Patahnya Sang Hati


“Menikah”

Begitulah kata yang aku tulis di semua sosial media yang kumiliki. Perubahan status yang membahagiakan dalam hidupku ini, jelas ingin aku ceritakan pada dunia bahwa aku telah menjadi istri dari seorang pria yang sederhana nan istimewa bernama Dimas.

Refleks bibirku tersenyum manis membaca banyak ucapan selamat dan do’a mulia dari para sahabat. Namun, tak selang beberapa lama, ada sebuah emoticon wajah menangis atas kebahagiaan yang aku rasakan. Bima yang mengirimnya, sahabat jurnalisku di majalah kampus semasa kuliah dulu. Sedikit aku memahami maksdunya, dan aku tidak ingin menggubrisnya.

Aku hanya membacanya, dan beralih pada barisan chat yang lain, yang menunggu jemariku untuk dibuka. Dan ‘tuing’, Bima kembali mengirimiku pesan.

“Statusmu membuat aku patah hati. Kamu pinter ya kalau bikin orang sedih. Aku tidak ingin mengucapkan selamat atau apapun. Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa aku patah hati”

Aku tidak ingin membalasnya, namun walau bagaimanapun Bima tetap sahabatku, yang begitu peduli dan yang mengenalkan dunia tulis menulis padaku. Akhirnya aku menjawabnya dengan kalimat singkat agar tidak ada kesalahpahaman di antara kami.

“Maaf Bim, kesalahan bukan terletak pada siapapun”

Aku sedikit memikirkan kalimat Bima, dan mempertanyakan kenapa selalu wanita yang disalahkan atas ke-patah-hati-an pria? Bukankah hati menjadi urusan hati, yang tidak bisa diatur layaknya tukang parkir mengatur mobil. Aku masih mengenggam smartphone-ku, sembari berpikir dan menikmati suara Dimas yang sedang asyik bernyanyi sendiri di kamar mandi. Dan Bima mengirim pesan lagi.

“Berarti bukan salahku juga. Ini hatiku yang hanya bisa melihat hatimu, tanpa tombol on/off. Aku bukan orang munafik yang akan mengatakan aku bahagia jika kamu bahagia. Aku sedih dan duniaku seakan berakhir melihatmu bahagia bersama oranglain, bukan denganku. Sakit, sesak, marah, kecewa, kurang lebih begitulah definisinya. Lantas aku harus apa? Tersenyum? Sangat tidak bisa aku lakukan. Berhenti kecewa? Andai aku bisa mengaturnya. Andai”

Setelah membaca pesan Bima, aku beranjak dari tempat tidur, membawa serta smartphoneku dan menunggu Dimas tepat di depan pintu kamar mandi. Aku tidak bisa membalasnya lagi, aku bukan yang dulu lagi. Aku sudah memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda. Dimas adalah kepala rumah tanggaku, imamku, pendampingku, dan ayah dari anak-anakku. Kepada Dimas-lah semua curahan dan curhatanku bermuara. Semua gerak-gerikku pun harus atas seijinnya.

Lima menit kemudian Dimas terlihat keluar dari kamar mandi dengan wajah segarnya, aku menghampiri seraya mencecarinya dengan banyak kata.

“Abi, umi dapet pesan kayak gini, abi jangan marah ya, tapi serius umi cuma bales sekali. Umi nggak mau bales lagi. Abi aja yang bales. Bima yang ngirim bi” ujarku.

Dimas yang juga mengenal Bima otomatis meraih smartphoneku dan membacanya. Dia hanya tersenyum simpul.

“Jangan dipikirkan mi, fans memang begitu. Ada yang jadi ‘lovers’ pada hubungan kita namun juga ada ‘haters’nya. Yang penting abi milik umi, umi milik abi. Titik. Kita bareng-bareng cari ridho Allah” ucap Dimas bijak dan lantas mengecup keningku.

Ah iya, kenapa juga aku harus memikirkannya, buang-buang tenaga saja. Apapun yang manusia lakukan, apapun yang manusia pilih pasti ada oranglain yang akan membenci dan mengkritik. Begitulah ke-hi-du-pan. Yang penting sekarang adalah fokus pada orang-orang yang ada di samping kita, di sekitar kita, yang begitu peduli dan menyayangi kita. Titik.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes