MENU

Suatu Hari Nanti (Dwi Ani Farida)

Rasa itu datang lagi, entah untuk yang kesekian kalinya. Ada sebongkah hati yang merasa haus akan kesejukan mentari dan kesegaran hujan. Aku merasakannya sudah dalam waktu beberapa bulan terakhir ini, aku menderita kerinduan yang begitu menyakitkan. Bahkan penderitaan itu tak pernah lelah menyiksaku dengan beragam kegilaan yang muncul.
            Aku sedang menjalani sebuah hubungan percintaan yang tak biasa, sebuah hubungan yang memerlukan kepercayaan lebih. Statua long distance relationshipkerap kali membuatku berputus asa dan ingin menyerah saja. Banyaknya harga mahal yang harus dibayarkan untuk mempertahankannya. Terkadang pula aku merasa ini tidaklah adil, orang lain bisa dengan leluasanya berbagi kasih dengan pasangannya, sedangkan aku? Aku hanya mampu mendengar suaranya melalui telepon dan tersanjung dengan kalimatnya melalui sms.
            Kami adalah teman semasa berada dibangku seragam putih-biru. Jika mengingatnya sungguh terasa malu karena aku begitu membencinya tatkala itu. Sepuluh tahun yang lalu, sosoknya selalu membuat aku kesal. Dia terlalu pandai menurutku hingga setiap guru bertanya dia mampu menjawabnya dengan sempurna, tak jarang pula dia mendapatkan hadiah. Aku menyadarinya, aku hanya merasa iri dengannya.
            Ketika tiga tahun yang lalu kami dipertemukan kembali oleh nasib, ada hal yang membuatku merubah pandangan benciku terhadapnya. Dia telah menjelma menjadi pria dewasa dengan segala kharisma dan wibawanya. Satu hal yang menyita perhatianku adalah dia menjadi dewasa jauh dari umurnya.
            Entahlah, mungkin ini yang dinamakan takdir tentang jodoh. Sebenarnya dia telah memiliki perasaan spesial terhadapku sejak lama, hanya saja aku yang terlalu terkesan tidak perduli dengannya sehingga dia hanya mampu terdiam.
            Dia bekerja jauh diluar pulau Jawa, disebuah perusahaan pertambangan. Saat waktu cutinya telah tiba, dia mengajakku bertemu. Ada hal yang disampaikannya. Bahwa dia ingin merajut mimpi bersamaku, bahwa dia ingin aku menunggunya untuk sebuah masa depan bersama. “Komitmen masa depan” itu kalimat yang dia lontarkan ketika aku merasa belum yakin bisa bersamanya. Aku baru saja patah hati, seorang pria yang mampu menggetarkan hatiku telah menikah dengan wanita lain. Namun sungguh adil Allah hingga mengirimkan seseorang dari masa laluku diwaktu yang tepat, pria yang pernah aku benci dengan segenap hatiku.
            Kami memang bersama namun banyak hal yang akhirnya membuatku meninggalkannya. Tentang kedua orang tuaku yang tak merestui hubungan kami, tentang jarak kami yang terlampau jauh, Malang-Sumbawa. Aku memutuskan untuk menjauh sejauh-jauhnya dari dia, berharap aku tak meninggalkan luka yang dalam dihatinya.
            Setahun telah berlalu, bayang-bayangnya masih menari diotakku. Aku sudah berlari untuk sekedar mengubur semua hal tentangnya. Meskipun hanya tiga bulan kebersamaan kami namun itu memberikan kenangan yang indah. Sejauh aku pergi, aku selalu bertemu dititik yang sama dengannya. Apakah ini jalan sebuah jodoh? Meskipun menghindar pasti akan bertemu kembali.
            Kami bersama kembali dengan status hubungan yang lebih rumit, long distance relationship yang ditambah dengan backstreet. Aku menyembunyikan hubungan kami dari semua orang karena aku masih ingin meyakinkan hatiku tentang dirinya. Aku berharap semua akan baik-baik saja suatu hari nanti.
            Bulan telah berganti, hingga tiba waktu wisudaku diperguruan tinggi. Dia datang seakan tamu yang tak diundang. Dia menungguku keluar dari gedung dengan penampilan yang terlihat lelah. Tentu saja lelah masih menggelayut dipundaknya, dia baru saja terbang dari Sumbawa hanya demi melihatku memakai kebaya. Aku tidak bisa mengungkapkan hal lain selain rasa senang yang luar biasa, begitu sayangkah dia padaku hingga rela datang dari tempat yang jauh hanya untuk bertemu denganku selama beberapa detik?
            “Itu bukti sayangnya padamu”, ungkap seorang teman yang selalu membuatku berkata, “Alhamdulillah Ya Allah, telah Kau pertemukan aku dengannya”. Kejadian itu semakin membuatku yakin, aku memilihnya sebagai imam dalam hidupku. Hingga tanpa aku sadari, kedua orang tuaku mulai bersimpati dengan kegigihannya dalam memperjuangkan aku.
            Kami mendapatkan restu itu dengan penuh keajaiban dariNya dan tentu saja perjuangan yang tanpa mengenal lelah. Sebuah hadiah terindah yang tak mampu aku gambarkan dengan kalimat apapun, semua terlalu manis untuk hanya dikenang. Aku selalu ingin menceritakan kisahku ini kepada siapapun dengan harapan agar semua orang tidak berputus asa untuk mengejar cintanya.
            Jalan kami masih panjang, masih banyak hal yang akan kami lalui setelah kebersamaan yang direstui ini. Ketika sebuah gerbang lain dibuka, ketika kami memperoleh sebuah tiket untuk melaju mengayuh perahu menuju RidhoNya, ada perasaan lain yang mulai menggangguku. Aku seakan selalu tersiksa oleh jarak yang memisahkan, aku selalu merasa jauh dengannya. Lalu bagaimana setelah kami menikah nanti?
            Inilah yang aku sebut hubungan yang tidak biasa, ketika kami harus terpisah oleh hamparan lautan, ketika tiga bulan menanti untuk bertemu selama dua minggu saja. Masih lima bulan dari hari ini untuk kami mengikuti sunnah Rosul, menyempurakan separoh agama kami. Namun kenyataan yang ada, kami akan tetap terpisah seperti saat ini. Dia hanya memberikan gambaran singkat, betapa sulitnya jika harus mengajakku kesana, betapa tidak memungkinkan untukku tinggal disana.
            Terkadang ada rasa kesal yang seakan membuatku marah, seakan tidak adil jika kami akan tetap terpisah seperti ini. Namun kembali aku diingatkan olehNya, aku telah memilih jalan hidupku sendiri, aku telah memilih calon imamku sendiri, kenapa aku harus mengeluh dengan segala hal yang telah, tengah ataupun akan terjadi? Aku terlalu egois jika berpikir aku mampu meraih semua mimpiku karena terkadang ada mimpi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
            Aku memikirkannya secara perlahan, dia berjuang disana untuk masa depan kami, untuk buah hati kami nanti. Masihkah aku menyimpan keegoisanku untuk bisa selalu menatap wajahnya setiap saat? Mungkin tidak sekarang, atau juga tidak besok tapi suatu hari nanti pasti kami akan selalu bersama setiap detik tanpa ada jarak yang memisahkan. Entah saat kami menjadi tua, sambil memangku cucu kami, menatap hamparan gunung dan sawah yang luas, duduk diserambi rumah. Kebahagian itu pasti akan kami dapatkan, kini kami hanya sedang berjuang untuk itu.
Malang, 27 Mei 2012.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes