Who Is She?
Atiya Fauzan June 05, 2014 1
Imama menatap nanar sebingkai gambar dalam smartphonenya. Gadis cantik yang tersenyum ramah sembari menggendong seorang balita, wajahnya asing, namun membuat semuanya menjadi jelas. Jelas sejelas-jelasnya, bahwa cinta yang Imama simpan selama ini tak berbalas secuil pun. Meski berulang kali hatinya mengatakan “Aku ikhlas, aku tak menginginkan apapun, aku tak ingin pamrih”. Tapi tetap saja airmatanya luruh bersamaan dengan rintik hujan yang sepertinya turut berduka. Ah, Imama sepertinya malu pada Rabb-nya, ia segera menyeka buliran kesedihan itu. Untuk pertama kalinya menangis karena seorang pria, bukan karena Ibu dan Ayahnya atau karena dosanya. Ia memilih diam, karena untuk tersenyum pun rasanya sulit. Kembali mengenang kisahnya, karena sungguh hanya kenangan yang ia punya.Ali, begitulah orang-orang memanggil namanya. Pria yang begitu sederhana, yang memiliki kekhasan sebuah senyum tulus dan lukisan akhlaq yang santun. Sudah ratusan kali Imama bertemu dengan pria yang bahkan lebih tampan dari Ali, namun hanya dihadapan Ali ia berkeringat dingin, jantungnya berdegup tak berirama, dan hatinya terasa panas.
“Inikah jawaban dari do’aku?” tanyanya pada diri sendiri. Doa yang ia lantunkan di setiap waktu, yang ia resapi disepertiga malam. Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim. Aku mohon, cintakan aku kepada salah satu hambaMu yang engkau ridhoi untukku, yang baik untuk agama, bangsa, dan keluargaku. Siapapun dia, dengan takdirMu, hatiku tak mungkin kuasa menolaknya.
Imama begitu kegirangan dengan perasaan yang ia sebut sebagai anugerah. Ia pun menyimpannya dan membawanya pulang ke rumah, sebagai oleh-oleh untuk ia curhatkan kepada sang ibu.
“Ibu, aku jatuh cinta” ucapnya berbinar disertai senyum kebahagiaan
“Kenapa bukan bangun cinta?” jawab sang ibu sembari membelai rambut putri bungsunya yang kini tidur di sampingnya
“Aku serius bu”
“Iya im, ibu bahagia mendengarnya”
“Ibu tidak marah?” tanyanya keheranan
“Kenapa harus marah? Kamu sudah menjaga amanah ibu sayang. Ibu akan memarahimu jika kamu melanggarnya. Toh selama ini kamu tidak pernah pacaran atau boncengan dengan pria yang tidak halal untukmu. Cinta itu fitrah nak, silahkan saja. Ibu hanya bisa berharap, dia adalah pria baik untukmu.”
Mmmuaaach. Imama mengecup kuat pipi ibunya.
“Siapa dia nak?”
“Ali, kakak angkatan di kampus bu.”
“Tolong diingat, kamu masih berada dalam tanggungjawab ibu, secinta apapun kamu terhadapnya,…”
“Aku mengerti bu, tetap jaga amanah ibu dan ayah” lanjut Imama memotong kalimat ibunya.
Ibunya pun membalas dengan sebuah kecupan yang mendarat di kening putri kesayangannya itu.
***
Dalam diam Imama mencintai Ali. Ia titipkan sang rindu pada angin yang menerpa, hanya itu yang bisa ia lakukan. Bersikap tak peduli, padahal sangat mencintainya. Seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan, dan nyaris setahun Imama masih kuat menyimpan cinta yang ia sebut tanpa bahan pengawet, maka tak akan pernah kadaluarsa, yang ia bilang tanpa pemanis buatan, maka sungguh semuanya apa adanya.
Dan dalam sebuah pagi yang tetap indah bagi Imama selama nyaris setahun ini, ia termenung dalam tidurnya disebuah kamar kos miliknya yang berukuran 4x4, yang ia tinggali hanya bersama sahabatnya, Fatin.
“Im, sampai kapan kamu menunggu? Gara-gara Ali hatimu terkunci” Fatin tiba-tiba berucap kesal, ia adalah seseorang yang telah menjalin persahabatan dengan Imama selama bertahun-tahun. Ia juga yang menjadi orang kedua setelah ibu Imama, yang mengetahui perasaan Imama untuk Ali.
“Sampai semuanya benar jelas, jelas sejelas-jelasnya. Maka aku akan menyerah” balasnya tanpa berekspresi.
“Jelas seperti apa? Kau tak kasihan pada Akbar? Sampai berubanpun dia rela menunggumu. Kau tak merasa rugi mengacuhkan Azka? Dia nyaris sempurna dan mencintaimu apa adanya. Kau menganggap bumi ini dihuni oleh wanita sepenuhnya, dan hanya Ali yang pria sejati” Fatin tetap kesal dengan sahabatnya yang terlalu setia itu.
“Fatin, andai cinta bisa di pesan, aku ingin mencintai Akbar yang begitu setia, aku ingin mencintai Azka yang nyaris sempurna, aku ingin mencintai pria yang ibu sodorkan untukku. Tapi, aku sudah mengutarakannya dalam do’a, dan inilah jawabannya” balasnya dengan berusaha tetap tenang.
“Dan jawaban itu Ali? Jika dia peduli padamu, dia tidak akan membuatmu menunggu. Dia tidak mencintaimu Imama, sadarlah”
“Aku tak sekedar mencintainya, aku juga meyakininya”
“Jangan hanya karena sinyal sepele, harapanmu semakin besar terhadapnya. Aku tahu Ali adalah pria yang baik, tapi haruskah kamu mengabdikan hidupmu pada pria yang tidak benar-benar mencintaimu?”
“…” Imama terdiam
“Mungkin benar kata Darwis Tere Liye bahwa orang-orang yang sedang jatuh cinta akan cenderung menghubungkan satu dan hal lainnya. Mencari-cari penjelasan yang membuat hatinya senang. Dan kamu termasuk dalam golongan itu. Hanya karena status BBM (Blackberry Mesengger) yang hampir sama, DP (Direct Photo) BBM yang begitu serupa, kamu sebut itu cinta? Hanya karena sedikit perhatian, kamu anggap dia suka?”
“Cukup Fatin !!!” bentaknya dan beranjak dari posisi tidurnya.
“Aku begini karena aku peduli padamu im. Dalam hal cinta, aku lebih ahli daripada kamu. Kamu hanya memahami teorinya saja, yang kamu pelajari dalam buku dan film” Fatin benar-benar kesal.
“Bukan karena aku tidak pernah pacaran, bukan karena aku tidak memiliki mantan seorangpun, lantas aku lebih bodoh darimu dalam urusan cinta” sanggahnya tak kalah kesal.
Hening. Tak ada suara lagi. Keduanya sama-sama diam, memikirkan kekesalan masing-masing. Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perdebatan diantara dua sahabat ini, entahlah.
***
Pasca diskusi panasnya dengan Fatin, cinta Imama untuk Ali bukannya goyah, malah bertambah kuat. Ia merasakan cinta dengan sebenar-benarnya cinta. Cinta tanpa alasan mengapa, yang ia tahu karena Rabb-nya lah cinta itu ada, bersemi, dan kemudian tertanam. Cinta yang berarti sebagai perasaan suka plus sayang plus kasih yang disertai dengan keinginan untuk hidup bersamanya dan menjadikannya imam hidup dan menobatkan diri sebagai pendampingnya dan makmumnya. Itulah definisi cinta baginya kini, bukan sebatas degupan jantung dan denyut nadi yang tak bekerja normal.
Tanpa imbalan apapun, Imama membawa perasaannya kemana-mana. Memendamnya saja ia begitu bahagia, bagaimana jika memilikinya? Sungguh, cintanya pada Ali memang aneh. Mengobrol dengan Ali lebih dari 5 menit saja, ia tak pernah. Tapi nyaris setahun dia memendam sebuah perasaan bernama cinta. Cinta yang tak kan terhapus karena tak terukir sebelumnya, sebab cinta adalah cinta, tak ada tinta yang mendefinisikan, tak ada pikiran yang menggambarkan, hanya hati dan iman yang mampu mensyukuri dan merasakan.
***
Dalam setianya menunggu, Imama menyalin sebuah puisi yang dulu ia karang. Puisi tak bertuan, yang berarti bukan untuk siapa-siapa dan bukan milik siapa-siapa. Namun, puisi itu kini menemukan tuannya, yaitu Ali.
Maaf Untuk Cinta
Aku mencitaimu disertai ribuan maaf
Maaf, cintaku tak sedahsyat cinta Khadijah untuk Rasulullah
Maaf, cintaku tak tersimpan rapat layaknya cinta Fatimah untuk Ali
Maaf, cintaku tak sekuat miliK Ainun untuk Habibi
Maaf, cintaku hanyalah cinta
Kemampuanku untuk mencintaimu apa adanya
Maaf, aku tak bisa berjanji tentang batas waktu akan cintaku
Hari ini, lusa, tahun depan, atau selamanya
Aku hanya bisa meminta, agar Allah berkendak menitipkan cinta lebih lama
Karena cintaku hanya sebuah titipan
Yang hilang bukan karena kesalahanmu
bukan karena kekuranganmu
dan juga bukan karena perubahanmu
Tapi karena Allah telah mencabutnya dari kalbuku
Maaf, aku tak bisa definisikan kapasitas cinta dihatiku
Seluas samudera, setinggi gunung, atau sejagat raya
Aku hanya bisa mengatakan bahwa, 'ada cinta untukmu'
Tanpa ukuran dan tanpa batas
Cinta yang memang telah digariskan tanpa kebetulan
Cinta yang bisa membesar dan mengecil tanpa kontrol dariku
Semua atas kuasa Allah tanpa tercampuri oleh hati
Maaf, aku tak bisa mengekspresikan cinta yang ku punya
Dalam bahasa lisan ataupun perbuatan
Aku hanya mengadu dalam do'a
Bahwa cinta itu ada
Dan biarkan berjalan tanpa melewati garis, bernama aturan
Maaf, sungguh maaf
Cinta sederhana dalam balutan sahaja
Hanya itu yang aku punya
Maaf, beribu maaf
Cinta tanpa jaminan
Hanya itu yang aku simpan
Maaf, maaf, maaf
Atas cinta yang kumiliki
Atas kehendakNYA aku miliki cinta
***
Imama kembali menatap lekat-lekat gadis yang menjadi Direct Photo milik Ali tersebut. Berharap mengenali rautnya. Namun sia-sia. Imama sama sekali tak mengenalinya, siapa dia, siapa dia, siapa dia, hanya tanya itu yang ia tanyakan pada dirinya sendiri. Sayangnya, tak ada jawaban dari arah manapun. Hal ini terlalu jelas baginya kini, meski isak tangisnya semakin mereda, namun lukanya tak pernah berkurang perihnya. BIDADARI SURGAKU, begitulah status yang Ali tulis menyertai gambar si gadis cantik itu. Sungguh, Imama ingin berlari ke pelukan sang ibu, menumpahkan seluruh kepedihan hatinya. Ia ingin membuat pengakuan di hadapan Fatin langsung dengan mengatakan “Aku menyerah kini, Fatin. Ajari aku untuk melupakan Ali. Aku tak tahu caranya, sungguh kau lebih hebat dalam hal cinta daripada aku. Aku kalah” Dan kini Imama tahu seperti apa luka yang dirasakan Akbar dan Azka selama ini. Kedua pria yang kini ia sebut sebagai ‘pria berhati baja’.
Bersambung...
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Gak mood nge-lanjutin masih...insya allah secepatnya :)
ReplyDelete