Will You Marry Me? (Cerpen)


Hiruk pikuk kota Surabaya membuat pikiranku makin kacau. Jalanan yang dipenuhi kendaraan, cuaca yang terik menyengat, dan narasumber yang membuatku menunggu berjam-jam. Ah, ingin rasanya merebahkan diri di kamar kosku tercinta, dengan kipas menyala dan segelas jus yang menyegarkan. Tapi rasanya tidak mungkin, keberanianku tidak setebal itu untuk kembali ke kantor tanpa hasil apapun. Sungguh, menjadi seorang jurnalis bukanlah perkara mudah. Meski pada awalnya aku begitu mencintai pekerjaan ini dan begitu menginginkannya.

Aku yang duduk beramai-ramai dengan jurnalis lainnya, dengan sabar menunggu sang narasumber. Lelah sudah mengobrol dengan rekan-rekan wartawan dalam hitungan jam, perbincangan kami tak pernah berakhir meski kehabisan tema. Begitulah yang aku lakukan setiap hari, memburu berita dan narasumber. Sebagai seorang jurnalis bidang politik, berurusan dengan para pejabat, menunggu lesehan di depan kantor orang lain, lari sana-sini bukanlah hal asing lagi sejak tiga tahun lalu.
“Zaskia !” panggil seseorang.
Aku yang memiliki nama otomatis menoleh ke arah panggilan. Dan benar saja, suara serak itu milik Cesa, sahabatku. Karena terlalu sering berada di lapangan yang sama dengannya, kami akhirnya menjadi terlalu akrab hingga sekarang. Dimana ada aku, disitu ada Cesa, begitupun sebaliknya.
“Sini” perintahnya seraya menunjuk tempat duduk di sampingnya.
Aku manut saja, berjalan ke arah Cesa, meninggalkan kerumunan wartawan yang tetap mengobrol panjang lebar dengan kelompok masing-masing.
“Apaan sih ces?” tanyaku begitu berada disampingnya.“Yah nggak ada, di sini aja. Di sana rame, apalagi ada Jhoni” jawabnya dengan wajah mengkerut.
Ah, Jhoni lagi dan lagi menjadi alasan bagi Cesa. Padahal mereka pernah bersama dalam hubungan special, tapi entah kenapa setahun yang lalu mereka bertengkar dan menganggap tidak saling mengenal hingga sekarang. Memang susah memiliki ‘mantan’, begitu kata Cesa. Namun aku merasa beruntung tak bernasib sama dengannya, karena tidak ada mantan dalam kehidupanku.
“Kamu nih telat banget, kita udah berjam-jam nunggu, eh malah baru datang. Enak banget” protesku kesal.“Lagi ada urusan di kantor, titip nunggu aja protes”
Aku diam saja mendengar pembelannya.
“Zas, Zas, lihat deh si Wijaya. Tuh yang pake kaos merah” ucap Cesa tiba-tiba seraya meyikut lenganku, dan menunjuk sosok yang berada jauh di hadapan kami. “Kenapa?” tanyaku datar.“Dia lho yang aku ceritain kemaren. Wartawan paling manis yang minta pin BBMmu. Gimana? Lebih keren aslinya kan daripada di foto” Cesa mulai mengoceh.“Oh dia, kayaknya sama aja deh. Lha, Ces kamu kan tahu kalau aku deket sama Irwan, kamu kan juga paham kalau aku ta’arufan sama Irwan” heranku.“Oh iya ya. Tapi kan kamu hanya temenan sama Irwan. Salah Wijaya juga, kemaren dia tanya nya kamu single apa nggak, aku jawab aja iya, masak aku jawab kamu double. Terus dia minta pin BBMmu. Nah lho, yang salah siapa coba?” Cesa membela diri.
Aku hanya bisa menghela nafas mendengar alasan masuk akalnya.
“Coba deh Zas, kamu tempelin stiker di dahimu tuh, ‘sedang ta’aruf’ biar semua orang jadi tahu. Dan bukan aku terus yang disalahkan” ujar Cesa.
Aku tidak berminat mengomentari ucapan Cesa. Bukan hanya menjadi seorang jurnalis yang tidak mudah, menjadi seorang wanita pun demikian. Menjadi jurnalis, aku harus mengejar banyak orang, dan mengajukan banyak pertanyaan. Berlari, berjalan, dengan rasa ingin tahu yang menumpuk dan dengan tanya yang menggunung. Tapi, menjadi seorang wanita, cukup diam, dan menerima banyak pertanyaan dari banyak orang. Zas, masih single? Zas, kenalan dengan sepupuku ya? Zas, boleh aku menemui Mama-mu? Zas, terima dia ya? Zas, bagaimana dengan suratku? Zas, kapan nyusul? Zas, Zas, Zas.
“Woooi, kok malah bengong” suara Cesa menyadarkanku dari lamunan.“Apaan sih Ces, bikin kaget aja” aku mulai sewot.“Yah, maaf. Kamu sih bengong. Mikirin Irwan?”“Nggak”“Terus? Oh iya, emangnya sejak satu sekolah kalian saling suka?”“Nggak. Kenapa? Kepo banget”“Ceritain dong, sambil bunuh jenuh nih. Bosen nungguin tuh orang” rengek Cesa dengan intonasi manja khasnya. 
“Ya udah aku ceritain. Jadi gini ceritanya, Irwan dulu kakak kelasku, dia orangnya baik. Dia terlihat beda aja, dia sederhana juga, nggak aneh-aneh. Jarang sih ketemu sama dia. Dan saat itu, dia udah punya cewek. Aku cuma sekedar tahu aja. Karena banyak temen-temenku yang ngomongin dia. Dibilang suka ya nggak, dibilang benci juga nggak. Yah biasa aja. Dan setelah itu, aku nggak tahu persisnya kapan serta kenapa aku mulai menyukainya. Tapi kalau boleh memprediksi, sepertinya aku dulu yang suka sama dia. Dan beberapa tahun kemudian setelah lulus sekolah, kami baru kenal. Gitu. Aneh kan?” jelasku.
“Sangat aneh. Dan yang lebih aneh lagi, kalian begitu setianya padahal cuma temen. Jhoni aja yang punya gue masih sempet selingkuh” 
“Itu tentang komitmen Ces, udah tahu komitmennya Jhoni ‘selingkuh sampai mati’, masih aja diterima. Prinsipku sih, satu waktu yah satu teman dekat. Meski cuma teman, tapi kan sudah ada perjanjian sebelumnya. Bahwa bukan hanya sekedar tahu dan kenal, tapi lebih serius mengenal satu sama lain dalam ikatan ta’aruf untuk ke depannya bagaimana. Begitu. Nggak mungkin lah aku dekat sama dia terus juga dekat sama oranglain. Kecuali, kalau aku ‘selesai’ sama dia, baru mikirin oranglain” jelasku. 
“Mau sampai kapan? Kayaknya udah lama kalian kayak gini, nggak ada kemajuan. Kayak aku dong, berani jadian berani memutuskan” Cesa bertanya dengan wajah tak berdosa. 
“Contoh buruk tuh namanya. Aku sih nggak tahu sampai kapan, tapi yang jelas sampai Irwan yakin sama aku. Kita kan manusia, nggak bisa lah maksain oranglain buat yakin sama kita meski kita sudah meyakininya lebih dulu” jawabku bijak. 
“Inget nggak kata mbak Novi?” tanya Cesa dengan nada setengah mengejek.
Ah iya. Mbak Novi, wartawan senior yang beralih dari dunia berita ke dunia fiksi. Beberapa waktu yang lalu, aku dan Cesa menemuinya. Dan apa yang beliau katakan tentang menunggu memang benar adanya. Sebagai seorang jurnalis, menunggu merupakan pekerjaan yang harus siap dihadapi. Menurut beliau, ketika seseorang membuat kita menunggu itu artinya ada hal lain yang lebih penting baginya daripada kita. Pun sama ketika kita membuat oranglain menunggu, itu berarti ada hal lain yang lebih penting yang kita pilih daripada orang yang sedang menunggu kita. Kuncinya untuk para jurnalis, bagaimana caranya untuk membuat diri kita ‘penting’ bagi sang narasumber. Jadi, tidak ada kata menunggu pada akhirnya.
“Tapi aku nggak merasa sedang menunggu Irwan ataupun membuat Irwan menungguku” protesku pada opininya.
Cesa hanya tersenyum, pertanda tak percaya dengan ucapan sahabatnya sendiri. Aku biarkan saja dia bebas memamerkan deretan gigi putihnya disiang bolong. Tapi, ada benarnya juga si Cesa. Mungkin ada sesuatu hal yang lebih penting bagi Irwan, pikirku.
“Terus target kalian apa dan kapan? Nikah kek, selesai kek, putus atau apalah. Kayak aku dong, meski jomblo tapi target nikahku tahun depan” Cesa mulai kumat dengan penyakit kepo akutnya.
“Cesa sayang, menikah itu ibadah. Berbeda dengan sholat, yang memiliki waktunya sendiri, jika dikerjakan diluar waktunya maka berdosalah kita. Tapi menikah nggak demikian. Kalau aku harus menjawab waktunya kapan, ya bisa hari ini, besok, bulan depan, tahun depan, atau kapanpun. Tergantung kapan Allah memberi jodohnya. Jadi, aku nggak seperti kamu yah, pakai target-targetan” jelasku dengan nada yang dibuat-buat.
“Terus, kenapa kamu masih sama Irwan meski ada ini?” tanya Cesa sembari mengutak-atik smartphonenya, entah apa yang ia cari.
Sedetik kemudian, dia menunjukkan sebuah animasi 3D yang bertuliskan ‘Will You Marry Me?’. Animasi itu membuatku tidak bisa berkata-kata. Kenapa Cesa masih menyimpannya. Dengan jelas aku mengingatnya. Beberapa waktu lalu, tiba-tiba aku terjebak dengan satu narasumber. Setelah mewawancarainya, aku dimarahi panjang lebar atas kesalahan yang tidak aku perbuat. Merasa heran, baru bertemu tapi sudah tidak sopan, aku hanya bisa diam sembari menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan. Ditengah hatiku yang membara marah, tiba-tiba handphone berdering, dan muncullah tulisan tersebut bersamaan dengan kemunculan atasanku dan juga Cesa. Ah, ini ternyata ulah atasanku, atau lebih tepatnya ‘usaha lamaran’ atasanku. Kenapa bisa? Aku sibuk bertanya-tanya dalam hati. Padahal hari sebelumnya aku masih dimarahi karena kesalahanku menulis gelar narasumber. Dan ternyata, hanya ada satu alasan, Cesa. Satu kata “maaf” dariku menjawab semuanya. Entah apa yang terjadi selanjutnya di ruangan tersebut, aku beranjak keluar.
“Kenapa kamu masih menyimpannya Ces? Tentang tragedi itu, cukup kamu yang tahu, jangan sampai orang kantor tahu apalagi Irwan” pintaku dengan wajah sendu. 
“Kamu nggak cerita sama Irwan?” tanya Cesa heran. 
“Itu tragedi nggak penting banget. Jadi, nggak penting buat Irwan tahu juga” 
“Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi punya hubungan tidak mengenakkan dengan Pak Bos. Serius nih, aku nggak tak terlalu paham hubunganmu dengan Irwan waktu itu. Jadi aku meyakinkan Pak Bos buat melamarmu waktu dia minta saran sama aku” sesal Cesa.
Kami terdiam sejenak, sama-sama menghela nafas. Menerawang pikiran masing-masing. Dan entah apa yang dipikirkan Cesa. Jhoni yang tepat berada di hadapannya atau proses penantian narasumber yang tidak pernah berakhir disiang ini. Dan tentang hal yang aku pikirkan, tentu Irwan dan Pak Bos. Kalimat tanya ‘will you marry me?’ mungkin terlihat sederhana. Tapi aku yakin, butuh keberanian ekstra bagi seseorang untuk mengucapkan atau menyatakannya. Karena akan ada komitmen yang lebih besar dan keyakinan yang lebih besar pula. Sebenarnya hanya ada satu alasan bagi seorang wanita untuk mengatakan ‘iya’ atas pertanyaan tersebut, yaitu sebuah keyakinan.

Beberapa saat setelah kami berdua sama-sama terdiam, terlihat para wartawan berebut memasuki kantor yang sudah kami tunggui sejak dua jam yang lalu, sepertinya orang yang kami tunggu sedari tadi sudah menampakkan batang hidungnya. Alhasil, aku pun menggamit tangan Cesa dan berlari kearah kerumunan manusia. Kembali bekerja, kembali bertanya, dan kembali menulis berita.
***

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes