MENU

Cerpen_Kembalilah Kawan

“Kembalilah Kawan”

2009, Aku terperangah ketika melihat Faiz, sahabatku mulai dari SMP-SMA. Enam tahun kami bersama, banyak duka dan suka yang kami lewati bersama. 360 derajat dia berubah total, kemana faiz dulu yang lemah lembut, alim, yang selalu menundukkan pandangan, sholihah, sopan. Sejak lulus SMA kami tidak pernah bertemu, sudah 3 tahun lamanya. Sekarang kami sama-sama semester 6, dan aku benar-benar kehilangan sahabat terbaikku. Sulit untuk kutemukan sahabat seperti dia. Dia yang telah mengajariku tentang arti kehidupan seutuhnya. Menemaniku melewati masa-masa sulit dalam hidupku. Merubahku menjadi seorang putri yang diharapkan papa dan mama selama ini.

2001. Pertama kali kuhirup udara pesantren. Sangat membosankan, aku harus mengikuti seabrek kegiatan, mematuhi bermacam-macam peraturan. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati, lebih parahnya lagi adalah menjadi seorang junior. Dibentak dan disuruh-suruh seenaknya. Siswi kelas I SMP ingusan seperti aku hanya bisa pasrah. Sangat melelahkan, aku bertekad jika aku menjadi senior nanti, aku akan lakukan yang lebih parah dari yang mereka lakukan. Menyebalkan. Namun, aku masih memiliki keberuntungan, aku mempunyai teman satu kelas plus satu kamar yang super baik. Orangnya ramah, polos, cantik, dan cerdas juga. Dilihat dari penampilannya saja, sudah kelihatan. Wajah kalem dan pakaian yang anggun. Namanya Faizatun Nuranniyah. Beda denganku yang memiliki wajah judes dan penampilan tidak karuan. Meski kita sama-sama berumur 12 tahun, tapi kita jauh berbeda. Karena perbedaan itulah kami menjadi dekat. Mungkin karena kami satu kelas dan satu kamar juga, kedekatan kami bertambah. 24 jam selalu bertemu. Itulah awal pertemuanku dengan Faiz.

2002. Satu tahun di pesantren hidupku tidak berubah. Meskipun naik satu tingkat. Tetap sama saja. Tetap menjadi junior. Aku mencoba untuk bersabar. Kalau dipikir-pikir ini semua salah papa dan mama. Kenapa harus menjebloskan aku ke pesantren Toh selama ini aku sudah menjadi anak yang patuh. Kalau aku menanyakan hal itu, papa selalu memilki jawaban yang sama dengan mama “Papa sama mama, ingin yang terbaik buat kamu, agar kamu tidak rusak, akhlaknya tertata baik, mendapatkan ilmu, dan agar kamu terjaga 24 jam”. Huh! Nyebelin. Satu hal yang aku suka dengan kehidupanku sekarang. Yakni, papa dan mama akan menurti semua keinginanku asalkan aku betah dipesantren. Semua penderitaanku selama di pesantren mungkin tidak akan setara dengan seluruh uang papa. Aku ingin dirumah bersama papa dan mama, bukan ingin uang. Tapi, jika aku lihat faiz, aku sudah tidak memikirkan egoku lagi. Tidak ada salahnya menuruti semua keinginan papa dan mama. Nasibku mungkin beda dengan faiz, karena dia oleh orangtuanya tidak diperbolehkan masuk pesantren sedangkan aku diharuskan. Meski faiz dilarang masuk pesantren, dia tetap bersikukuh masuk pesantren. Aku baru tahu kalau ternyata alasannya adalah masalah ekonomi. Oleh karena itu, disetiap harinya dia berhemat. Makan satu kali sehari, jarang jajan. Aku sebagai sahabatnya, selalu membantu jika ada uang lebih. Sebagai gantinya, faiz mengajariku Bahasa Arab. Dia tidak mau menerima uangku cuma-cuma. Aku terima saja. Terima kasih faiz.

2003. Kini merupakan tahun ketiga aku berada dipesantren. Dikalangan SMP, akulah sang senior. Anggota OSIS juga. Pengikut Olimpiade Fisika. Namaku menyebar ke penjuru sekolah. Ehm! Siapa yang gak kenal ma yang namanya Rizkia Amalia Dewi. Itulah namaku. Nama pemberian Oma yang telah lama wafat. Sebenarnya faiz juga merupakan siswi yang cerdas. Dia sangat cerdas dipelajaran-pelajaran agama. Namun dia hanya masuk lima besar saja. Aku merasa malu berada diperingkat pertama. Karena aku tak tahu apa-apa. Aku hanya suka berkutat dengan angka-angka. Jadi, aku sangat mencintai matematika dan fisika. Jabatanku sebagai sang juara kelas belum pernah lengser. Alhamdulillah. Aku sebenarnya termasuk orang yang malas. Aku jarang mendengarkan guru dikelas, karena tanpa mendengarkan pun aku paham materinya. Tapi itu khusus pelajaran yang berhubungan dengan angka. Kalau sejarah dkk, aku tidak bisa memahami, aku butuh belajar ekstra untuk bisa. Untung saja ada faiz yang mau menegurku. Dia selalu berkata “Riz…ayo belajar. Besok ada pelajaran ini, ada PR itu”. Dia tidak pernah lelah memperingatiku. Aku saja yang mendengarkannya capek. Selama tiga tahun aku dipesantren, menurut orangtuaku ada perubahan besar dalam diriku. Aku akui itu, semuanya pasti karena tertular virus faiz. Aku mulai istiqomah shalat fardhu diawal waktu. Sudah rutin shalat tahajud dan dhuha. Pandai mengaji. Tulisan arabnya mulai bisa dibaca. Terima kasih faiz.

2004. Tahun menyebalkan. Harus aku lalui semuanya dari awal. Aku kira setelah lulus SMP tugasku sebagai santri telah selesai. Tapi ternyata tidak. Tapi satuhal yang patut aku syukuri, aku tetap sekelas dengan faiz. Tahun ini aku lalui dengan setengah hati. Papa dan mama kok tega sich. Mempertahankan aku di pesantren ini. Aku coba bertahan untuk tiga tahun kedepan. Coba mengulang masa emasku dimasa SMP. Faiz tak banyak berubah, dia tetap sama. Menjadi santri yang taat, lembut, dan anggun. Sedangkan aku? Aku sedikit berubah, mungkin ini pelampiasan kekesalanku terhadap papa dan mama. Aku jarang mengikuti kegiatan pesantren. Ketika waktunya jama’ah, aku shalat sendiri di kamar. Lalu tidur, pura-pura sakit. Saat waktu ngaji tiba, aku bersembunyi dibalik lemari kamar. Uangku habis untuk membayar denda. Tapi aku tidak pernah ambil pusing. Uang habis, tinggal telpon rumah. Namun semuanya tidak berlangsung lama. Karena pada suatu ketika faiz berkata kepadaku “Rizki, kamu kenapa akhir-akhir ini mulai berubah. Disetiap kegiatan pesantren, kamu tidak pernah hadir. Waktu SMP kamu tidak seburuk ini. Kamu marah sama orangtuamu? Jangan begitu pelampiasannya. Hal itu merugikan dirimu sendiri. Coba kamu ngaji, khatamkan Al Qur’an. Insya Allah lebih tenang.” Aku hanya menjawab sekenanya, “Kamu benar, kalau sudah tahu, ngapain tanya-tanya.” Dia kembali berkata, “Aku kasihan sama papa dan mama kamu. Denda yang kamu bayar selama ini memang tidak ada artinya bagimu. Kekayaan keluargamu tidak akan habis meski untuk bayar dendamu selama 10 tahun disini. Tapi, kamu harus paham tujuan pesantren memberikan denda itu. Agar santri merasakan jera.” Aku diam saja. Dia pun melanjutkan pembicaraannya, “Kamu bersyukur bisa berada di pesantren, ada yang menjagamu selama 24 jam. Mendapatkan banyak fasilitas ilmu. Coba kamu lihat aku, emak dan bapakku hutang kesana kemari hanya ingin mewujudkan impianku, yakni masuk pesantren ini. Aku rela makan satu kali sehari, jarang jajan asalkan aku bisa menuntut ilmu disini. Aku tetap bersyukur karena Allah telah memberikan sahabat sepertimu yang mau membantuku. Coba kamu pikirkan, apa ruginya kamu berada disini selama 6 tahun?”. Aku tertunduk. Airmata membanjiri pipiku. Allah… kenapa aku tidak pernah bersyukur atas nikmatMu, ampunilah aku. Papa, mama, aku merindukan kalian. Terima kasih faiz.

2005. Aku kembali mendapatkan masa emas itu. Dalam waktu satu tahun, aku dibebani tiga jabatan. Ketua Pondok untuk daerah Madinah. Masuk bagian OSIS lagi. Dan Ketua disalah satu organisasi pelajar islam di Indonesia. Namun, ada yang berubah, aku dan faiz menjadi siswi XI IPS A. Fisika sudah tak berteman lagi denganku. Aku sibuk bergelut dengan Ekonomi dan Akuntansi. Alhamdulillah, aku memenangkan sebuah Olimpiade Ekonomi di Tingkat Kabupaten. Faiz tetap menjadi sahabat terbaikku. Dan aku berusaha menjadi sahabat terbaik untuknya. Ditengah-tengah masa keemasanku di SMA, cobaan itu datang. Kini lebih besar. Bukan rasa malas untuk mengikuti kegiatan pesantren, tapi rasa yang tiba-tiba muncul ketika melihat surat berwarna merah tertuju untukku. Dalam surat itu, kata-katanya membuatku melayang. Indah sekali. Surat itu atas nama Salman Al-Farisi. Siapa dia. Menurut info yang aku dengar, dia adalah kakak kelasku. Tapi dia jurusan IPA. Aku merasa dilema, dia ingin menemuiku tapi peraturan pesantren melarangnya. Jiwa mudaku bergolak. Faiz tidak buta dengan apa yang terjadi padaku. Faiz menulis sebuah pesan untukku, dia letakkan di atas lemariku. Aku coba pahami.

“Riz, aku tahu kamu sekarang sedang dilanda asmara. Meski kamu tidak tahu seperti apa Salman itu, aku rasa kamu menyukainya karena Salman menjadi idola para santri putri. Dan merupakan suatu kebanggaan bagimu karena dia telah memilihmu. Kamu harus ingat, jatuh cinta merupakan fitrah manusia, tapi kamu harus bisa mengendalikannya. Kontrol cintamu, jangan sampai cinta yang mengontrolmu. Jagalah dirimu seutuhnya, biarkan hatimu suci. Karena kelak, semuanya akan kau berikan hanya untuk satu orang saja, yakni jodohmu. Akan kau abdikan hidupmu untuknya. Good Luck. Kurasa kau tahu arti pesanku. Faiz N.” Aku mengerti maksud faiz. Aku harus bertindak cepat. Meski faiz masih SMA, tapi dia telah mampu berpikir kedepan sampai sejauh itu. Maaf kak Salman, aku tidak bisa membalas suratmu dan memenuhi keinginanmu. Terima kasih Faiz.

2006. Tahun terakhirku berada di pesantren. Kadang aku merasa tidak ingin cepat-cepat keluar dari pesantren. Namun semuanya harus aku akhiri. Papa telah memberikan ijin kepadaku untuk memilih Universitas manapun yang aku suka, meski diluar kota sekalipun. Tugasku sebagai santri akan segera usai. Tapi sebagai seorang Muslimah tidak akan pernah selesai. Tersirat kesedihan di wajah faiz. Hanya ada harapan kecil untuknya agar bisa mlanjutkan ke perguruan tinggi Aku tak pernah berhenti berdo’a untuknya. Semoga jalannya selalu dimudahkan oleh Allah. Papa dan mama sangat bahagia melihat perubahanku. Aku sudah sangat jarang memakai kaos ketat, jilbab pendek, dan celana. Pernah mama berbisik di telingaku, “Inilah yang papa dan mama harapkan darimu nak, terima kasih sayang.” Aku hanya tersenyum. Semuanya tidak terlepas dari peran sahabatku, faiz. Terima kasih faiz. Kini kita sudah tidak berbeda jauh. Hehehehe… tidak kok. Aku tidak bisa seperti faiz sepenuhnya. Karena kita memang tidak sama. Aku tidak bisa berbicara selembut dia. Kata temen-temen aku terkesan sebagai orang yang “rame.” Meski begitu, papa dan mama sudah cukup bangga terhadapku. Terima kasih faiz.

2009. Kini aku kembali bertemu dengan sahabatku faiz. Dia mengenakan celana jins yang dipadu padankan dengan jaket. Aku yakin itu faiz. Aku bertemu dengannya di sebuah tempat makan. Tapi ada yang berbeda, aku sendiri dan dia bersama seorang laki-laki tinggi tegap berkacamata. Siapa gerangan? Faiz tidak bisa menjawab pertanyaanku. Dia tertunduk ketika melihat diriku dihadapannya. Ada sesal mendalam pada dirinya. Hanya sedikit cerita yang kutangkap darinya. Orangtuanya meninggal satu bulan setelah kelulusan SMA. Diapun diasuh pamannya yang kaya raya. Lalu pindah kekota ini, kota tempat kampusku bertengger. Tiga tahun setelahnya, perubahan drastis dialaminya. Saat bertemu denganku, faiz tak banyak bicara. Tak ada pengakuan darinya, tapi dari matanya aku pahami banyak makna. Penyesalan, tekanan, kesedihan, dan kesepian. Aku berikan No HP ku saat itu, tapi hingga saat ini faiz tak menghubungiku sama sekali. Semoga dia baik-baik saja. Dalam hati, aku berbisik “Kembalilah kawan.” Dunia tentunya merindukan kelmbutanmu, keanggunanmu, dan imanmu.

1 comment :

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes