Rahasia Jodoh (Kutipan Cerpen)


Sebelumnya, saat aku mengenalmu, tidak pernah terpikirkan bahwa kita akan berikrar di hadapan Allah langsung untuk mengikat janji suci sebagai pasangan suami istri. Sebelumnya, saat kita tersenyum simpul setiap berpapasan, tidak pernah menyangka bahwa hubungan kita akan berakhir indah di pelaminan. Sebelumnya, saat kamu menanyakan namaku, tidak pernah terbesit bahwa kamu lah yang akan menjadi imam hidupku, pendamping setiaku, dan penyejuk jiwaku.


Aku masih ingat betul, saat kita menjadi orang asing yang tak saling mengenal. Namun aku mengakui keberadaanmu dan kamu pun menyadari kehadiranku. Hanya sebatas menjalani rutinitas takdir yang membuat kita menimba ilmu di tempat yang sama. Tak lebih.

Sebelum kamu memasuki kehidupanku, ada banyak cerita kasih yang aku dapati untuk menjadi bagian dari skenario pribadiku. Lebih dari sepuluh kali hatiku di jodohkan. Namun ada saja halangan yang membuat proses itu berhenti di tengah jalan. Mulai dengan saudara jauh, teman dekat, kerabat sahabat, hingga orang asing yang dikenalkan oleh ustadz. Semuanya seperti iklan saja untuk hatiku, sekedar lewat.

Berkali-kali ta’aruf, berulang-ulang melakukan istikharah, bukan lelah fisik memang, namun capek mental. Karena hingga detik itu, aku tidak menemukan jawaban mulia yang ku harapkan. Waktu dan alur seakan menuntunku untuk setia menunggumu, yang kala itu masih menjadi rahasia.

***

Di ruang keluarga, selepas sholat isya, aku dan suamiku fokus pada buku masing-masing. Dengan sesekali mengobrol ringan, tidak fokus memang. Tapi entahlah, kami berdua mampu melakukannya.

“Umi…” panggilnya yang berbaring santai di pangkuanku.
“Iya abi?” sahutku sembari menutup halaman yang ku baca dan lantas menatap wajahnya yang sedikit tertutup buku.
“Nggak nyangka ya, abi bisa bareng umi. Delapan tahun berada dalam tempat yang sama tanpa saling kenal. Sekali ketemu langsung nikah. Hehehe…” ujarnya.
“He’e bi, jauh-jauh ta’aruf sama orang Aceh, Jakarta, Brunei. Eh… jodohnya malah berjarak 10 meter. Lucu ya bi kalau dipikirkan” timpalku.
“Lucu sekaligus membahagiakan. Karena terlalu lama hafal wajah umi, jadi tiap ketemu umi, abi selalu tersenyum, sadar kalau kita satu almamater dan satu lingkungan tempat tinggalnya.”

(Bersambung)

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes