MENU

Seorang Penulis dan Sebuah Tulisan




Ketika posting tulisan romantis yang berbau manis,
Akan ada yang respon, “Wah, sedang jatuh cinta ya? Sejak kapan kasmarannya? Cie… yang sudah dewasa mulai bahas cinta. Ehem… yang sedang terserang virus merah jambu, bahagianya setengah mati kan?”
Ketika posting tulisan galau bin patah hati,
Akan ada yang respon, “Bertepuk sebelah tangan? Kasihan ya. Wow, cinta tak berbalas yang indah. Sabar ya, manusia bisa jatuh cinta lagi kok. Patah hati sama siapa? Kecewa ya? Sakit ya? Pasti sedih banget”
Sebenarnya, aku kasi tahu ya. Aku pribadi, tidak bisa menulis hal-hal yang belum pernah aku alami sendiri atau aku pelajari pada orang lain/ internet/ buku. Dan lebih sebenarnya lagi, ketika kita menulis tentang cinta tapi kita belum pernah mengalaminya, memang tulisan itu jadi dan ada, tapi seakan-akan tak bernyawa. Berbeda dengan ketika kita sendiri tahu, paham, dan mengerti tentang cinta itu karena telah merasakannya sendiri. Kita akan lebih luwes menggambarkannya, membawa tulisan itu kemana, bahagianya itu seperti apa, rasanya bagaimana, efeknya seperti apa, kita akan menjadi ahlinya, dan tulisan kita seperti bernyawa seperti realita.
Namun, bukan berarti setiap tulisan sesuai dengan isi hati penulisnya saat itu. Memang, saat menulis, kita harus memiliki emosi yang sama dengan kalimat yang kita tulis. Bukan berarti jika itu tentang bahagianya senja, penulisnya mengalami senja itu seperti apa. Bisa saja diperoleh dari kisah orang-orang terdekat, ataupun dari yang lainnya. Tapi yang jelas, penulis tersebut pernah mengalaminya sendiri atau pernah mendengarkan pengalaman yang serupa. Begitu.
Jadi, jangan terlalu cepat menyimpulkan makna dari sebuah tulisan. Tapi, jika diri kita sendiri sedih, kita tidak akan mampu menuliskan tentang kebahagiaan. Itu.

1 comment :

  1. Terima kasih sudah mampir. Maaf tulisan masih error, berwarna putih.

    ReplyDelete

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes