MENU

Donor? For What?


                Donor? Hingga kemarin, hingga usiaku menyentuh angka 21 tahun, aku belum pernah berurusan dengan jarum donor. Karena memang aku memiliki ketakutan dengan jarum suntik, kecuali berada dalam keadaan ‘darurat’ alias sakit, baru kulitku bersedia ditusuk jarum suntik. Dan bagiku dulu, mendonorkan darah merupakan sebuah kegiatan sukarelawan yang tidak terlalu penting untuk keadaannku, jadi tidak perlu memaksakan diri untuk menerima sakitnya disentuh jarum suntik. Namun, itu semua keliru dan salah.

                Semua berawal ketika kakakku melahirkan putri keduanya dan mengalami kekurangan darah, beruntung pihak rumah sakit memiliki stok saat itu. Aku jadi berpikir dan merenung, “Ternyata sakit ditusuk jarum suntik, waktu menunggu proses donor darah hingga usai, dan pada akhirnya menghasilkan sekantong darah, dapat membantu oranglain untuk mempertahankan kesehatan bahkan nyawanya. Seandainya semua orang di dunia ini sepertiku, karena takut sakit dan dianggap membuang-buang waktu, maka memutuskan untuk tidak menjadi pendonor seumur hidup, akan ada berapa jiwa yang berlarut-larut dalam kesakitan dan tidak tertolong?”
                Kemarin aku memang bodoh, teramat bodoh  malah. Maka mulai detik selanjutnya, aku memutuskan untuk menjadi seorang pendonor darah aktif. Demi manusia yang lain, karena aku bisa bertahan hidup karena manusia lain juga. Bukankah karena itu manusia disebut makhluk sosial. Dan aku pun membunuh grogi yang muncul untuk menghalangi langkahku mendonorkan darah pertama kali. Ditusuk jarum bermenit-menit? “Ah…hanya jarum, bukan pisau.” Kataku ucap pada diri sendiri untuk menguatkan. Dan aku pun mengisi form identitas yang telah disediakan, setelah melakukan beberapa pengecekan, aku diperbolehkan untuk mendonorkan darah. Menduduki tempat paling pojok, salah seorang petugas menyapaku ramah, dan dengan hati-hati memulai ritualnya untuk mengambil sebagian kecil volume darahku. Tak lupa, sang petugas mengajakku mengobrol dan cesss… jarum itu sudah memasuki kulitku. Sakit memang, tapi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit yang harus dirasakan saudara-saudaraku yang lainnya.

                Hal lain yang membuatku ingin kembali mendonorkan darah nantinya adalah keramahan dari para petugas PMI kala itu. Mereka membuat detik-detikku selama bersama dengan jarum suntik yang menancap dan darah yang terus mengalir, menjadi detik yang menenangkan. Sungguh diluar dugaan. Andai mendonorkan darah bisa dilakukan tiap minggu atau tiap bulan, aku akan berdiri dibarisan paling depan dan berkata “Saya siap”.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes