Maaf, Aku Ingin Bersama-mu


Kami duduk berhadapan, sibuk mengaduk minuman masing-masing. Suasana café yang mulai sepi, menambah keheningan diantara kami berdua. Setahun mengenal, setahun saling sayang, setahun saling meyakini, tidak menjadi jaminan bahwa hubungan kita yang terlihat baik-baik saja akan berakhir indah di hadapan penghulu. Sama sekali tidak.

Selama ini aku begitu penasaran, kenapa orang yang awalnya menyembah cinta, seakan sehidup semati, lantas memilih berpisah. Ada alasan apa dibalik itu semua? Kenapa bisa? Namun, semuanya seakan terjawab saat aku langsung dihadapkan dengan semua realita yang tak pernah aku jamah sebelumnya.

Kami tetap bungkam. Sibuk memilih kalimat pembuka seperti apa agar tidak saling menyakiti satu sama lain. Aku yang biasanya luwes berkata-kata, mendadak kehilangan semua kosa kata dalam otakku yang berpencar entah kemana, hingga aku tak bisa menyusun apapun. Ah, malam ini sepertinya akan panjang. Detik-detik berlalu dengan sangat perlahan.

“Qia…” panggilnya

Aku hanya berani menatap matanya, mengalihkan pandangan dari meja menuju wajah teduhnya. Tanpa berani bersuara. Jika ditanya apakah aku mencintai sosok pria istimewa dihadapanku, aku sangat mencintainya, sangat sangat mencintainya. Begitupun dia, sangat mencintaiku. Namun, waktu lambat laun mengubur semua cinta itu. Waktu mampu menghapus semua kenangan manis bersamanya. Waktu yang menerangkan perbedaan cara pikir, perbedaan sikap, perbedaan karakter, dan lainnya. Waktu pula yang telah menomorduakan cinta yang selama ini kami jaga dan rawat.

Berulang kali aku merasa lelah harus setiap hari menangis karena dia, sedih karena dia, bertengkar dengan dia, menyimpan kecewa pada dia, padahal sebelumnya baik-baik saja. Waktu yang menyebabkan semuanya. Dari awal, kami tidak pernah lelah menjalani hubungan ini meski seabad lagi. Namun, hari ini kami berdua sama-sama lelah menghadapi satu sama lain, meski sedetik saja, tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana, selain dengan samar memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan baik-baik.

Aku sudah terlanjur meyakini pria ter-spesial bagiku, yang duduk dipenuhi raut kesedihan tepat dihadapanku. Namun, aku tidak ingin egois dengan membiarkannya bersamaku yang selalu membuatnya sedih dan kecewa. Mungkin karena terlalu saling mencintai, aku begitu ingin dia bahagia, dan dia begitu ingin aku bahagia. Tapi mungkin dengan tidak bersama, kami akan bahagia pada kehidupan masing-masing. Entahlah.

“Qia…” panggilnya lagi.

Aku hanya berdehem singkat, pertanda aku mendengar suara lirihnya.

“Aku tahu, selama ini kita tidak pernah mencapai titik pertengkaran sehebat ini” tuturnya perlahan.

Aku menyimaknya sembari menundukkan pandangan, sibuk memandangi gelas minumanku dengan mata berkaca-kaca.

“Sudah lebih sepekan, kita berdebat dengan gadget masing-masing. Kita tidak seperti dulu. Tidak ada lagi kata-kata baik nan romantis lagi, di telpon ataupun sms. Dan itu yang membuatmu mengeluarkan pernyataan ‘apa yang harus dipertahankan’ ‘kenapa tidak dimusyawarahkan bagaimana akhirnya’ ‘solusinya hanya terjebak pada dua pilihan, kita lanjut atau berhenti, yang keduanya sama-sama beresiko’ Aku mengerti. Sangat mengerti perasaanmu. Aku sempat memiliki pemikiran yang sama denganmu. Tapi maaf, aku ingin bersamamu. Aku ingin menua bersamamu, seperti janjiku. Meskipun kamu akan marah padaku 24 kali sehari semalam, silahkan. Aku tetap mencintaimu. Aku sudah memilihmu. Aku tidak ingin kalah melawan setan a’war yang akan berpesta pora melihat kita berpisah” ucapnya panjang lebar dengan hati-hati.

Aku tertegun, mendengarkannya dengan mata yang nyaris menangis. Ah, pria di hadapanku memang terlalu istimewa dan terlalu spesial bagiku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dia mengerti aku. Dia memahami aku.

“Aku tidak tahu rasanya memiliki perasaan yang berubah-ubah dan tidak stabil seperti perasaan yang wanita miliki. Tapi aku sudah mempelajarinya, kita sudah diciptakan dengan perbedaan masing-masing, antara kaum adam dan kaum hawa. Hormon kita, emosi kita, cara berpikir kita, secara ilmiah sudah dijelaskan. Namun, manusia terkadang lupa, sama halnya seperti aku. Dan aku yakin, kamu juga mengerti bahwa pria tidak memiliki perasaan dan cara pikir seperti yang kamu miliki. Aku ingin kamu mengerti aku dan memahami aku” sambungnya lagi.

Speechless. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa atau menanggapinya bagaimana. Yang jelas, aku semakin mengagumi dan mencintai sosok di hadapanku. Bertengkar dengannya seribu tahun lagi pun, aku mau. Detik ini dan seterusnya, aku hanya ingin bersamanya.

“Kita sudahi saja semuanya, bukan mengakhiri hubungan kita yang ada sekarang, tapi melanjutkannya dengan kualitas hubungan yang semakin baik dan semakin mulia. Kita lupakan kesalahan dan perdebatan sebelumnya. Tetap jadi diri sendiri, dengan mempertahankan hal yang baik dan belajar menghilangkan hal yang buruk. Aku akan menemani kekuranganmu dengan kelebihanku, begitupun kamu menemani kekuranganku dengan kelebihanmu. Kita saling mengisi satu sama lain. Aku yakin aku bahagia bersamamu. 11 bulan kita bisa begitu bahagia dan tersenyum bersama dan baru 1 bulan kita mulai berselisih dan bertengkar. Lantas hanya karena itu kita harus berpisah? Maaf, aku ingin bersamamu” dia berujar lagi.

Aku yang mendengarkan kalimatnya, begitu tersentuh dan nyaris terisak. Amarah, kekecewaan, kekesalan, dan semuanya seakan menguap hilang entah kemana. Kenapa kami sempat berpikir untuk mengakhiri semuanya, bukankah bersama selamanya adalah mimpi kami berdua.

“Qia…” panggilnya dengan suara parau.

“Qia, aku ingin mendengar suaramu” lanjutnya.

Aku tetap terdiam dan tertunduk. Ah, jika saja dia tidak mengingatkanku, mungkin hubungan kami sudah berakhir. Dan setan a’war sukses menjalankan misinya untuk memisahkan kami berdua. Beruntung, detik ini kami berdua bertemu. Beruntung, niat pertemuan ini berubah sejalan detik yang merenung. Beruntung, perpisahan itu tidak benar-benar kami inginkan.

“Qia?” panggilnya lagi.

“Aku mencintaimu Mas Adri. Dan maaf, aku juga ingin bersamamu” jawabku lirih.

Pria istimewa yang ku panggil Mas Adri, tersenyum bahagia. Aku pun larut dalam senyum manisnya dan turut bahagia.

“Jangan ngambek lagi” ucapnya padaku.

“Jangan marahan lagi” ucapku padanya.

“Jangan egois lagi” sambungnya.

“Jangan bohong lagi” sambungku.

Dan lantas kami tertawa bersama. Merasa lucu dengan sifat kekanakan yang kami miliki masing-masing. Semua kata sinonim perpisahan luruh dan mencair bersama Ice Coklat Oreo yang kami pesan. Tak akan ada lagi niat untuk berpisah diantara kami, meski ke depannya kami akan dihadapkan dengan ribuan pertengkaran dan perdebatan. Saling meyakini, saling mencintai, dan saling menyayangi, tak pernah cukup untuk dijadikan bekal untuk menjalin sebuah hubungan. Kuncinya hanya satu hal, ‘komitmen untuk terus bersama selamanya apapun yang terjadi.’

-THE END-

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes