Home Unlabelled Togaku Untukmu, Bapak
Togaku Untukmu, Bapak
Atiya Fauzan September 19, 2013 1
![]() |
Bapak, Aku, dan Cak Aan. (Usia 5 bulan kayaknya *1992) |
“Bapak, besok lusa (21/09/2013) aku wisuda di New Sari Utama (Mangli). Yang datang mungkin mbak luluk sama suaminya dan mungkin juga om sam. Mbak mut gak bisa dateng, kan habis lahiran anak ke empatnya. Cak aan juga, istrinya habis lahiran dan cak aan masih punya pekerjaan yang gak bisa ditinggalkan. Kalo umik, sudah tidak bisa ikut serta dalam perjalanan jauh. Umik sudah tak sesehat dulu, seperti sembilan tahun silam, saat pertama kalinya bapak meninggalkan kami semua untuk selamanya.”
“Bapak, mungkin bagi banyak orang mendapatkan gelar atau diwisuda hanyalah hal biasa. Tapi bagi putri bungsumu ini adalah hal yang luar biasa. Karena aku satu-satunya keturunan bapak yang memiliki gelar dibelakang nama (Kecuali menantumu ya pak, *suami mbak dan istrinya cacak yang sudah sarjana*). Mbak luluk, mbak mut, dan cak aan adalah lulusan SMA dalam pesantren. Sedangkan aku pak? Hanyalah seorang sarjana. Dan bukan berarti aku lebih hebat dari mbak dan cacak pak. Sama sekali tidak. Meski bukan jebolan STAN, IPDN, UI, UGM, atau UNAIR. Bapak bangga kah? Sepertinya bapak lebih ridho aku menimba ilmu di tempatku yang sekarang, STAIN Jember.”
“Bapak, tahun depan usiaku sudah 22 tahun. Sepuluh tahun lebih tua dari saat bapak meninggalkanku, 2004 lalu. Aku sudah berjanji, untuk lulus SMP saat tepat berusia 14 tahun, lulus SMA saat berusia 17 tahun, dan meraih gelar sarjana saat berusia 21 tahun. Aku tidak ingin membuang waktuku. Aku ikuti semua yang pernah bapak ajarkan padaku. Jangan pernah tinggalkan shalat secara sengaja. Sudah pak, meski malas melanda begitu hebat, aku coba untuk melawannya. Jangan pernah berhubungan lebih dengan pria non muhrim yang belum halal. Sudah pak, putrimu tak pernah pacaran, meski terkadang juga tergoda dan tergiur untuk melakukannya, aku coba tak menggubris dan sok menyibukkan diri. Awalnya aku belum paham pak, kenapa ada pemaksaan dalam nasihat bapak dan kenapa bapak menekankan dua nasehat itu? Ternyata aku rasakan sekarang. Keterpaksaan itu melahirkan kebiasaan, lalu kewajban, dan terakhir kebutuhan.”
“Bapak, semua yang ku lakukan untuk menjaga nama bapak yang mengekor dibelakang namaku, Fauzan. Aku coba mengikuti semua nasehat bapak. 12 tahun memiliki bapak, sepertinya itulah masa terindah bagiku. Aku masih ingat betul, setiap makan pastel, bapak selalu menyodorkan bagian tengahnya padaku, sedangkan bapak memakan bagian pinggirnya saja. Ketika makan kue lemper, bapak akan memakan kedua ujungnya terlebih dahulu, dan menyerahkan bagian tengahnya yang penuh ikan padaku. Begitu juga saat makan telor, bapak akan menyisakan bagian kuning telornya padaku. Dan ketika makan bakso, bapak mau menghabiskan kuah dan bihunku, sedangkan baksonya masuk ke dalam mulutku. Bapak kenapa selalu begitu? Selalu menelan pahit dan memberikan manisnya padaku, selalu bukan terkadang. Kenapa aku selalu diajari untuk tidak menelan pahit sejak kecil? Tahukah pak, kebiasaan itu terbawa hingga aku dewasa. Namun kini aku belajar memakan tepian kue pastel, kedua ujung kue lemper, putih telor, dan bihun dalam bakso. Karena sudah tidak ada lagi yang mau memakannya untukku. Bapak, ijinkanlah aku kali ini untuk menyerahkan togaku pada bapak, biarkan aku yang lelah presentasi atau mengerjakan tugas, dan gelar S.Sos.I, aku pribadi yang akan menyematkannya di belakang nama bapak (H.Djamaluddin Fauzan S.Sos.I). Ijinkan aku memberikan setitik rasa manis pada bapak. ”
“Bapak, aku sekarang sudah bekerja, sebagai tenaga pengajar di SMKN 4 Jember. Aku tulis kalimat ini ditemani oleh tenggorokan yang sakit dan serak. Bapak belum tahu kan? Sepertinya sih karena dua hal. Pertama, aku terlalu banyak mengeluarkan suara saat praktek membuat acara Talkshow di kelas X BC. Kedua, mungkin karena aku terlalu banyak menelan asap rokok, dari kakek-kakek renta yang seangkot denganku. Aku tahu bapak tak menyukai asap rokok, jadi aku begitu renta dengannya, karena memang aku tak pernah menghirupnya sejak kecil. Terima kasih ya pak.”
“Bapak, aku hanya ingin menjaga nama bapak yang melekat padaku. Mengharumkannya juga, meski aku tidak pernah juara olimpiade internasional atau nasional. Bapak tetap bangga kah? Semoga saja. Karena aku tahu bagaimana cara menjaga nama Bapak sesuai dengan keinginan Bapak. See U Pak.”
About Author
Related Posts
- Manusia Berhati Iblis Itu Nyata, Bukan Sinetron Belaka
- Membangun Wajah Baru Pendidikan Indonesia melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi
- (Heboh Pungli Kemenhub): Sebenarnya Banyak Pungli lho Pak Presiden, Mau Tahu?
- Diundang Talkshow TV Nasional? Tapi, Bukan Gue
- Menutup Aurat VS Membungkus Aurat
- Suasana Religius di SMK Negeri 4 Jember
- Ada Adzan, Break Dulu !!!
- Hati Penuh Cinta
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
aku jatuh cinta pada tulisan-tulisan ini.... terima kasih, tulisan-tulisan pyn telah mengispirasi semangatku
ReplyDeleteterima kasih sekali lagi