MENU

Antara Korupsi Dan Tradisi


“Aku korupsi? Bagaimana bisa?” tanya salah seorang sahabatku ketika aku berujar “Kamu sudah menjadi koruptor kecil”. Dalam lingkungan kita, begitu banyak orang-orang yang mencaci maki para koruptor kelas kakap, sebut saja seperti Nazaruddin, yang merugikan negara puluhan milyar. Namun, mereka tidak menyadari para koruptor kelas teri, yang mungkin saja bisa naik kelas, yang ada disekitarnya bahkan ada dalam dirinya sendiri. Begitulah fenomena yang sedang terjadi di masyarakat kita.

Seperti halnya sahabatku tadi, dia meminta uang buku pada orangtuanya jauh lebih mahal dari yang diharuskan oleh pihak sekolah. Meski hanya Rp 50.000, korupsi tetaplah korupsi. Ini hanya salah satu contoh korupsi kelas teri, sebenarnya masih banyak lagi. Sebut saja seperti panitia korupsi anggaran acara/ lomba, guru yang korupsi waktu, dan lainnya. Jika Bank Dunia dan Lembaga Internasional Transparansi menganut definikasi klasik yang memandang korupsi sebagai penggunaan posisi seseorang di masyarakat untuk mendapat keuntungan pribadi secara tidak sah (Singgih: 2002). Namun, menurutku korupsi adalah pengambilan keuntungan pribadi secara tidak sah, baik dari segi materi, tenaga, dan waktu, dari individu, kelompok, atau organisasi lain.
Ketika aku menjelaskan alasanku menyebut sahabatku tadi sebagai koruptor, dia membuat cerita pembelaan, “Hal seperti ini sudah biasa, banyak siswi lain yang melakukan hal serupa denganku. Padahal tidak pernah ada tugas makalah, tapi mereka mengatakan pada orangtuanya ada 5 tugas makalah dalam sepekan, dan hal itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ibuku juga sudah biasa meminta anggaran lebih pada ayah. Padahal total perayaan ulang tahunku kemarin hanya sekian, tapi ibu meminta lebih. Belum lagi jika ibu membuat kue, mengadakan arisan, dan lainnya. Ibu melakukan hal yang sama pada ayah. Dan juga, pedagang cilok depan sekolah, katanya Rp1.000 mendapatkan 11 buah cilok. Tapi buktinya, seringkali ketika aku hitung jumlah ciloknya hanya 10 buah. Itu sudah tradisi, bukankah jika sudah menjadi kebiasaan maka sah-sah saja”
Meski hanya satu rupiah sekalipun, kebohongan berupa korupsi tetaplah perbuatan yang hina. Meski menggunakan alasan kebiasaan atau keumuman, sebenarnya manusia tak pernah sudi untuk ditipu. Bukankah untuk menjadi sebuah gunung yang besar, yang mampu meluluh lantakkan satu daerah, dibutuhkan kerikil-kerikil kecil yang dikumpulkan dan dijadikan satu? Begitu pula dengan perbuatan korupsi, menjadi seorang koruptor kelas kakap dengan dana korupsi yang mencapai milyaran bahkan triliunan, maka pada mulanya sebenarnya diawali dengan sikap tidak jujur dengan korupsi seribu, sepuluh ribu, kemudian seratus ribu, lalu satu juta dan seterusnya.
Jika kita melihat secara definisi, sebenarnya korupsi berasal dari kata kerja corruptus yang berarti menghancurkan. Kata hancur dalam definisi ini memiliki konotasi negatif, yang berakibat pada ‘merugikan pihak lain’. Artinya, karena perbuatan buruk ini jika semakin banyak pelakunya dan semakin dijadikan tradisi, maka sebenarnya mampu menghancurkan sesuatu hal dalam skala besar, sebut saja seperti negara. Sedangkan untuk korupsi yang termasuk dalam kelas teri tadi, maka mampu menghancurkan sesuatu hal dalam skala kecil, seperti kepercayaan oranglain.
            Korupsi yang menjadi tradisi, yang sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan dan enggan untuk dikategorikan dalam perbuatan korupsi itu sendiri, sebenarnya berasal dari individu masing-masing. Darimana dia belajar dan memahaminya sebagai sebuah kesalahan atau kewajaran. Wanita, menjadi sosok penting dalam penerapan hal ini. Karena banyak orang yang berkata bahwa, dibalik pria yang sukses pasti ada seorang wanita yang hebat dan wanita yang hebat akan melahirkan generasi yang hebat pula. Dan seorang ibu adalah sekolah pertama bagi sang anak. Jika setiap wanita di negeri ini memerangi korupsi, maka perbuatan keji ini tidak akan menular dan mengakar dengan begitu hebat. Karena notabenenya, wanita adalah seorang anak, ibu, istri, sahabat, yang memiliki peran penting dalam siklus hubungan di masyarakat. Istri yang baik atau ibu yang baik, akan selalu menanamkan dan menebarkan nilai kebaikan di dalam keluarganya, dan hal ini jelas akan berpengaruh pada kepribadian suami serta anak-anaknya.
            Namun tetap saja, misi memerangi korupsi tidak bisa dilimpahkan kepada kaum hawa saja. Sebenarnya, semua tergantung pada individu masing-masing. Dan misi ini milik kita semua, rakyat Indonesia. Baik yang tua atau muda, yang kaya ataupun miskin, yang di desa bahkan di kota. Hal ini merupakan tanggung jawab kita untuk memberantas korupsi, dan dimulai dari hal terkecil terlebih dahulu, yakni jujur pada diri sendiri. Memerangi korupsi sudah dimasukkan dalam kategori ‘wajib’ alias harus.  Ini semua agar mampu mencapai pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.
            Perbuatan tercela seperti korupsi, memiliki dampak negatif yang begitu besar bagi korbannya. Korupsi yang terjadi di negeri kita, tak hanya menghambat pembangunan ekonomi, karena banyaknya dana pembangunan dan perbaikan yang masuk ke dalam kantong pribadi para pejabat. Tapi juga, membahayakan kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia, karena proyek persediaan obat yang kadaluarsa, proyek prasarana yang dirancang dengan buruk, dan proyek-proyek lainnya.
            Namun lucunya di negeri ini, korupsi masih saja begitu digemari. Meski KPK sudah membuat desain baju tahanan dengan warna oranye, meski ada hukuman kurungan penjara yang menanti, meski menyandang status ‘maling’ yang disiarkan di media massa. Para calon tersangka korupsi masih saja digantikan dengan wajah baru. Bapak Johan Budi masih saja sering muncul dilayar kaca memberikan penjelasan informasi tentang kasus korupsi.
            Hukuman yang ada dan dijalani selama ini, tidak benar-benar menimbulkan efek jera bagi para mantan koruptor dan tidak menimbulkan rasa takut bagi para calon koruptor. Namun, hukum di Indonesia terlalu memiliki rasa simpati atau kasihan yang begitu mendalam. Hukuman potong tangan? Hukuman mati? Hukuman dimiskinkan semiskin-miskinnya? Hukuman diasingkan? Itu terlalu sadis dan kasihan si tersangka, begitulah jawaban dari hukum Indonesia. Menjadi sesuatu yang hampir mustahil bagi rakyat biasa untuk mengubah hukum di Indonesia.  
            Koruptor-koruptor yang duduk di instansi pemerintah atau swasta saat ini, sudah sangat sulit untuk diobati. Biarkan saja mereka menjalani kehidupannya, jika tertangkap suruh saja menjalani hukuman yang ada. Dan cobalah Indonesia berprinsip pada sebuah slogan iklan “Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Untuk kasus penyakit korupsi, kita bisa mencegahnya dengan cara memberikan pemahaman anti korupsi dimulai sejak dini pada anak-anak, yang nantinya akan menggantikan posisi para tetuanya. Seperti halnya dengan memasukkan muatan lokal ‘anti korupsi’ atau ekstrakulikuler ‘memerangi korupsi’ ke dalam sekolah-sekolah formal. Mengajarkan pada mereka tentang hakikat hak dan kewajiban yang sesungguhnya. Karena inti dari perbuatan korup hanyalah tentang kepemilikan hak dan pelaksanaan kewajiban. Mengapa disebut koruptor? Karena mengambil yang bukan haknya atau karena tidak melaksanakan kewajibannya.
            Namun akan menjadi percuma jika pencegahan itu hanya diterapkan pada usia dini, dan pembiaran dilakukan pada masa remaja, dewasa, dan tua. Pendidikan anti korupsi harus diperoleh setiap jenjang pendidikan formal. Mulai dari sekolah dasar sampai program doctor. Dan tak hanya teori, tapi juga harus mengajarkan praktek dari ilmu anti korupsi. Bukankah akan terlihat menakjubkan jika di setiap sudut di negeri ini banyak orang-orang yang semakin sadar dengan anti korupsi? Mari berperang melawan korupsi.
JEMBER, Atiyatul Mawaddah binti Fauzan

           

            

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes