Home Unlabelled Field Note PPL 1 Di RanuPani
Field Note PPL 1 Di RanuPani
Atiya Fauzan May 13, 2012 0
FIELD NOTE I
Partisipan: -
Profesi: -
Hari/Tanggal: Rabu/25-01-2012
“Perjalanan Itupun Dimulai”
Dalam tahajudku, bayangan Ranu Pani sekelebat melewati pikiran. Meski aku belum pernah bersua dengannya, tapi gambaranku tentangnya yang aku peroleh dari Ibu Jannah (Ketua Panitia PPL 1) dan juga dunia maya sangatlah cukup untuk tertarik dengan segala tawaran keeksotikan alam harmonisnya. Pagi sudah melekat, tinggal hitungan beberapa jam lagi akan aku bawa diri dan hati menuju tanah yang katanya bersuhu -10’C.
Tepat pukul 06.30 aku seret paksa tas-tasku yang mungkin juga penasaran dengan Ranu Pani. Dengan hati deg-degan, aku tinggalkan asrama tercinta. Langkah demi langkah aku rangkai menuju tempat berkumpulnya para peserta PPL 1, yang kesemuanya adalah mahasiswa Jurusan Dakwah Semester V (Lima). Di depan aula kampus, aku dan teman-teman menunggu keberangkatan menuju tempat PPL. Jenuh datang menghampiri karena terlalu lama menanti, namun semuanya bisa terobati ketika terbayang Ranu Pani.
Angka waktu dilayar Handphone menunjukkan jam 08.15. Bersamaan dengan itu, sebuah seruan untuk melakukan upacara terdengar. Aku tersenyum sumringah, akhirnya penantian ini berakhir. Dengan membentuk barisan yang tak terlalu rapi, aku coba berdiri di shaf seadanya. Mengikuti alur upacara yang dibawakan oleh ustadz Furqan M.Th.I, dan ditutup dengan do’a penuh khidmat oleh ustadz Mutohar.
Dua bus dengan gagah berani siap membawaku ke tempat asing yang belum pernah aku singgahi sebelumnya. Segala persiapan sudah dhlakukan, sekarang mimpi menginjakkan kaki di tanah Ranu Pani akan menjadi nyata. Dengan kecepatan sedang, bus STAIN Jember mengangkut para mahasiswia untuk melalui perjalanannya, sedangkan para mahasiswa menaiki bus lain yang telah disediakan oleh panitia.
Senduro. Tempat transit dari bus ke truk sayur. Sepertinya bus tak bisa menempuh jalan yang penuh medan sulit sepanjang 28km. Dengan rasa ingin mencoba, aku naik ke atas truk dengan semangat pahlawan. Ini pertama kalinya aku berdiri diatas truk dan menikmati alam langsung. Segarnya… Aku tahu sesuatu, tak ada satupun peserta yang kecewa, yang ada hanya bahagia dan bahagia. Pesan Pak Camat Senduro yang sebelumnya melepas keberangkatanku ke desa yang masih dipimpinnya terngiang ditelingaku. “Ranu Pani adalah desa yang unik. Ada 3 macam agama disana, namun kehidupan warganya begitu makmur dan rukun. Namun, untuk urusan pendidikan, disana sangatlah minim”.
Entah pukul berapa, kedinginan merasuk. Terlihat sebuah gerbang yang mulai mendekat di depan mata. Ah, ternyata aku sudah sampai. Bukit menjulang, angin tak bersahabat, anjing berkeliaran, dan ranu yang tenang mengawali perkenalan langsungku dengan desa yang dihuni oleh suku Tengger ini. Begitu sampai di tempat penginapan (rumah mbah Kerto), aku dan teman-teman masih tercengang dengan santapan pandangan yang begitu nikmat. Indah.
Field Note II
Partisipan: -
Profesi: -
Hari/Tanggal: Rabu/25-01-2012
“Tungku Yang Menghangatkan”
Barang-barangku sudah tertata rapi. Meski waktu bisa dikatakan siang, tapi terik mentari tak ku jumpai. Kemana sinar hangat itu? Yang ada hanya dingin dan sangat dingin. “Pengetahuanku tentangmu Ranu Pani ternyata benar, kini telah aku buktikan. Kau sangat dingin” gumamku dalam hati. Penelitian mulai aku lakukan sejak pertama kali menginjakkan kaki disini. Membaca data yang ada dari berbagai sumber dan memaknainya. Baik itu berupa keadaan, gambaran, dan lain sebagainya.
Ba’da dzuhur aku coba memasuki dapur. Menyiapkan sesuatu yang aku bisa, yakni menyediakan makan malam bagi peserta. Di depan sebuah tungku, aku berkawan dengan asap sambil memotong sayuran. Disinilah para warga Ranu Pani menyambut para tamunya, begitulah gambaran panitia pada saat pembekalan pra PPL 1 pada tanggal 5 januari lalu.
Hangat. Itulah yang aku rasakan, di sini, semuanya berebut duduk di depan tungku. Aku tetap fokus membantu Pak Hamam dan Ibu Nurul untuk menyiapkan makan malam. Dingin yang menyerang, membuatku ingin berlama-lama di depan tungku. Suasana yang tak bersahabat, udara dingin, air bak es. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Meski keadaan yang sangat tidak bersahabat, aku dan teman-teman merasa betah di tempat ini. Entahlah, magnet apa yang mampu menarik kami semua.
Field Note III
Partisipan: -
Profesi: -
Hari/Tanggal: Rabu/25-01-2012
“Pencerahan Dari DPL Kelompok II”
Malam aku geluti dengan rapat sederhana bersama DPL (Dosen Pembimbing Lapangan). Ini jumpa pertama dalam forum diskusi PPL 1 antara masing-masing kelompok dengan para DPL. Kelompokku mendapat sebuah tema yang menarik, yakni “Mengintegrasikan Pendidikan dan Kearifan Lokal Pada Masyarakat Ranu Pani”. Dengan DPL, Bapak Sofyan Hadi.
Sedikit gambaran permasalahan yang akan diangkat sudah terbayang jelas dibenakku. Aku menyimpannya dalam memori. Diskusi dengan Pak Sofyan membawa sebuah pencerahan yang luar biasa. Tiap detail masalah dirinci, akupun bersuara. Dan semuanya selesai.
Masalah sudah ada, kelompokku sibuk merenda apa saja yang perlu dilakukan selanjutnya. Meski malam telah menyelimuti Ranu Pani, aku masih belum menarik selimut. Asyik menggoyangkan pena di atas kertas, mencorat-coret kertas putih tak berdosa. Ini semua untuk persiapan besok pagi agar semuanya terarah dan jelas. Apa yang harus dicari dan siapa yang harus ditemui.
Field Note IV
Partisipan: Herawati
Profesi: Pelajar
Hari/Tanggal: Kamis/26-01-2012
“Cita-cita Sederhana Bidadari Ranu Pani”
Siang akan segera menyapa, aku dan rekan-rekan kelompok dua masih semangat menelusuri jalanan aspal menuju SDN Ranu Pani. Desiran angin menemani iringan langkah kami. 30 menit berselang, tapak kaki sudah berada diatas tanah SDN Ranu Pani. Leganya…
Belasan pasang mata melirik kea rah kami, dengan senyuman aku membalas dengan pandangan mata juga. Damainya melihat telaga kedamaian di kornea mata mereka. pohon ikut tersenyum dengan lambaiannya hingga menerbangkan debu-debu kotor ke segala penjuru arah.
@ku memasuki area SD lebih dekat, segerombolan anak kecil mendekatiku. Pipi merah merona menghiasi wajah mereka. dari belasan anak itu, hanya ada tiga anak yang bersedia bercengkerama bersama kami. Mereka adalah Hera, Titik, dan Nida.
Menyebutkan nama masing-masing mengawali pembicaraan kami. Dari ketiganya, hanya Hera yang aktif menjawab pertanyaan dari kami. “Mbak berapa hari disini?” tanyanya dengan wajah ceria khas anak kecil. “Lima hari sayang, minggu sudah pulang” jawabku mengimbangi tingkahnya.
“O ya, Hera nanti pengen jadi apa?” tanyaku lagi. “Aku pengen jadi petani mbak” Owh…seruku dalam hati. Kejujuran yang sederhana. “Kalau aku mau ngarit saja kalau besar nanti” pekik salah seorang teman Hera yang berada tak jauh dari kami. “Itu siapa dek?” tanyaku penasaran. “Andika, kelas III mbak”. Lalu ada teriakan yang mengagetkanku. “Masuuuuuk…”. Tak ada bel sekolah yang berteriak untuk menandakan waktu masuk, istirahat, dan pulang. Segera aku menyudahi percakapan dengan manis yang berjilbab rapi tersebut. “Makasih ya dek, nanti ketemu lagi ya sayang. Belajar yang rajin”. Senyumannya mengakhiri pertemuan singkat yang penuh makna ini.
Field Note V
Partisipan: Ibu Anis
Profesi: Ibu Rumah Tangga
Hari/Tanggal: Kamis/26-01-2012
“Harapan Mulia Seorang Bunda”
Ada sebuah tujuan dari langkahku menelusuri tanah basah. Mengembalikan ulek-ulek yang aku pinjam kemarin. Alat ini aku pinjam dari seorang ibu muda yang memiliki satu orang putri. Rumahnya tak jauh dari tempat penginapanku. Ditemani oleh Wulan (teman sekelasku) aku menapaki jalan dan memasuki rumah yang tak bisa dibilang sederhana.
Aku memasuki sebuah pintu yang membawaku ke arah dapur. Di dekat perapian, duduk ibu muda yang tersirat kelelahan di wajahnya. Di pangkuannya duduk seorang balita yang berusia sekitar 2 tahunan. Rambut anak mungil itu basah, sepertinya habis mandi barusan. Beda denganku, meski sudah siang, masih tak ada rencana untuk mengguyur badan dengan air.
“Monggo pinarak mbak” tawarnya ketika kami hendak pulang. Misi mengembalikan ulek-ulek sudah usai, tapi aku tak mampu memudarkan senyum hangat dari ibu muda itu. Dengan senang hati, aku pun duduk di depan tungku, menghangatkan badan. “Enak ya mbak api-api” tanyanya membuka pembicaraan. “Iya bu, hangat” jawabku. Aku menanyakan seputar putri semata wayangnya itu. Begitu aku tanyakan mengenai harapannya, dengan lembut Ibu Anis itu menjawab “Saya dulu ingin menjadi guru mbak, tapi saya harus menikah saat kelas 1 SMP, jadi saya harap putri saya bisa melanjutkan cita-cita saya”. Aku terpesona dengan jawabannya. Saat aku tanya kenapa, dia menjawab, “Disini (Ranu Pani) semua gurunya dari luar, jadinya jarang masuk karena cuaca buruk atau karena pohon tumbang. Kalau gurunya asli Ranu Pani kan enak mbak, sekolahan disini bisa seperti sekolahan di tempat mbak”.
“Saya ingin menyekolahkan anak saya, cukup saya yang menjadi petani” lanjutnya. Jawabannya membuat hatiku bergemuruh. Semangatnya menggebu, harapannya begitu agung. Ibu sederhana dihadapanku ini benar-benar menguras kekagumanku. “Diminum mbak” ucapnya. Secangkir kopi hangat bediri dihadapanku, aku seruput perlahan. Benar-benar terasa hangat. Perbincanganpun mengalir kembali hingga beberapa menit ke depan.
Saat siang semakin akrab, aku berpamitan. Ada sebuah cerita baru yang aku temui. Pernikahan dini, harapan mulia, dan penyesalan yang berbuah manis. Aku kembali ke tempat asal. Diskusi di tengah perjalanan bersama Wulanpun tak terhindarkan. Kami asyik membicarakan kisah Ibu Anis. Terharu, bangga, dan kagum menyerang kami bertubi-tubi.
Field Note VI
Partisipan: -
Profesi: -
Hari/Tanggal: Kamis/26-01-2012
“Evaluasi Perdana”
Waktu memang siang, tapi terik tak aku temui. Jalanan aspal berdebu aku lalui dengan langkah pasti. Semilir angin yang dinginnya merasuk tulang tak bisa aku tolak. Aku hanya mampu berlindung dibalik jaket tebal. Ku dengar, saat ini para peserta PPL 1 wajib mengikuti evaluasi di sebuah masjid yang tak jauh dari penginapan mahasiswi.
Anjing berkeliaran, memunculkan sedikit ketakutan dalam benakku untuk membawa raga ke masjid yang memiliki nama Al-Mubarak itu. Terlihat beberapa temanku juga merasakan hal yang sama. Namun dengan sugesti unik “hanya kucing”, mampu membantuku untuk melewati beberapa anjing yang melintas.
Memasuki area masjid, aku terheran-heran. Tak terlalu besar, hanya ada 1 kamar mandi, tak ada pembatas antara pria dan wanita. Acara berlangsung sekita satu jam. Teman-teman ikuti dengan khidmat. Perkelompok diharuskan presentasi mengenai data yang ditemukan. Afifatul, menjadi perwakilan dari kelompokku.
Usai evaluasi perdana bersama para DPL, aku beranjak. Berjalan kembali ke tempat penginapan. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Irsya. Siswi SD yang aku temui saat bermain di SDN Ranu Pani. “Mbak, nanti belajar ya di rumahku”. Aku tersentak kaget dengan permintaannya. “Ajari matematika mbak” pinta teman-temannya yang lain. Meski aku tak terlalu kenal dengan mereka, aku iyakan saja. Mereka bisa menjadi temanku, pikirku saat itu. Akupun mendekati mereka, dan mengiyakan permintaan mereka untuk belajar bersama. ”Nanti jam empat ya dek” ucapku sambil berlalu.
Field Note VII
Partisipan: Irsya dkk
Profesi: Pelajar
Hari/Tanggal: Kamis/26-01-2012
“Telaga Damai Di Mata Mereka”
Sesuai janji, aku segera menuju rumah Irsya yang telah aku ketahui sebelumnya. Hanya membutuhkan beberapa langkah menuju rumahnya. Hadirku disambut dengan tawa hangat yang berasal dari mereka. Dengan buku berserakan di atas meja, aku dipersilahkan duduk.
Satu persatu dari mereka menyodorkan buku yang sama dengan pinta yang berbeda-beda. “Perkalian saja”, “Yang ini saja”, “Belajar menulis saja”. Aku hanya mendengarkan suara itu dan membuat sebuah keputusan. “Oke, kita urut saja. Setelah belajar menghitung kita belajar menulis. Gimana?” dengan suara serempak mereka menjawab “Iya..”
Detik perdetik aku lalui dengan acara rangkaian ilmiah. Mengajari mereka, mencoba bersabar dengan keunikan khas anak kecil. Ah, dalam kesibukan seperti ini aku masih bisa merasakan kedamaian. Aku takut, tawa mereka yang aku rindukan nanti. Aku sadari tiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Ditengah-tengah proses belajar, aku bertanya pada anak kecil yang begitu polos tersebut. “Cita-cita kalian apa?” Secara bergantian mereka menjawab, “Petani”, “Guru”, dan jawaban itu kembali terulang.
Waktu mulai menua, akupun berencana berpamitan. Namun, murid-murid lucuku merengek dan melarangku kembali ke tempat penginapan. Butuh perjuangan yang besar untuk memberi pemahaman kepada mereka. Meski aku mahasiswi Jurusan Dakwah, kepalaku tidak buta akan tugas seorang guru. Dengan perlahan namun pasti, aku menjelaskan pada mereka, “Adek, sekarang sudah sore. Nanti ibu marah kalau adek masih diluar. Adek istirahat dulu, besok mbak kesini lagi. kita belajar lagi.” Mereka mengiyakan pernyataanku. Dan bubar…
Field Note VIII
Partisipan: -
Profesi: -
Hari/Tanggal: Jum’at/27-01-2012
“Evaluasi Membuahkan Ilmu”
Pagi di hari Jum’at aku membatalkan untuk mencari data selanjutnya. Nhat mendaki jalanan menanjak menuju SD aku urungkan. Semua peserta PPL 1 diwajibkan menuju ke balai desa untuk melakukan evaluasi selanjutnya.
Aku beserta kelompokku memilih tempat duduk di pojok belakang. Agenda hari ini aku jadwalkan mundur. Dan evaluasi pagi ini aku jadikan sebagai agenda pertamaku di hari Jum’at di Desa Ranu Pani. Waktu ke waktu aku berpartisipasi, mendengar, melihat, dan menangkap segala sesuatu yang disampaikan oleh para DPL dan teman-teman.
Candaan tak terhindarkan. Pak Muhibbin (salah seorang DPL) tak henti-hentinya menghibur kami. Hingga evaluasi ini tak menjenuhkan. Dapat ilmunya, dapat juga hiburannya. Peserta merasa puas dan tidak merasa dibebani sama sekali.
Field Note IX
Partisipan: Bapak Aris
Profesi: Guru
Hari/Tanggal: Jum’at/27-01-2012
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa Di Desa Kentang”
Ba’da shalat Jum’at, aku beserta kelompokku menelusuri jalanan menuju SDN Ranu Pani. Merki sekolah sudah sepi, aku bertujuan ke rumah salah seorang guru yang mengajar di sekolah yang memiliki 4 ruang tersebut.
Ayat-ayat suci menggema ke penjuru alam. Ternyata sebentar lagi akan tiba waktu asar. Perjalananku menuju tempat sang guru ini bukanlah perjalanan biasa. Ada ritual “mampir-mampir” yang aku lakukan. Mampir di ladang orang, mampir di kebun orang, dan lainnya.
Sebelum memasuki rumah guru yang dikenal dengan nama Aris ini, kami mengucapkan salam. Sudah bisa ditebak, salam kami dijawab dari dalam. Dengan ramahnya, Pak Aris mempersilahkan kami duduk di dekat tungku. Obrolan ringan tak terhindarkan. Lama kelamaan, pertanyaanpun kami ajukan.
“Berapa jam perhari siswa SDN Ranu Pani sekolah pak?”. Dengan jujur Bapak Aris menjawab, “Paling sebentar 1 jam mbak, paling lama 4 jam”. Dikesempatan yang sama, bapak Aris juga bercerita bahwa, ketika ujian tiba, guru-guru rela menjemput muridnya di lading untuk mengikuti ujian. Sepinya peserta ujian, membuat para guru SDN Ranu Pani tak putus asa. Beliau-beliau naik ke ladang-ladang untuk menjemput sang murid.
Bapak Aris memaknai “pintar” sebagai tahu menggunakan ilmu. Sedikit yang penting bermanfaat. Meski mayoritas di Ranu Pani hanyalah anak SD, tapi mereka bisa lebih hebat dari mahasiswa pertanian dalam urusan meananm, merawat, hingga memanen tanaman.
Decak kagum dari kami (kelompok II) mengakhiri wawancara singkat itu. Karena adzan sudah dikumandangkan, terlihat guru muda itu mulai celingukan, berharap kami segera pamit. Melihat sinyal itu, kami mengerti dan segera pamit. Begitu keluar dari rumah Bapak Aris, kami lihat beliau ikut jama’ah di masjid lalu kemudian mengajar anak mengaji. Ternyata panggilan ini yang membuat guru asal Malang itu terburu-buru. Mungkin takut telat.
Field Note X
Partisipan: Yana
Profesi: Siswi Putus Sekolah
Hari/Tanggal: Jum’at/27-01-2012
“Putus Asa, Putus Sekolah”
Perjalanan kami di hari Jum’at belum usai. Sebuah rumah sederhana di sebuah bukit menjadi tempat tujuan selanjutnya. Rumah sederhana itu milik gadis yang berusia 14 tahun yang bernama Yana. Dengan sopan kami memasuki rumahnya, lalu menuju ruangan yang ada dipojok belakang, yakni sebuah dapur.
Orangtuanya begitu ramah. Teh hangat menemani perbincangan kami. Yana duduk manis di depan televise yang tak jauh dari dapur tempat kami singgah. Sang ayah yang beragama hindu dan sang bunda yang beragama islam begitu harmonis dan rukun jika dilihat dengan kasat mata. Ketika aku tanyakan kegiatan Yana sekarang, sang ibu yang telah melahirkannya menjawab, “Yana sekarang kerja di ladang mbak. Dia berhenti 2 bulan lalu dari sekolah”. “Kenapa?”. “Karena dia masih belum bisa baca. Padahal sudah kelas 4 SD. Anaknya juga sudah besar mbak, malu saja”
Aku ingin meluruskan pemahaman ibunda Yana yang bernama Ibu Tini. Puas berbincang-bincang dengan orangtuanya, aku melangkahkan kaki ke tempat Yana. Mengambil posisi duduk tepat disampingnya. Menemaninya menonton televise, sedangkan teman kelompokku lainnya masih asyik bersahabat dengan tungku. “Yana kalau besar ingin jadi apa?” senyum yang aku dapatkan darinya. Dengan malu-malu dia menjawab, “Hmmm… apa ya mbak? Aku ingin jadi guru, tapi asyik jadi petani dah”. Saat aku menanyakan keinginannya, dengan lugunya dia menjawab, “Pengen bisa baca mbak”. Aduh… sesederhana itu keinginannya. Saat ada sebuah tulisan melintas di layar kaca televise, Yana diam saat aku coba dia untuk membaca. Dia tersenyum, akupun tersenyum. “Tidak apa-apa sayang, yang penting jangan putus asa saja ya. Meski Yana sudah tidak sekolah, tapi tetep belajar ya. Kan bisa belajar sama bapak. Kalau sudah bisa, Yana coba sekolah” ucapku sembari memegang tangannya erat.
Banyak yang aku peroleh dari rumah sederhana ini. Cita-cita mulia yang tak pernah aku sangka, yakni keinginan membaca. Karena tak bisa membaca, Yana harus berhenti dari sekolah. Benar-benar cerita yang sangat miris di dengar telinga.
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment