Home Unlabelled Dialah Ibuku (Dwi Ani Farida)
Dialah Ibuku (Dwi Ani Farida)
Atiya Fauzan June 23, 2012 0
Batu nisan yang sama, gundukan tanah yang sama pula, entah sudah berapa kali aku menatapnya tanpa rasa bosan sembari melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Perkuburan seorang wanita yang telah merelakan rahimnya selama 9 bulan sebagai tempat tinggalku, yang telah rela berbagi makanan denganku, yang tanpa mengeluh membawaku kemanapun dia pergi, yang bahkan sampai tak tidur saat aku mulai ingin menatap dunia. Itu masih belum seberapa jika dibandingkan saat hari bersejarah dalam hidupku, saat untuk pertama kalinya aku menatap dunia, menghirup udara bebas. Aku terkadang merasa heran, seorang wanita bisa begitu bahagia menatap makhluk mungil yang disebutnya buah cinta meskipun baru saja keluar dari ambang kematian, kesakitan saat melahirkan.
Aku tidak pernah menyesali nasibku yang hanya mampu merasakan belaian kasih sayangnya dalam sekejap, yang hanya mampu mengingat wajahnya dalam ingatan usia 5 tahunku. Namun yang selalu membuatku lebih bersemangat mengukir keberhasilan masa depanku adalah hanya untuk membuatnya tersenyum di sana, entah dia melihatnya atau tidak, aku hanya merasa yakin dia bangga dengan pencapaianku kini.
Mungkin aku bukanlah orang kuat yang mampu menerima pukulan bertubi-tubi tetapi aku mempercayai satu hal, seberapa kuat aku bisa bertahan hanyalah bergantung pada kuat tidaknya aku menerima pukulan pertama. Dan pukulan pertamaku sudah datang 20 tahun yang lalu, sejak aku dipaksa mengikhlaskan kepergiannya untuk selama-lamanya. Masih sangat tergambar dengan jelas hingga kini bagaimana kami makan bersama, berjalan kaki bersama, menghabiskan waktu bersama, dialah Ibuku.
Pertumbuhanku tanpa seorang Ibu bukanlah sebuah hal yang mudah dan bukan pula hal yang sulit karena tidak mudah untuk mendiskripsikan bagaimana peran Ibu bagi putra putrinya, tugas dibangku sekolah menengah kejuruan. Begitu sulitnya aku mengungkapkan bagaimana seorang Ibu mendampingi putra putrinya beranjak dewasa, menjadi sahabat dalam berbagai hal, menjadi tempat untuk sekedar tidur di pangkuannya. Namun aku tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika aku harus bangun sendiri dari jatuhku dalam perlombaan lari di bangku kelas 6 sekolah dasar karena aku tidak pernah lupa bahwa di seberang lapangan tidak ada Ibu yang akan lari ketengah lapangan hanya untuk membantuku bangun.
Ketika pula aku diterima kerja pada sebuah perusahaan asing dengan berbagai hiruk piruknya, pekerjaan yang stand by 12 jam, lingkungan baru beserta para penghuni yang baru pula, untuk kesekian kalinya aku merasa beruntung karena mampu melewatkan pukulan-pukulan yang masih sanggup aku tahan sakitnya.
Dan kini, entah berapa banyak doa yang aku katakan tanpa lelah dipusara Ibuku, hanya ingin meminta restu atas segala rencana hidupku, tentang semua cita-citaku yang hampir aku gapai. Jika saja dia masih ada disampingku saat ini pastilah dia akan menguatkanku dengan belaian kasihnya yang tanpa batas, membesarkan hatiku agar tak lelah berjuang. Namun aku sangat yakin, dia mengerti tentang kegelisahan hatiku meskipun aku tidak melihatnya. Sepotong mimpiku yang sulit tergenapi, seorang jodoh yang hingga kini masih menjadi misteri.
Aku masih menunduk, menatap nama yang terukir di batu nisan meskipun nama itu mulai pudar termakan waktu. Apakah terlalu banyak yang ingin aku ucapkan hingga tak sepatah katapun yang mampu aku ucapkan, hingga aku mencoba menahan air mataku. Aku tidak pernah menangis di hadapan siapapun dan aku juga tidak pernah meneteskan air mata di pusara Ibuku. Selemah inikah hati pria ketika hatinya terluka sampai harus menangis?
“Hari mulai gelap, kenapa masih tertunduk di sini?” Suara Ayahku seketika mendongakkan kepalaku.
“Ayah di sini?” Seketika pula aku terkejut melihat tatapan Ayah yang penuh belas kasih.
“Ayo pulang.” Aku hanya mencoba bangkit dan berjalan di belakang Ayah sembari menatap punggungnya, punggung yang dulu kokoh menyanggaku.
***
“Besok kita ke sana, kita minta baik-baik.” Percakapan awal kami saat makan malam.
“Dia tidak mengizinkan karena orang tuanya menolak.” Nasi yang aku kunyahpun serasa pahit, permasalahan ini menguras pikiran dan tenaga melebihi beban pekerjaanku.
“Lalu bagaimana? Kamu masih mau menunggu dia? Sampai kapan?” Itu juga pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam diriku, sanggupkah aku menunggu demi sebuah restu?
10 tahun kami saling mengenal, berteman dengan baik, berbagi kisah baik suka maupun duka, dia adalah Naurah. Ketika aku merasa kami adalah 2 orang yang bisa bersama meraih mimpi indah, aku mengajaknya menyempurnakan separuh agama kami, mengikuti sunnah Rosul. Namun keinginan kami seakan tidak bisa terwujud ketika orang tua Naurah tak memberikan restu bagi kami, bahkan tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk sekedar mengutarakan niat baikku meminang Naurah. Ini juga termasuk pukulan yang entah untuk kesekian kalinya, aku hampir menyerah menahan sakitnya.
“Aku belum pernah meminta izin kepada Ibu untuk menikah.” Sekuat tenaga aku menahan emosi, ingin sekali aku menangis namun aku seorang pria, aku harus bisa kuat.
“Meskipun kamu belum mengatakannya tetapi Ibu pasti tahu niatmu.” Sebijak itu pula Ayah menguatkanku.
“Restu Ibu melebihi segalanya Ayah, mungkin Ibu ingin aku mengatakannya di depan pusaranya. Beberapa kali aku menatap batu nisan Ibu, serasa kelu lidahku berucap, serasa tak sanggup aku mengatakan niatku. Seorang anak laki-laki selamanya akan menjadi milik Ibunya, Ibu hanya ingin aku meminta restunya.”
“Kamu memang benar, doa seorang Ibu adalah segala-galanya, bahkan Nabi Muhammad saw. saja memerintahkan para pengikutnya untuk selalu berbakti kepada Ibunya terlebih dahulu sebelum Ayahnya, beliau menyebut Ibu sebanyak 3 kali yang kemudian Ayah. Kalau memang demikian, mintalah restu darinya. Ungkapkan isi hatimu agar Ibumu di sana merasa lebih tenang.” Dan aku memahami satu hal dari ucapan Ayah, Ibu sedang menungguku.
***
Kembali aku menunduk dipusara Ibu, mencari kalimat yang bisa mengungkapkan betapa berartinya doa Ibu untuk rencana masa depanku. Mungkin anak lelaki lain dengan mudahnya akan berbagi cerita dengan Ibunya, akan meminta saran bagaimanakah memilih seorang istri, dan tentu saja memohon doa restu demi kelancaran niatnya.
“Seandainya Ibu tahu bagaimana aku melewatkan seluruh hari-hariku tanpa kehadiranmu disisiku, tanpa senyumanmu yang mampu menyejukkan hatiku, tanpa ungkapan penyemangat yang sering aku dengar dari teman-temanku ketika Ibu mereka menelepon di tengah jam kerja. Aku tidak pernah menyesal telah di lahirkan oleh Ibu, aku tidak pernah marah ketika Ibu tiba-tiba saja meninggalkanku disaat aku masih membutuhkan belaian lembutmu. Meskipun terkadang aku merasa iri ketika kakak maupun adik pernah ibu jenguk dalam mimpi mereka, sedangkan aku tidak. Aku hanya bisa bersyukur masih memiliki ingatan yang kuat tentang bagaimana Ibu tersenyum, tentang bagaimana Ibu menyuapiku makan, tentang bagaimana Ibu merapikan bajuku yang berantakan sepulang bermain.” Aku mengambil nafas yang panjang dan berat, untuk sekedar menguatkan hatiku sendiri.
“Sudah 20 tahun Ibu pergi, sudah selama itu pula aku menahan setiap pukulan dalam hidupku. Meskipun Ibu tidak bisa melihat hasil jerih payahku, tidak bisa pula menikmati hasil cucuran keringatku namun aku yakin Ibu telah bangga dengan pencapaianku.”
“Aku menunduk di pusara Ibu, di tempat peristirahatan terakhirmu, memohon izinmu, meminta restumu Ibu. Ijinkan dan restuilah aku mengikuti sunnah Rosul, menyempurnakan separuh agamaku Ibu…” Serasa beban berat yang selama ini aku pikul hilang dari pundakku, serasa lega dan tenang. Lebih berat beban karena tidak segera meminta izin dan restunya jika di bandingkan penolakan Ayah Naurah. Dan aku hanya mampu berserah diri padaNya, jika memang Naurah adalah wanita yang diciptakan dari tulang rusukku pastilah jalan itu masih ada.
***
Aku masih terlelap dalam tidur siangku ketika handphone-ku bergetar di atas meja, cukup aneh, aku tidak pernah terbangun jika hanya karena getaran handphone saja.
“Assalamu’alaikum mas.” Suara Naurah di seberang, aku tidak sempat melihat nama penelepon itu hingga tidak mengetahui bahwa Naurahlah yang meneleponku.
“Wa’alaikumsalam… dek Naurah? Ada apa?” Aku bergegas bangun dan mengumpulkan nyawaku yang mungkin belum genap kembali.
“Mas Andi bisa ke rumah nanti malam? Ayah ingin bertemu.”
“Nanti malam?”
“Iya mas, penting!” Ada nada khawatir di sana, seakan memastikan bahwa kehadiranku sangat dinantikan.
“Insya Allah ya dek.”
Aku hanya merasa ada secercah sinar harapan yang mampu aku harapkan menjadi kenyataan, semoga inilah jawaban atas doa-doaku.
***
“Nak Andi, kapan orang tuanya bisa datang ke sini untuk membicarakan tentang kelanjutan hubungan Nak Andi dengan Naurah?” Aku seakan tidak menemukan kalimat syukur yang terindah kecuali mengucap Alhamdulillah, sungguh Allah Maha Besar.
“Insya Allah besok pak, saya akan membawa Ayah saya ke sini.” Ada semacam kesejukan yang mengalir dalam derasnya aliran darahku.
Dan malam yang aku nantikan sebagai malam bahagia dalam hidupku ketika keluargaku dan keluarga Naurah bertemu adalah ketika mereka telah mendapatkan tanggal yang sesuai untukku mengucap Ijab Qobul. Terhitung 6 bulan sejak malam itu, kami akan menjadi sepasang suami istri, memulai kehidupan berumah tangga, mengisi hari-hari bersama untuk sebuah mimpi yang sama, mengharap RidhoNya.
***
Kembali aku tertunduk dipusaranya, ingin aku menangis hanya untuk mengungkapkan betapa bahagianya telah dilahirkan oleh seorang Ibu yang kini telah berbaring diperistirahatan terakhirnya. Namun aku hanya mampu berucap, aku mencintai Ibu melebihi nyawaku sendiri, tenanglah di sana, restumu selalu aku nantikan disetiap perjalanan hidupku.
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment