Home Unlabelled Menulis Dengan Canting
Menulis Dengan Canting
Atiya Fauzan January 24, 2013 0
11 Desember 2012, aku menelusuri jalanan basah kota Jember. Mengeluarkan diri dari gerbang tinggi mangli, sampai menggelindingkan roda hitam di aspal jalan gajah mada. Tak berhenti, setir dibanting ke arah kanan, melewati restoran cepat saji-kantor pos-bank secara berurutan. Menghadapi dilema jalan yang bercabang, membelokkan arah ke kiri, menembus dua lampu lalu lintas yang berdiri angkuh. Kemudian memutus rute lurus ke arah kanan, meninggalkan jalanan mastrip sampai bersua dengan gedung POLTEK Negeri Jember. Tak usai, mesin tetap menyala dan mematikan diri di depan gedung sederhana bernama “Graha Bina Insani”. #Sebuah perjalanan panjang
Aku menorehkan tanda tangan sebelum memasuki ruang yang ditunjuk. Pelatihan membatik dengan menggunakan warna alami, coba aku ikuti sesuai dengan undangan yang diberikan oleh seorang rekan. Satu tas peralatan membatik aku dapatkan ketika pertama kali mendaratkan diri di ruang tanpa nama tersebut. Canting, bahan pewarna alami (kunir & sechang), kain polos, malam, taplak batik, dan buku panduan.
Teori demi teori, telingaku lewatkan. Dentuman suara yang membahana menjelaskan kedetailan membatik tak mampu memecahkan lamunanku. “Apa yang akan aku batik?”, pertanyaan itulah yang mengelilingi benakku. Laluan detik demi menit tak sengaja aku lewatkan, dan akhirnya, tiba juga di sesi ‘praktek’.
Ku gelar kain polos berwarna putih dengan ukuran 1x2 meter. Kompor-kompor listrik menjalar di setiap tempat. Wajan mini dengan malam cair siap disentuh canting-canting yang baru dikenalnya. Ku coretkan pena, menggambar sebuah sketsa tanpa tema. Bunga, ranting, dan dedaunan menghiasi kain mayoritas peserta lainnya, aku tak memilihnya. Ku gores saja, sambil berembuk dengan hati dan otak. 45 menit kemudian, setengah kainku terpenuhi dengan tinta hitam. Semua mata memandang, memperbesar retina dan menanyakan latar belakang dari apa yang aku gambar. Aku menjawab dengan senyuman, biarlah apa kata orang, yang penting aku ‘nyaman’ (terpaksa nyaman-red) dengan gambarku.
Memasuki tahapan selanjutnya, membubuhkan malam cair yang terwadah dalam mangkuk super kecil yang menjadi bagian dari canting (biarkan aku mendefinisikan demikian). Dengan percaya diri yang melebihi dosis, aku mulai membatik. Dan, ternyata sangat susah. Tak semudah yang aku pikirkan, lebih rumit dari kimia atau nahwu sekalipun. Tak ada pilihan lain, aku lanjutkan saja dengan cela dimana-mana. Blepotan, tidak rapi, terlalu tipis/tebal, lemot juga. Lengkap sudah.
Ditengah keringat khawatir dahsyatku, sebuah kalimat positif menghampiri telingaku yang tertutup hijab. “Gambarnya unik ya, beda dengan yang lain”. Sontak saja, semangat membatikku naik ke level 5 (seperti kripik saja). Yah… sederet huruf dan angka yang bermakna dan tidak bermakna lah yang aku gambar, dibumbui dengan gambar matematika sederhana. Itu saja. Sebuah kegiatan menulis yang tak biasa kulakukan, bukan merangkai kata di atas kertas dengan coretan pena dan bukan juga menarikan jemari di atas tuts-tuts keyboard. Ya,,, dengan canting yang memiliki ujung melengkung dan sebuah malam cair yang begitu hangat.
Dalam menit terakhir, aku tak merasakan kelelahan. Kainku masih 50% yang terbatik. Seperti orang kecanduan, waktu 2 jam terlalu singkat untuk membatik. Aku ketagihan, aku haus, dan aku kekurangan. Waktu yang tak sedikit memaksa sebuah ide untuk terlahir. Cipratan abstrak, ya cipratan abstrak. Hal itulah yang aku batik di separo sisa kain putihku. Peserta lainnya menertawaiku sembari berujar “Ada-ada saja, tapi unik juga. Apa namanya dek? Baru pertama kali membatik ya?” Aku menjawab seadanya “Namanya cipratan abstrak mbak, memang benar, ini pertama kalinya saya memegang canting”. Mbak-mbak yang sudah agak keibu-ibuan itu manggut-manggut dan ber OOO ria. Tanpa aba-aba, dia menceritakan bahwa dia dan semua rekannya (kaum mayoritas di pelatihan) berprofesi sebagai pembatik dari kecil. Mataku tak tertahan untuk terbelalak. Pantas saja… gumamku dalam hati. Hasilnya seperti batik sungguhan, (memang batik sungguhan), motifnya indah mengikuti seni, gambar daun tembakau tertata rapi (batik khas jember). Tanpa segan, mbak berhijab ungu yang duduk tepat dibelakangku sedari awal itu, mengajari tekhnik sederhana dalam membatik. Seperti, cara memegang canting, cara meneteskan malam cair ke kain, cara membuat motif, cara mengambil malam cair yang hangat, dan lainnya. Aku merasa malu, karena tanganku hanya asal membatik sedari awal. Ternyata, semua ada ilmunya.
Pemberian warna, menjadi proses terakhir dari acara membatik. Satu ember air dengan celupan warna alami (kunir+sechang) sudah siap. Sebuah kain yang sudah terukir rentetan tembakau Jember dicelupkan beberapa kali. Setelah diangkat, indahnya tak terungkapkan kata-kata. Asli indah, benar-benar indah. Sungguh, hari itu masih terekam tanpa virus dimemori otakku. Peserta pelatihan yang mayoritas berbatik, menepukkan tangan atas hasil yang diperoleh..Pelatihan membatik pertamaku, menggunakan warna alami, memberi sebuah pengalaman dan ilmu baru yang tak tahu harus aku dapatkan darimana. Setelah pelatihan membatik yang begitu berkesan, ada sebuah hasrat dalam diriku, untuk tak sekedar mencintai batik lewat kata-kata. Tapi melalui tindakan juga, dengan tetap mengenakan batik. Aku mulai berburu batik, baik itu ditoko batik ataupun di dunia maya seperti batik online. Karena, kita jangan hanya sekedar mencintai batik, tapi kita juga harus membutuhkan batik. Jika tidak bisa membuatnya, kita bisa membeli, mengenakan, dan melestarikannya.

Aku menorehkan tanda tangan sebelum memasuki ruang yang ditunjuk. Pelatihan membatik dengan menggunakan warna alami, coba aku ikuti sesuai dengan undangan yang diberikan oleh seorang rekan. Satu tas peralatan membatik aku dapatkan ketika pertama kali mendaratkan diri di ruang tanpa nama tersebut. Canting, bahan pewarna alami (kunir & sechang), kain polos, malam, taplak batik, dan buku panduan.
Teori demi teori, telingaku lewatkan. Dentuman suara yang membahana menjelaskan kedetailan membatik tak mampu memecahkan lamunanku. “Apa yang akan aku batik?”, pertanyaan itulah yang mengelilingi benakku. Laluan detik demi menit tak sengaja aku lewatkan, dan akhirnya, tiba juga di sesi ‘praktek’.
Ku gelar kain polos berwarna putih dengan ukuran 1x2 meter. Kompor-kompor listrik menjalar di setiap tempat. Wajan mini dengan malam cair siap disentuh canting-canting yang baru dikenalnya. Ku coretkan pena, menggambar sebuah sketsa tanpa tema. Bunga, ranting, dan dedaunan menghiasi kain mayoritas peserta lainnya, aku tak memilihnya. Ku gores saja, sambil berembuk dengan hati dan otak. 45 menit kemudian, setengah kainku terpenuhi dengan tinta hitam. Semua mata memandang, memperbesar retina dan menanyakan latar belakang dari apa yang aku gambar. Aku menjawab dengan senyuman, biarlah apa kata orang, yang penting aku ‘nyaman’ (terpaksa nyaman-red) dengan gambarku.
Memasuki tahapan selanjutnya, membubuhkan malam cair yang terwadah dalam mangkuk super kecil yang menjadi bagian dari canting (biarkan aku mendefinisikan demikian). Dengan percaya diri yang melebihi dosis, aku mulai membatik. Dan, ternyata sangat susah. Tak semudah yang aku pikirkan, lebih rumit dari kimia atau nahwu sekalipun. Tak ada pilihan lain, aku lanjutkan saja dengan cela dimana-mana. Blepotan, tidak rapi, terlalu tipis/tebal, lemot juga. Lengkap sudah.
Ditengah keringat khawatir dahsyatku, sebuah kalimat positif menghampiri telingaku yang tertutup hijab. “Gambarnya unik ya, beda dengan yang lain”. Sontak saja, semangat membatikku naik ke level 5 (seperti kripik saja). Yah… sederet huruf dan angka yang bermakna dan tidak bermakna lah yang aku gambar, dibumbui dengan gambar matematika sederhana. Itu saja. Sebuah kegiatan menulis yang tak biasa kulakukan, bukan merangkai kata di atas kertas dengan coretan pena dan bukan juga menarikan jemari di atas tuts-tuts keyboard. Ya,,, dengan canting yang memiliki ujung melengkung dan sebuah malam cair yang begitu hangat.
Dalam menit terakhir, aku tak merasakan kelelahan. Kainku masih 50% yang terbatik. Seperti orang kecanduan, waktu 2 jam terlalu singkat untuk membatik. Aku ketagihan, aku haus, dan aku kekurangan. Waktu yang tak sedikit memaksa sebuah ide untuk terlahir. Cipratan abstrak, ya cipratan abstrak. Hal itulah yang aku batik di separo sisa kain putihku. Peserta lainnya menertawaiku sembari berujar “Ada-ada saja, tapi unik juga. Apa namanya dek? Baru pertama kali membatik ya?” Aku menjawab seadanya “Namanya cipratan abstrak mbak, memang benar, ini pertama kalinya saya memegang canting”. Mbak-mbak yang sudah agak keibu-ibuan itu manggut-manggut dan ber OOO ria. Tanpa aba-aba, dia menceritakan bahwa dia dan semua rekannya (kaum mayoritas di pelatihan) berprofesi sebagai pembatik dari kecil. Mataku tak tertahan untuk terbelalak. Pantas saja… gumamku dalam hati. Hasilnya seperti batik sungguhan, (memang batik sungguhan), motifnya indah mengikuti seni, gambar daun tembakau tertata rapi (batik khas jember). Tanpa segan, mbak berhijab ungu yang duduk tepat dibelakangku sedari awal itu, mengajari tekhnik sederhana dalam membatik. Seperti, cara memegang canting, cara meneteskan malam cair ke kain, cara membuat motif, cara mengambil malam cair yang hangat, dan lainnya. Aku merasa malu, karena tanganku hanya asal membatik sedari awal. Ternyata, semua ada ilmunya.
Pemberian warna, menjadi proses terakhir dari acara membatik. Satu ember air dengan celupan warna alami (kunir+sechang) sudah siap. Sebuah kain yang sudah terukir rentetan tembakau Jember dicelupkan beberapa kali. Setelah diangkat, indahnya tak terungkapkan kata-kata. Asli indah, benar-benar indah. Sungguh, hari itu masih terekam tanpa virus dimemori otakku. Peserta pelatihan yang mayoritas berbatik, menepukkan tangan atas hasil yang diperoleh..Pelatihan membatik pertamaku, menggunakan warna alami, memberi sebuah pengalaman dan ilmu baru yang tak tahu harus aku dapatkan darimana. Setelah pelatihan membatik yang begitu berkesan, ada sebuah hasrat dalam diriku, untuk tak sekedar mencintai batik lewat kata-kata. Tapi melalui tindakan juga, dengan tetap mengenakan batik. Aku mulai berburu batik, baik itu ditoko batik ataupun di dunia maya seperti batik online. Karena, kita jangan hanya sekedar mencintai batik, tapi kita juga harus membutuhkan batik. Jika tidak bisa membuatnya, kita bisa membeli, mengenakan, dan melestarikannya.

About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment