MENU

Menyingkap Topeng Game-Online


Belajarlah Nak... Kurangi nge-game-mu

            Noel Nel berkata, “Kekerasan dokumen merupakan bagian dari dunia riil seperti penggambaran luka dan perkelahian secara jelas, kekerasan fiksi menunjukkan kepemilikan pada dunia yang mungkin ada seperti sinetron, sedangkan kekerasan simulasi berasal dari dunia virtual seperti game online”[1]
            Game Online atau sering disebut Online Games adalah sebuah permainan (games) yang dimainkan di dalam suatu jaringan (baik LAN maupun Internet). Permainan yang berkembang di Indonesia sejak tahun 2001 ini, sangat akrab ditelinga kita. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa memainkannya.
Kekerasan simulasi kuat melekat pada game online. Pada simulasi tank yang melindas dan menghancurkan musuh, kekerasan dirasakan ketika pengendara virtual berteriak puas atau marah. Ada gairah untuk bermain, ada kegelisahan emosional yang ditularkan oleh gambar sebuah game.
Kekerasan menjadi struktur dasar permainan yang tampak pada misinya yaitu memburu, meremukkan dan memusnahkan, menjadi target utama mengapa para pemain menyukai permainan itu. Kekerasan dalam game online terletak dalam sifat manipulatifnya karena pemain tidak diberi kesempatan untuk berpikir atau merefleksikan. Permainannya terfokus pada kial dan dramaturgi. Pemain diarahkan oleh logika perilaku stimulus-reaksi, tanpa disertai refleksi karena refleksi akan memecah ritme permainan.[2]
Game online muncul dengan 0,1 manfaat dan sejuta kemudharatan. Sosoknya mempengaruhi kehidupan sosial pemainnya dalam dunia nyata yang terkadang juga mempengaruhi kejiwaan seseorang. Seperti yang dilansir ketok.com, gara-gara sebuah game, seorang pemuda di Amerika Serikat nekad menusuk temannya sendiri. Bahkan anak-anak yang kecanduan bermain game sering membolos dari sekolahnya agar bisa melanjutkan petualangannya di dunia permainan.
Tak hanya itu, game online membuat konsumennya menjadi orang yang lupa waktu dan lupa kewajiban. Shalat menjadi tertunda gara-gara nanggung nih,membaca buku kemudian ditinggalkan karena lebih seru main game, lalu belajar dan panggilan orang tuapun diabaikan.
Tak heran jika game online menduduki urutan kedua setelah televisi, yang paling diminati masyarakat Indonesia, sedangkan buku menduduki urutan ke-sekian.Kiranya benar jika UNDP menempatkan minat baca masyarakat Indonesia diurutan ke-39, dari 41 negara yang disurvei. Setiap tahun pelajar di Amerika ditugasi membaca novel sastra sebanyak 32 judul, Belanda 30 judul, Perancis 20 judul, Jerman 22 Judul, Jepang 15 judul, Kanada 13 judul, Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Thailand 5 judul, sedangkan Indonesia 0 judul.[3]
Jika masyarakat Indonesia masih keranjingan dengan game online, maka penyakit yang ditimbulkan oleh permainan yang muncul di dunia pada tahun 1960 ini akan semakin parah dan sulit disembuhkan. Mengapa? Karena game yang memiliki 5 tipe ini (First Person Shooter, Real-Time Strategy, Cross-Platform Online, Browser Games, dan Massive Multiplayer Online Games) tidak mendidik secara kognitif, tidak membina pada aspek keimanan, semangat ibadah menurun karena berlangsung dalam batas yang berlebihan, semangat kerja dan belajar jeblok, malas, tidak kreatif, egois, tidak berperasaan, bebal dalam menangkap nilai-nilai kebaikan.





[1] Dr Haryatmoko. Etika Komunikasi Yogjakarta, Kanisius. 2011. Hal. 127
[2]L.Vonach, 2003. Hal. 202
[3] Survei Taufiq Ismail

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes