MENU

HaPe (Hantu Pesantren)



            Kelulusan siswa-siswi SMP minggu lalu menyisakan kesedihan bagiku. Memang aku lulus dengan nilai terbaik, tapi masalahnya adalah Abah dan Umi melarangku unuk melanjutkan ke SMA Negeri favorit pilihanku. Aku yakin, akan diterima di sekolah itu dengan modal otak yang lumayan encer. Tapi Abah memutuskan untuk menjebloskanku ke sebuah pesantren ternama di kota ini. Dan harus melanjutkan ke Madrasah Aliyah Swasta juga. Lengkap sudah penderitaanku.
“Via... ayo cepat keluar, kita berangkat sekarang” teriak Umi dari luar kamar

Hari ini cerita sedihku akan dimulai, masuk pesantren. Oh... tidak. Dengan terpaksa aku angkat barang-barang bawaanku dan masuk mobil dengan muka ditekuk. Abah dan Umi hanya diam saja. Selama perjalanan, aku terdiam sambil memeluk bonekaku yang berbentuk hati. Abah dan Umi pun demikian, fokus dengan pikiran masing-masing. Satu jam berlalu, terlihat sebuah gerbang dengan tulisan Pondok Pesantren Putri Al Bidayah. Aku hanya bisa marah dalam diam.
“Kita daftarkan Via dulu bah, di Kantor Pusat Informasi Pesantren” ucap Umi pada Abah
Umi sangat paham dengan seluk beluk pesantren ini, karena beliau pernah menimba ilmu disini selama enam tahun. Kini, giliranku tiba menjalani kehidupan pahit di dunia pesantren. Selama proses pendaftaran pesantren dan sekolah, aku hanya mengekor di belakang Abah dan Umi, dengan sesekali dimintai tanda tangan ini itu. Ternyata membutuhkan waktu yang lumayan lama. Menyebalkan.
“Vi, semua urusan sudah selesai. Ini ustadzah yang akan membimbingmu” kata Umi sambil memperkenalkan seorang wanita berjilbab biru muda.
“Saya ustadzah Halimah, dengan adek Via ya?” tanya wanita anggun itu
“Arivia” jawabku singkat
            Setengah jam berlalu, koperku sudah dibawa pergi oleh ustadzah Halimah. Aku tetap enggan masuk ke kawasan pesantren putri, apalagi melihat calon kamar baruku. Aku hanya duduk manis di ruang tunggu ditemani Abah dan Umi.
“Vi, Abah dan Umi sudah mau pulang. Kamu cepat masuk sana” kata Abah padaku
“Iya Vi, di dalam banyak teman baru. Kamu ke kamarmu ya? Umi antar” sambung Umi
 Aku tetap mematung memeluk boneka kesayanganku. Lalu tiba-tiba buliran airmata keluar dari matakau. Sekuat tenaga aku menahan tangis ini, namun tak mampu. Dan akhirnya pecah juga. Abah dan Umi memelukku erat dan mereka pergi meninggalkanku bersama ustadzah Halimah dan ratusan orang asing disini.
            Malam sudah sangat sempurna, jam menunjukkan pukul 22.30. Aku masih tidak bisa memjamkan mata diatas kasur lantai yang aku bawa dari rumah. Kulihat yang lainnya mulai terlelap. Dikamar ini penghuninya berjumlah 23 orang denganku. Kamarku hanya diterangi lampu dari luar dan sinar bulan. Yang lainnya lebih suka jika lampu dipadamkan. “Egois” bisikku dalam hati. Sepuluh menit aku paksakan memejamkan mata, tidak bisa. Lalu ada hasrat ingin buang air kecil. Aku bingung harus membangunkan siapa, tak tega rasanya melihat kawan baruku tertidur pulas. Mungkin kelelahan dengan seabrek kegiatan. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, semoga masih ingat jalannya. Aku dikte kamar perkamar, takutnya nyasar. Akhirnya ketemu juga. Kamar mandi berderet panjang berada disebelah timur Masjid. Hening. Sepi. Tapi sepertinya ada yang menyikat baju, siapa sih tengah malam begini masih sempat cuci baju. Suaranya berasal dari kamar mandi nomer 13. Aku butuh gayung untuk buang air kecil. Aku dekati kamar no 13 yang pintunya tak tertutup, ternyata benar, ada seorang santriwati menyikat baju dan membelakangiku.
“Mbak… boleh pinjam gayungnya?” ucapku sambil melirik gayung hijau didekatnya.
Tak ada respon. Terdengar suara seperti pita kaset tape rusak. Suara apa itu? Dia tetap tak menoleh, mungkin dia tidak dengar, pikirku.
“Mbak…boleh pinjam gayungnya?” tegurku dengan suara lebih nyaring.
Dia tetap fokus pada pekerjaannya. Padahal aku sudah sangat kebelet pipis. Terpaksa aku menepuk badannya. Sontak dia menoleh. Dan, masya Allah… aku berdiri lemas. Pahaku terasa hangat.  Didepanku ada sosok seorang wanita, yang tak aku lihat dimana letak mata, hidung, mulut, dan yang lainnya. Muka rata. Oh… Umi, help me.
            Ada suara gaduh, beberapa kali aku mengerjapkan mata. Terlihat banyak orang disamping kiri kananku.
“Vi… kamu tidak apa-apa?” Tanya ustadzah Halimah
“Sedikit pusing” jawabku lemas. Oh… aku teringat dengan si muka rata lagi. Wajahnya benar-benar rata dan polos.
“Kamu istirahat dulu. Kalau butuh sesuatu, bilang sama ustadzah atau teman yang lainnya”
Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu menutup seluruh badanku dengan selimut. Aku masih belum bisa melupakan kejadian semalam. Bertemu dengan si muka rata. Sosok seorang wanita berambut panjang, berkulit putih, tapi sayangnya dia tak memiliki apapun diwajahnya. Hanya ada kulit mulus dan bersih. Oh… aku kembali teringat dengan sosoknya.
            Detik jarum jam berlarian cepat, semua santriwati menjalankan aktifitasnya, kecuali aku. Aku hanya berbaring dipojok kamar dengan sebuah kasur lantai. Hanya bangun ketika akan shalat dan makan saja. Aku lihat, teman-teman kamarku sibuk ini dan itu. Aku hanya bisa menatap tingkah mereka. Rasa jenuh mulai aku rasakan, teman-teman memaklumi keadaanku, membiarkan aku istirahat tanpa mengikuti kegiatan apapun. Sehabis shalat isya’, aku mencoba untuk tidur sejenak. Tepat pukul 19.30 kamarku mulai sepi, semua santri mengikuti kajian kitab kuning sesuai level di kelas masing-masing. Mataku enggan terpejam, aku coba paksa dan akhirnya terlelap. Entah karena apa, aku terbangun. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 tapi teman-teman tak ada yang datang. Akupun ingin tidur kembali, merubah posisi menghadap tembok. “Uhuku uhuk”. Terdengar suara batuk yang sangat parau. Penasaran, aku ingin tahu sumbernya, aku palingkan badan dan terlihat jelas di depan lemari berwarna biru, sosok seorang wanita yang tak bisa aku lihat wajahnya. Tapi bukan si muka rata, wajahnya dituutpi oleh bulu mata yang sangat panjang hingga ke kakinya. Dia duduk menekuk lutut, melingkarkan tangan pada lututnya. Tidak melihat ke arahku yang sekitar 3 meter disampingnya, tatapannya lurus kedepan. Tak bergerak sama sekali. Aku yang melihatnya, tak bisa bersuara dan bergerak. Aku menganga menatapnya. Bingung harus mencari bantuan kemana. Aku paksa mengatupkan kedua mataku, terdengar suara langkah yang menderu-deru. Aku belum berani untuk membuka mata, suara gaduh ternyata berasal dari para santriwati yang baru pulang dari pengajian kitab kuning. Aku menggigil, belum mampu memusnahkan sosok gadis yang sangat menyeramkan.
“Dek Via kenapa?” tanya mbak Ifa, kakak kelasku yang pertama kali tiba
Aku tak menjawab, diam membisu, tetap menggigil. Semua teman-temanku heboh, ternyata mereka mengkhwatirkanku. Begitu perhatiannya mereka padaku, si santri baru. Ada yang mengompres, membuatkan teh hangat, membelikan roti, dan menjagaku. Aku manutsaja, menerima kebaikan mereka semua.
“Kamu kenapa dek sebenarnya? Ada yang sakit?” tanya mbak Ifa kembali
“Ada cewek mbak, di depan lemari biru itu” jawabku seraya menunujuk lemari milik Irma yang berwarna biru
“Mungkin temen-temen dek”
“Nggak mbak, bulu matanya panjang banget sampai kaki”
Jelas aku lihat wajah mbak Ifa yang terkejut, mengerutkan kening, antara percaya dan tidak. Teman-teman kamar yang mendengar ceritaku langsung riuh.
“Semuanya tenang” perintah Mbak Ifa pada semua anak kamar
“Mbak Via beneran lihat?” tanya Sofi ketakutan, dia santri baru yang masih kelas VII SMP. Aku menyesal ceritaku membuat takut semua orang, aku terdiam. Tidak mau menceritakan semuanya lagi.
“Sudahlah dek Sofi, tidak ada apa-apa kok. O ya, buat semuanya jangan sampai cerita ini menyebar keluar” Mbak Ifa kembali memberi nasehat.
“Maafin aku mbak” ucapku
“Tidak apa-apa dek”
“Aku tidak bermaksud untuk membuat semua orang takut mbak, aku menceritakan apa yang aku alami”
“Tidak apa-apa. Dek Via bukan orang pertama yang mengalaminya”
Aku kaget mendengarnya. Jadi hal seperti ini sudah biasa terjadi di sini. Aku ingin segera keluar dari sini.
“Ya sudah, dek Via istirahat dulu” kata mbak Ifa sambil membetulkan selimutku.
“Iya mbak”.
            Tengah malam, tepat pukul 00.05 aku terbangun. Terdengar suara dengkur bersahutan. Aku takut, kenapa aku harus terjaga pada jam segini, kenapa tidak pada waktu subuh saja. Menyebalkan. Aku tidak mau melihat hal-hal aneh lagi. Tapi aku merinding, sendiri dalam kesunyian malam. Udara yang sangat dingin menambah rasa sebalku. Aku lirik wajah teman-temanku yang sedang tidur, berharap ada yang terjaga. Ternyata semuanya tertidur lelap. Aku berusaha mengatupkan kelopak mata yang meronta untuk membuka. Dalam sayup-sayup gelap aku meraba malam. Ketidakjelasan pencahayaan membuat pandanganku menebak setiap benda yang terlihat. Tidak ada yang aneh, aku membalikkan badan menghadap ke tembok yang berada disebelah kananku, sedangkan sebelah kiri berbaris teman kamarku tidur terlentang seperti ikan pindang. Aku merasakan tembok yang sangat dingin, aku berputar lagi ke arah kiri. Kuraih jam weker disampingku, menebak jarum jam yang tertera, sudah pukul 00.35. Waktu seakan berjalan begitu lama dan sangat lambat. Aku menanti kapan waktu tahajud tiba, karena akan banyak santriwati yang bangun. Aku tetap dalam keadaan semula, mencoba untuk tidur, hasilnya nihil aku tidak pernah bisa. Akhirnya aku mengamati kamarku inchi demi inchi, berharap kantuk akan menyerang. Aku merasakan sesuatu yang aneh, tepatnya diatas lemari berkayu jati yang berada dipojok kiri, aku menangkap sebuah sosok yang aneh. Anak kecil, bahkan sangat kecil berkepala botak sedang mengoyangkan pinggulnya. Mulutku sibuk komat kamit membaca do’a yang aku hafal seadanya. Anak kecil itu berloncatan dari lemari yang satu kelemari yang lain. Tak bisa kutangkap wajahnya dengan jelas. Aku tak percaya, kucoba mencubit diri sendiri, ternyata sakit. Ini benar-benar nyata. Suaraku tertahan di kerongkongan, tak bisa meminta bantuan. Nafasku sesak dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
            Entah pukul berapa aku mendengar suara orang mengaji, sudah pagikah ini? Aku berusaha membuka mata, ternyata sudah pukul 04.30. Melihat aku terbangun, mbak Nisa’, santri tertua dikamar menyapaku
“Sudah bangun dek?”
Aku hanya menganggukkan kepala.
“Mbak antar ke kamar mandi ya? Sudah subuh”
“Iya mbak” jawabku
Akupun diantarnya ke kamar mandi. Seusai aku mengambil wudhu’, aku mencoba untuk menceritakan kejadian semalam.
“Mbak, tadi malam aku melihat anak kecil berlarian di atas lemari, kepalanya botak”
“Serius dek?”
“Iya mbak, aku lihatnya pas terbangun tengah malam”
“Mungkin khayalan adek saja”
“Nggak mbak, itu nyata”
“Iya mbak percaya, itu cobaan bagi adek mungkin agar tidak betah di pesantren”
“Mbak pernah?”
“Alhamdulillah tidak pernah. Kalau tidak salah, ini sudah ketiga kalinya ya dek Via mengalaminya?”
“Iya mbak”
“Tolong jangan cerita ke siapapun ya, takutnya ada yang tidak betah dan ingin pulang”
“Iya mbak”
“Dek Via juga jangan terlalu memikirkannya, biar dek Via cepat sembuh dan bisa ikut kegiatan pesantren. Jangan suka melamun atau bengong juga. Mbak lihat, kayaknya dek Via kurang berinteraksi dengan santriwati yang lain. Banyak teman itu asyik lho dek”
“Aku terpaksa masuk sini mbak”
“O… begitu, coba ikhlas saja. Semuanya akan terasa indah, mulailah seperti yang lainnya. Kalau dek Via nggak ikhlas, memangnya dapat apa? Capek saja kan?”
“Iya mbak, benar juga”
“Ya udah, sekarang cepat shalat subuh”
Aku segera menggelar sajadah dan menunaikan shalat subuh dua raka’at.
            Sudah sebulan aku berada di pesantren, aku mulai terbiasa dengan suasana di dalamnya. Memang kadang perasaan tidak betah pernah menghampiriku. Tapi semuanya aku tepis demi Abah dan Umi. Aku biasakan hidup di penjara suci ini, aku bersyukur akhir-akhir ini aku sudah tidak lagi bertemu dengan ‘makhluk aneh’ yang pernah menghantuiku diawal masuk pesantren. Hanya ada satu kunci, yaitu ikhlas. Aku merasa nyaman menjalani semuanya. Kini, aku mulai istiqomah melaksanakan shalat dhuha dan tahajud. Dan mulai terbiasa shalat fardhu diawal waktu. Aku juga lebih sering membuka Al Qur’an.
            Waktu yang berjalan mengajariku banyak hal. Pengalaman menakutkan yang pertama kali aku alami selama hidup, ternyata sudah menjadi hal biasa di dunia pesantren. Seperti yang diakui May, teman sekelasku. Diwaktu istirahat, aku dan May sengaja tidak keluar kelas karena sedang puasa, kami bercerita panjang lebar, sedangkan teman yang lainnya asyik menyendok semangkuk bakso.
“Vi, aku juga pernah lho mengalami hal yang sama kayak kamu” ucapnya membuka obrolan
“Beneran?”
“Iya, kejadiannya waktu mati lampu”
“Kamu lihat apa?”
“Sosok seorang wanita yang duduk di tempat sampah kamar mandi”
“Mungkin santri yang lain”
“Nggak tahu juga sih, waktu itu aku habis nangis terus ketiduran. Bangun-bangunnya sudah gelap. Aku segera ke kamar mandi, agak rame sih, para santri banyak yang bawa lilin”
“Terus?”
“Pas aku keluar dari kamar mandi, aku lihat wanita itu di kamar mandi paling ujung. Duduk di dekat tempat sampah”
“Ngapain? Lihat ke kamu?”
“Nggak, dia membelakangiku”
“Kan banyak orang”
“Waktu aku mau masuk masih agak rame, tapi waktu aku keluar sudah agak sepi”
“Terus?”
“Aku diam memperhatikannya”
“Lalu?”
“Aku lihat dia menghisap pembalut”
“Hah?”
“Beneran Vi, tapi aku nggak cerita sama siapa-siapa, kecuali sama kamu”
“Berarti kita sama, tapi akhir-akhir ini aku sudah tidak pernah melihat hal seperti itu”
“Iya kita sama, tapi sejak saat itu aku sudah tidak pernah melihatnya lagi”
“Banyak ngaji dong”
“Iya, aku sudah mulai istiqomah jama’ah dan ngaji juga”
“Bagus”
“May gitu lho”
“Lebay”
May tertawa lebar, aku ikut tersenyum. Aku harap ini akhir dari episode yang menegangkan dalam hidupku. Semoga tidak ada Via dan May yang selanjutnya.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes