MENU

Pertemuan Di Bawah Hujan


Pertemuan Di Bawah Hujan
            Dentuman air dari langit belum berhenti juga. Aku berlindung dibawah atap, seorang diri. Kampus terlihat begitu sepi, semua mahasiswa memilih menunggu hujan dalam kelas. Tapi aku tidak, aku tetap duduk santai dalam sebuah ruang tanpa dinding di tengah taman kampus. Aku hanya beralaskan lantai dan bertutupkan atap. Beberapa buah kursi bisu menemaniku. Dalam keramaian serangan air, aku coba membunuh jenuh dengan membaca sebuah novel yang selalu aku kantongi dalam tas. Hitungan detik, ada sebuah langkah yang mendekat ke arahku. Ternyata benar, sosok yang tak lagi asing dalam pandangan mahasiswa dikampus. Anak kecil dengan kuncir kuda yang membawa keranjang berisi aneka makanan. Aku sedih setiap kali bertemu dengannya, berkeliling mengitari kampus diwaktu terik ataupun mendung. Hanya demi uang receh yang ditukar oleh orang-orang dengan sebuah gorengan, kerupuk, atau buah irisan. Sekecil dia aku masih nyenyak dalam pelukan Mama. Tak sempat memikirkan cara mendapatkan uang. Aku benar-benar mengagumi adik kecil itu.
“Mbak, kok sendirian?” tanyanya
Sepertinya dia mulai mengenalku
“Iya dek, lebih asyik di tempat ini”
“O… lama juga ya mbak hujannya”
“Iya dek”
“Mbak nggak mau beli jualanku?”
“Boleh deh, kerupuk dua bungkus”
Aku sodorkan selembar uang dua ribuan
“Kembaliannya ambil saja”
“Nggak mbak, ini kembaliannya seribu. Aku jualan bukan minta-minta”
Aku tersentak kaget, dengan cengang tanganku menerima uang bergambar pahlawan Pattimura itu.
“Mbak sudah kelas berapa?” tanyanya mengalihkan pembicaraan
“Semester dek bukan kelas. Sekarang mbak semester lima”
“Masih lama kuliahnya mbak?”
“Kurang satu tahun setengah lagi”
“Aku pengen kayak teman-teman mbak, bisa kuliah”
“Mbak do’ain, semoga tercapai”
“Tapi nggak mau persis mereka”
“Kenapa dek?”
“Aku nggak pengen meniru teman-teman mbak. Suka bolos, bohong, nyontek, ngomongin dosen, dan telat”
“Adek tahu darimana?”
“Aku kan dari pulang sekolah sampe sore disini mbak. Jadi tahulah”
Aku hanya tersenyum kecut. Anak ini, kecil-kecil cabe rawit. Calon sarjanapun mampu dikalahkannya. Jika lihat teman-teman mahasiswa, tidak diberipun (kedudukan, kekuasaan, nilai, nama baik, dll) memaksa untuk mendapatkannya. Jarang mereka menolak sesuatu yang bukan haknya. Hmmm… kekagumanku pada gadis kecil dengan kulit gelap ini belum berhenti juga. Sekecil dia, sudah tahu mana yang salah dan mana yang benar. Mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari.
“Mbak, kok bengong?”
“Hmmm… lagi sedikit merenung dek. O ya, adek pengen jadi apa kalo sudah dewasa nanti?”
“Guru yang kaya raya”
“Benarkah? Kenapa?”
“Biar aku bisa belikan murid-muridku buku gratis. Bisa mengajak mereka kemana saja. Bisa belikan hadiah”
“Waw,,,hebat. Sudah tahu caranya menjadi guru yang kaya raya?”
“Iya, cari suami yang kaya atau aku mempunyai sambilan jadi pengusaha kaya”
“Keren”
“Kalau mbak?”
Aku tercengang. Aku tak sempat memikirkan cita-cita yang mulia. Aku hanya ingin lulus dan jadi PNS. Pikiranku benar-benar sempit. Aku hanya terdiam. Malu mengakui impianku sendiri.
“Kenapa mbak?”
“Nggak apa-apa. Mbak cuma punya cita-cita untuk menjadi seorang PNS”
“Mbak juga hebat”
Aku mengingkari pujian dari anak kecil dihadapanku ini. Aku sama sekali tak hebat.
“Kalau dalam waktu dekat, adek punya mimpi apa?” tanyaku padanya
“Besok masih bisa sekolah dan makan”
Jawabannya membuatku tersentak kaget. Benar-benar diluar dugaanku. Ketika aku sekecil dia dan diberi pertanyaan yang sama, mungkin jawabanku “Aku pengen punya koleksi Barbie terbaru. Aku pengen pergi ke Disney. Dan sejenisnya”
“Kalo boleh mbak tahu, adek jualan disuruh apa kemauan sendiri?”
“Kemauan sendiri mbak, kalo disuruh itu kayak yang terpaksa”
“Kenapa adek mau capek-capek jualan?”
“Buat mewujudkan mimpiku yang dalam waktu dekat”
“Makasih ya dek, buat semua ilmunya”
“Maksudnya mbak?”
“Sudahlah lupakan. O ya, hujannya sudah reda. Kamu nggak mau pulang?”
“Nggak mbak, jualannya belum habis. Nanggung, masih kurang sore”
“Tidak ada PR-kah yang harus dikerjakan?”
“PR sih ada mbak, tapi sudah dikerjakan dari kemaren”
“Goodjob”
“Artinya?”
“Pekerjaan yang baik. Ya sudah, mbak pamit dulu”
“Hati-hati mbak, jalannya licin”
“Iya dek, makasih”
            Aku pulang ke kos-kosan dengan beban yang begitu banyak. Sudah tiga ijazah aku kantongi, tapi aku tetap saja menjadi orang yang tak menghargai hidup dan waktu. Aku berhasil dikalahkan oleh seorang anak kecil yang ijazah SD saja dia masih belum punya. Begitu banyak ilmu yang aku dapatkan darinya barusan. Thanks.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes