Home Unlabelled Nahwu Oh Nahwu (Cerpen)
Nahwu Oh Nahwu (Cerpen)
Atiya Fauzan March 01, 2014 0
Hari ini perjumpaan pertamaku dengan Nahwu. Satu mata pelajaran yang aku anggap rumit. Jumpa pertama tak berkesan. Rumit ya tetap rumit. Diawal perkenalan dengan nahwu, aku mempelajari kalimah.
“Kalimah ada tiga, yakni kalimah fiil, isim, dan huruf. Kalimah fiil adalah lafadz yang memiliki arti dan bersamaan dengan zaman yang tiga yakni madi, hal, dan istiqbal. Sedangkan kalimah isim adalah lafadz yang memiliki arti dan tidak bersamaan dengan zaman yang tiga. Kalau kalimah huruf adalah kalimah yang tidak dapat berdiri sendiri, ia selalu tergantung pada kalimah fiil dan isim” papar Pak Irfan di depan kelas.
Aku coba mencernanya, hafal pengertiannya tapi tidak paham maksudnya. Bingung.
“Maksudnya apa sih?” tanyaku pada Muna, teman sebangku-ku
“Fiil itu sama artinya dengan kata kerja, kalau isim itu kata benda” jelasnya
“Aku kurang paham bahasa Inggris” keluhnya
Pak Irfan menugaskan teman-teman untuk membuat contohnya satu persatu. Gawat nih, kalau membuat contoh dari 16 tenses, tidak perlu celingukan kayak begini. Muna fokus dengan kertasnya.
“Ajari dong mun. Contohnya apa? aku takut disuruh” pintaku memelas
“Yang fiil itu kayak nashara, kalau isim kayak kitabun”
“Oke aku catat”
Belum selesai penaku menari diatas kertas, Pak Irfan sudah memanggil namaku.
“Selanjutnya, Siti Rahayu”
Wuih… untung saja aku sudah sedia payung sebelum hujan. Thanks Muna.
“Untuk contoh yang fiil seperti nashara pak, kalau isim seperti kitabun”
“Bagus. Bapak kira sudah paham semua ya. Ada yang mau ditanyakan?”
Dengan segera aku mengangkat tangan.
“Iya Rahayu mau tanya apa?”
“Anu pak, maksudnya zaman yang tiga itu apa?”
“Madi itu menunjukkan lampau, kalau hal itu sedang, dan istiqbal itu menunjukkan akan”
Oalah, sama artinya dengan past, present, sama future. Aku paham untuk materi yang satu ini, sebatas tahu arti dan definisi saja. Kerumitan belum musnah dipikiranku, kenapa bisa Muna memberikan contoh nashara sebagai kalimah fiil dan kitabun sebagai kalimah isim. Kok bisa? Kalau tahu artinya mudah saja, membedakan yang kerja dan benda. Kalau tidak tahu artinya bagaimana ya? Aku beranikan diri bertanya pada Muna, dia menjawab,
“Kalimah fiil dan isim sama-sama memiliki ciri-ciri. Kalau fiil ada 7 ciri-cirinya. Kalau isim ada 4 ciri-cirinya. Nanti juga diterangkan”
“Muna… rahasia kamu tahu Nahwu itu apa?” tanyaku kagum
“Rahasia kamu bisa hebat English apa?”
Dia malah tanya balik. Yang jelas aku mempelajarinya waktu SMP, kata kuncinya cuma satu, yaitu belajar. Aku tersenyum kearah Muna, tak menjawab pertanyaannya. Dia mengerti bahwa aku sudah paham maksudnya. Berarti untuk tahu Nahwu juga belajar. Tapi sepertinya kabel otakku tidak nyambung kalau urusan Nahwu. Aku termenung memikirkan satu-satunya pelajaran yang tak bisa aku kuasai. Pak Irfan tetap mengulang materi yang sama sampai seisi kelas paham. Dua jempol buat guruku yang satu itu. Pantang lelah menghadapi muridnya yang agak lemot dalam urusan Nahwu, seperti aku. Kemudian Pak Irfan menerangkan ciri-ciri dari kalimah fiil dan isim. Sampai juga di materi ini.
Bulan kedua bersama Nahwu, aku sudah tahu sedikit. Aku tidak mau menyerah, Nahwu harus bisa aku taklukan. Dan hari ini pelajaran jam terakhir adalah Nahwu. Pak Irfan sudah siap dengan kapur putihnya, menuliskan sebuah lafadz dharaba.
“Rahayu dharaba termasuk fiil, isim, atau huruf?” tanya Pak Irfan padaku. Aku kumpulkan seluruh rasa pe-de-ku.
“Fiil pak”
“Madi, mudhare’, atau amar?”
“Madi”
“Mabni atau mu’rab?”
“Mabni dan termasuk mabni fathah”
“Kenapa?”
“Madi pasti mabni dan termasuk mabni fathah karena tidak bertemu dengan wau jama’dan dhamir rafa’ mutaharrik”
“Mujarrad atau mazid?”
“Mujarrad”
“Alasannya?”
“Karena sepi dari huruf tambahan”
“Lawannya mujarrad apa?”
“Mazid”
Pak Irfan masih belum berhenti menanyakan Nahwu kepadaku. Aku berusaha sekuat tenaga menjawabnya, menerawang kembali pada hafalan.
“Termasuk shahih atau mu’tal?” Pak Irfan kembali bertanya
“Shahih karena ain fill, fa’ fiil, dan lam fiil dari dharaba bukan merupakan huruf illat”
“Ma’lum atau majhul?”
“Ma’lum karena tidak mengikuti kaidah majhul”
“Kalau seandainya diikutkan pada kaidah majhul, masuk pada kaidah yang mana?”
“Dumma awwaluhu wa kusira ma qablal akhir”
“Kenapa tidak masuk pada dumma kullu mutaharik wa kusira ma qablal akhir?”
“Karena termasuk fiil mujarrad”
“Dharaba ini kira-kira kalau dimajhulkan berubah seperti apa?”
“Dhuriba”
“Pertanyaan terakhir, dharaba termasuk lazim atau muta’addi?”
“Lazim karena membutuhkan maf’ul bih”
“Untuk mengetahui dharaba termasuk lazim atau muta’addi dari mana?”
“Dilihat dari artinya, ketika bisa dipasifkan berarti termasuk muta’addi”
“Bagus Rahayu, belajar lebih giat lagi. Satu siswa lagi”
Pak Irfan pun beralih pada yang lainnya. Memberikan satu kalimah fiil pada siswa untuk kemudian diburu dengan pertanyaan-pertanyaan khasnya. Aku sempat dag dig dug, takutnya salah menjawab. Alhamdulillah lancar.
Bulan ketiga bersama Nahwu. Aku sudah menguasai fiil dan isim. Aku mulai mengerti alur cerita Nahwu. Sekarang rumit sudah tak kutemukan lagi. Aku pelajari isim, mulai dari isim mufrad sampai isim maqshur. Perlahan tapi pasti aku targetkan untuk menguasai Nahwu. Aku tidak tahu mengapa, aku belum menemukan alasan yang tepat, apakah suka? Entahlah, seperti panggilan jiwa. Mungkin akan kuketahui jawabannya dihari esok. Aku hanya berharap, untuk terus bisa belajar Nahwu tanpa lelah tanpa melupakan Bahasa Inggris yang telah aku pelajari sebelumnya.
“Rahayu, coba jelaskan mengenai isim muannats, terangkan di tempat”
Pak Irfan menyuruhku, kenapa bukan Muna. Untung saja aku sudah mempersiapkannya sejak semalam.
“Bismillah. Isim muannats adalah isim yang menunjukkan perempuan. Dan isim ini dibagi menjadi tiga macam yaitu yang pertama muannats lafdzy, maksudnya muannats yang selalu disertai oleh tanda muannats. Tanda muannats disini meliputi ta’ marbuthah, alif maqshurah, dan alif mamdudah. Yang kedua adalah muannats haqiqi yakni muannats yang berkaitan dengan jenis kelamin seperti hindun, zainab,dan sebagainya. Yang ketiga adalah muannats majazy, maksudnya adalah lafadz yang dianggap sebagai muannats oleh orang arab, seperti syamsun, ainun, dan lain sebagainya” jelasku pada teman-teman satu kelas.
“Selanjutnya, Muna coba jelaskan tentang isim nakirah dan ma’rifat”
Sekarang giliran Muna berdiri, aku duduk dengan keringat yang membasahi jilbab. Masih saja grogi dan gugup, padahal aku sudah yakin bahwa aku bisa. Dengan lancar Muna menerangkan mengenai isim nakirah dan ma’rifat. Aku menyimaknya, mungkin dia juga merasa grogi, tapi tidak nampak sama sepertiku. Dari luar seperti orang ke-pede-an, padahal dalam hati gugupnya minta ampun.
Bulan ke empat bersama Nahwu, aku sudah mulai memasuki materi I’rab. Mulai mengenal fail, naib fail, mubtada’, khabar, maf’ul bih, dan kawan-kawan. Semakin mendalam perkenalanku dengan Nahwu, tapi aku tidak melupakan tenses. Masih terus aku pelajari present tense sampai past future perfect continous tense.
“Pengumuman, mohon perhatiannya sebentar” teriak ketua kelasku di depan kelas. Suasana langsung hening, teman-teman menghentikan aktifitas tidak pentingnya.
“Pak Irfan berhalangan hadir, kita belajar sendiri. Tetap di dalam kelas”
Teman-teman bersorak sorai. Bahagia sekali kawanku, seperti habis menang undian saja. Aku menoleh kea rah Muna, dia tidak berekspresi, tetap fokus pada bacannya.
“Ajari aku ya Mun, kita disuruh belajar sendiri”
“Kamu lebih tahu dari aku” jawabnya
“Jangan merendah dong”
“Kenyataan, kamu bisa menaklukan Nahwu-ku tapi aku belum bisa menaklukan English-mu”
“Aku cuma mengandalkan hafalan dan pemahaman saja. Aku tidak begitu tahu Nahwu”
“Itu sudah lebih dari cukup dan dalam belajar kita juga butuh tekad dan keseriusan. Itu penting. O ya, aku penasaran, kenapa bisa kamu belajar Nahwu? Suka?”
“He… kamu ini lucu. Awalnya aku terpaksa banget namun akhirnya terbiasa. Mau tidak mau, aku harus tahu ilmu Nahwu, meski tidak semahir kamu” candaku
“Kamu terlalu berlebihan” sanggahnya
“Aku tahu teori, prakteknya masih belum tahu”
“Itu kan ‘masih belum tahu’ bukan ‘tidak akan tahu’, jadi yang terpenting adalah tidak pernah putus belajar”
“Aku ingin seperti kamu, bisa cas cis cus bicara bahasa Arab dan lancar baca kitab kuning”
“Aku bisanya cuma bicara sama orang Arab, kalau sama Bule aku tidak bisa”
Aku tersenyum mendengar perkatannya. Muna juga tersenyum. Positif negative selalu ada pada setiap diri manusia.
^^^
“Umi, kalau yaktubu masuk pada kaidah majhul yang mana?” tanya Rizal, anak semata wayangku.
“Yang dumma awwaluhu wa futiha ma qablal akhir. Karena yaktubu adalah fiil mudhare”
“O...begitu. Makasih mi”
“Sama-sama sayang”
Aku pun melanjutkan pekerjaanku membaca sebuah buku psikologi anak. Sore ini aku menemani Rizal belajar di ruang tengah. Sesekali dia bertanya padaku mengenai tugas Nahwu-nya. Laki-laki kecil dihadapanku adalah kado terindah pernikahanku dengan Mas Agil. Meski kini Rizal masih berusia 7 tahun, Mas Agil sudah mengenalkan Nahwu padanya. Beda dengan ibunya, yang baru kenal Nahwu dikelas X Madrasah Aliyah. Malu jika aku mengingatnya, sudah puber tapi tidak tahu arti fiil, isim, atau huruf. Mas Agil tidak pernah memaksakan kehendaknya terhadap putra semata wayangnya, semuanya juga berdasarkan kemauan Rizal. Sebagai orangtua, kami hanya memfasilitasinya saja. Memberikan yang terbaik untuk raja kecil kami.
“Mi, Rizal udah ngerjain tugas dari Abi”
“Terus? Rizal mau apa?”
“Baca komik ya? Boleh?”
“Silahkan sayang, habis baca terus bobok”
“Kalau baca komik terus kenapa mi?”
“Jatah es krim hari minggu hilang”
“Hmmm… iya deh” balas Rizal lalu berlari menuju kamarnya.
Akupun kembali membaca deretan huruf yang berbaris. Mencerna maksud dari setiap kalimat lalu menyimpannya dalam otak. Seperti inilah kegiatanku dihari libur, membaca, menulis dan yang utama tetap mengerjakan tugas sebagai seorang istri dan ibu. Kadang berlibur bersama keluarga kecilku, tapi minggu ini Mas Agil harus ke luar kota. Alhasil, aku hanya berdua dengan Rizal. Suamiku itu memang pekerja keras yang sangat sayang terhadap keluarga, selalu menginginkan yang terbaik untuk istri dan anaknya. Dalam urusan nahwu, dialah paling jago di rumah ini. Jelas saja, aku kan baru kenal dengan nahwu sedangkan Rizal masih proses belajar. Tak hanya di rumah ini, dengan adik dan masku yang jebolan pesantren Mas Ragil masih jauh lebih baik. Aku beruntung memiliki suami secerdas dia. Pernah suatu pagi aku mengobrol ringan dengannya mengenai keahlian supernya dibidang nahwu.
“Mas sudah berapa tahun belajar nahwu?”
“Sejak kecil. Bapak yang mengajari”
“Mas dulu tidak tertarik dengan angka atau dengan bahasa inggris?”
“Itu menu sunnah bagi bapak dan menu wajibnya adalah nahwu”
“Mas hebat ya”
“Adek juga hebat”
“Hebat dari mana? Adek tidak ada apa-apanya dibandingkan mas”
“Bapak pernah berkata pada mas bahwa jika ingin mempunyai pasangan dan keluarga yang HEBAT, maka jadikanlah dirimu sendiri sebagai orang yang HEBAT terlebih dahulu”
“Adek hebat dong”
“Begitulah, karena adek memiliki suami yang hebat”
“Ge-er”
“Hehehe… Orang bisa hebat dalam bidang apapun. Tak harus nahwu atau tak harus ilmiah. Yang penting baik”
***Cerpen jaman dahulu (jadul), request re-post oleh Nayla. Pernah dimuat di Majalah Asrama Putri STAIN Jember "KARISMA" tahun 2012.
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment