapi hatiku kian terisak dalam dekapmu.
* * * * *
Rumi Putra Senja. Sebuah nama yang indah, penuh cinta. Itu lah nama yang kau berikan untuk anak kita. “Rumi” nama yang kau ambil dari nama seorang tokoh Sufi yang populer dengan puisi-puisinya dalam kitab Matsnawi. Sedangkan “Putra Senja”, nama itu kau berikan sebab kau tahu aku begitu menyukai senja. Dan kita adalah pengantin senja.
Kini, saat usia Rumi memasuki tiga bulan. Kurasa inilah waktu yang tepat untuk membahagiakanmu. Maafkan aku sayang, maafkan jika aku dan Rumi harus meninggalkanmu. Ini lah caraku untuk membahagiakanmu. Boleh kau anggap aku tak rasional, bahkan gila sekalipun. Tapi semua ini kulakukan untuk membahagiakanmu. Aku tak ingin kau terus-terusan merasa terbebani. Ini lah bukti ketulusanku.
Senja ini aku akan pergi, mungkin perpisahan kita sedikit lebih indah jika disaksikan senja. Mungkin pula senyum jingga sang senja mampu menerangi gelapnya kesedihanku. Setelah aku pergi, menikahlah dengan Diana, bahagiakan dia agar bebanmu lenyap. Tapi jangan pernah ceraikan aku. Jangan pula kau cari aku. Biarkan aku tetap menjadi istrimu selamanya. Meski kau tak lagi menafkahi aku, tenanglah…aku tak akan menuntutmu. Bahkan di akhirat sekalipun. Aku ikhlas. Sebab, sekali lagi, aku ingin membahagiakanmu.
Aku berpacu dengan waktu untuk mengemasi barang-barangku dan semua perlengkapan Rumi. Sembari berdoa agar kau tak segera pulang agar aku dan Rumi bisa pergi dengan tenang. Sudah kutelpon taksi untuk mengantarku ke terminal Arjosari. Dari kota dingin ini, aku akan ke Surabaya. Di sana sudah ada teman yang siap membantuku untuk memulai hidup baru. Tentunya tanpamu.
Di kota Pahlawan itu, aku akan membangun mimpi lamaku untuk mendirikan sebuah panti asuhan. Kebetulan, temanku adalah ketua sebuah yayasan social yang cukup terkemuka di sana. Aku akan bergabung dengannya. Dan suatu saat aku akan membangun panti asuhan sendiri. Biarlah Rumi tumbuh bersama anak-anak di panti asuhan. Kelak, akan kuceritakan padanya bahwa ia memiliki ayah yang hebat, baik, dan penyayang. Ia pasti bangga memiliki ayah sepertimu mas. Bagiku, Rumi adalah dirimu, juniormu. Senyumnya adalah senyummu. Bersama Rumi aku akan merasa tetap bersamamu.
* * * * *
“Kau ini apa-apaan sich?” bentakmu. Rumi yang berada dalam gendonganku terbangun. Ia terkejut dan menangis.
Aku sama sekali tak menyangka jika kau akan pulang secepat ini, hingga kau memergoki aku yang sedang berkemas. Padahal siang tadi kau bilang akan pulang telat karena lembur.
Surat yang kutaruh di meja ruang tengah rupanya telah kau baca. Surat perpisahan yang menjelaskan kepergianku. Tapi aku hanya bisa diam sambil mencoba menenangkan Rumi.
“Nisa jawab…..!!!” kau semakin geram.
“Sudah kujawab dalam surat itu,” ucapku sambil terisak.
“Beginikah caramu membahagiakanku?”
“Ini jalan terbaik,”
“Terbaik menurutmu?”
“Bukan, tapi terbaik untukmu. Hatiku sakit jika harus berpisah denganmu. Tapi aku nggak mau egois mas. Aku ingin kamu bahagia bersama Diana,” isakku semakin menjadi. Menyatu bersama tangis Rumi.
“Kenapa kau lakukan hal yang sama-sama membuat kita terluka?. Tetaplah bersamaku jika ingin membahagiakanku,”
“Tapi nyatanya selama ini kau tak bahagia, kau masih memikirkannya,”
“Maafkan aku, istriku….semua itu kesalahanku. Sekarang, izinkan aku menebus kesalahan itu. Tetaplah di sini…kumohon…”
Kau rengkuh aku dalam pelukanmu. Lembut jemarimu menyeka bening air mata yang mengalir di kedua pipiku.
“Bukankah dulu kau pernah berkata ingin menikmati senja bersamaku, diiringi tawa ceria dari bibir mungil yang memanggil kita ayah bunda. Mari kita wujudkan semua itu, aku ingin tetap bersamamu, bersama Rumi. Jangan pergi dan jangan pernah pergi,” kau berbisik di telingaku. Namun aku masih terisak. Sementara, Rumi mulai menghentikan tangisnya.
“Kita akan tetap bersama, selamanya….aku mencintaimu istriku…!!!” kau memelukku semakin erat. Kupejam sepasang mata yang masih basah, sembari menghitung detak jantungmu yang seolah berbisik agar aku tak meninggalkanmu.
Senja di ufuk barat sana kembali menyajikan senyum jingganya. Indah penuh cinta. Aku pun kembali merasa menjadi pengantin senja. Dan untuk kesekian kalinya, Tuhan melengkapi kebahagiaan kita dengan indahnya senja. Fabiayyialairabbikuma tukadziban….?

Malang, 16 November 2010 (02.34 pm) 
Office alone, diiringi senandung hujan yang mengguyur kota dingin Malang.

3 comments :

  1. Senja,,, hhhmmmm cindy suka banget sama senja mbak :) sip bgt pokoknya, nii mbak" yg di UPM tha yg buat ?

    ReplyDelete

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes