Surat-surat Atiya (Rindu Tak Sampai)


#1
Aku merindukanmu, layaknya muslim merindukan ramadhan
Aku merindukanmu, layaknya pelajar merindukan liburan
Aku merindukanmu, layaknya perantau merindukan kampung halaman
Rindu, rindu, dan rindu
Namun, aku hanya bisa memendamnya dari waktu ke waktu. Takut sekali, rindu ini mengkeruhkan nurani. Takut sekali, rindu ini memburamkan hati. Begitu sulit bagiku untuk menahan rindu, karena semakin aku tepis, rindu itu semakin muncul, ratusan kali lipat lebih dalam dari sebelumnya. Tapi aku berusaha untuk menutupnya rapat-rapat, hingga setan pun tak mampu mengendusnya. Meski aku harus menikam hatiku setiap detik karena merindukanmu.
Jujur, meski sesulit ini merindukanmu, aku tak akan pernah menyerah untuk menyimpannya. Tak pernah terbesit dalam pikiranku jika hari esokku tanpa merindukanmu. Yang ada hanya, kemarin aku merindukanmu, hari ini aku merindukanmu, dan esokpun aku akan merindukanmu. Karena apa lagi yang bisa kuperbuat selain merindukan dan mendo’akanmu? Tak ada.
Maka saat merindukan sosokmu dalam segala hal yang aku lakukan, cukup bagiku memejamkan mata, dan melihat senyummu penuh bangga dalam pikiranku. Melakukan yang terbaik, itulah senyum balasanku untukmu. Dan bagiku, merindukanmu bukan lagi seperti jadwal meminum obat, sehari tiga kali. Bukan. Tapi bagiku, merindukanmu disetiap detik yang aku miliki dan disetiap tarikan nafas yang aku punya.
Aku merindukanmu, Ayah.
#2
Apa kabar ayah disana? Semoga baik-baik saja, itulah yang menjadi lirik dari do’a-do’a panjangku, semoga ayah mendapat tempat terbaik di sisiNya…
Sudah lebih dari 11 tahun ya ayah meninggalkan kami semua, tidak terasa aku merindukan ayah selama itu. Ayah adalah seseorang yang kucinta selama hidupku. Hidup tanpa ayah seperti berjalan dengan satu kaki. Tapi tenang saja yah, aku tidak akan mengeluh. Aku ikhlas dengan kepergian ayah. Beginilah takdir seharusnya berjalan, dan inilah yang terbaik. Bukankah begitu yah? Tapi tetap saja, kenanganku atas ayah tidak bisa pudar begitu saja. Terutama tentang pahit dan manis kehidupan. Sejak kecil ayah meng-anak emaskan aku, kenapa yah? Karena aku putri bungsu kah? Ayah selalu mengambil bagian yang tidak ‘enak’ menurutku, apapun itu. Aku sudah terbiasa dengan hidup yang manis, namun saat ayah pergi, aku belajar menelan keduanya. Masih ingatkah ayah, setiap kali aku memakan telur, aku sisihkan bagian putihnya dan ayah memakannya, karena yang aku suka bagian kuningnya saja. Dan setiap ayah memakan telur, ayah tak pernah memakan bagian kuningnya dan memberikannya padaku, karena ayah tahu itu yang aku suka. Begitupun dengan kue pastel yang kita makan yah… bagian tepi kue adalah bagian ayah dan bagian tengah kue adalah bagianku. Ah ayah, bernostalgia begini membuat rinduku memuncak saja.
Hingga detik ini, nama ayah masih terukir jelas di hati ibu, tak pernah pudar sedikit pun. Saat ini, ibu dalam keadaan sehat walafiat. Sepeninggal ayah, ibu tidak pernah lelah mengajariku banyak hal, bagaimana seorang wanita harus menjalani kehidupannya, bagaimana menuntut ilmu, bagaimana sikap sebagai seorang anak, dan masih banyak lagi tentang segalanya yang belum sempat ayah ajarkan dan tanamkan padaku, beruntung ada ibu ya yah. Makasih ya yah, sudah menghadiahkan ibu sehebat beliau.
Ayah tidak perlu khawatir atas apapun. Meski bagiku hidup tanpa ayah seperti berjalan dengan satu kaki, begitu sulit. Tapi ayah tidak perlu cemas, meski hanya dengan satu kaki, aku masih beruntung memiliki ribuan sayap. Ayah yang tenang ya disana. Ada banyak orang yang membantu dan menjagaku, yaitu yang menjadi sayap-sayapku hingga aku tidak tertatih lagi berjalan di muka bumi ini.
Meski raga ayah tidak menjagaku lagi, tapi amanah ayah aku simpan dalam hati dan menjagaku 24 jam tanpa henti. Aku akan selalu merindukan ayah dan mencintai ayah. Terima kasih ayah untuk nama indah yang ayah hadiahkan untukku (Atiyatul Mawaddah: Pemberian Yang Membahagiakan). Terima kasih ayah untuk setiap detik kebaikan ayah selama hidupku. Dan maaf atas segalanya. Meski aku tahu bahwa ayah akan memaafkanku sebelum aku melakukan kesalahan itu sendiri, tapi aku tetap minta maaf pada ayah.
#3
Dalam rinduku, dalam pejaman mataku, ada ayah. Dan terciptalah kata-kata indah tentang ayah.
Kala surya masih nyenyak tenggelam
Ayah sudah terjaga di akhir sepertiga malam
Melawan rayuan indah setan
Dan berkawan dengan dinginnya malam
Menengadahkan tangan
Merangkai do’a untukku, putrinya tercinta
Saat sinar mentari memanjakan bumi
Ayah pergi menjemput rizki
Meninggalkan anak dan istri
Demi kewajiban bernama ‘menafkahi’
Sekali lagi, itu demi aku, putrinya tercinta
Dan ketika senja datang menyapa dunia
Ayah yang lelah tetap mengejakan cerita
Merangkulku dipenuhi canda
Mengajariku tentang kawan A Ba Tsa
Dan itu hanya untukku, putrinya tercinta
Ayah yang pertama kali mengantarkan tauhid dalam hidupku
Dengan lantunan adzan saat mataku terbuka untuk pertama kalinya
Ayah pula yang dengan bangga menggendongku
Saat aku tidak tahu bagaimana cara menapaki dunia
Dan ayah juga yang menyanjungku penuh haru
Disetiap hal yang pernah aku lakukan untuknya
Ayah
Dimana ibu temukan pria sehebat ayah, imam sebaik ayah, dan ayah sesempurna ayah?


Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes