Home cersing Mr. Simple (Cersing)
Mr. Simple (Cersing)
Atiya Fauzan August 05, 2015 0
Kara terdengar tidak percaya saat aku memperhatikan, menceritakan, dan mengamati Wildan. Siang itu, di kantin sekolah, aku menyenggol siku Kara saat Wildan melintas di hadapan kami. Kara mendengus kesal. Wajahnya masam pertanda tidak merestui jika aku menyukai kakak kelas terbaik tersebut.
“Tidak bisakah selain Wildan?” tanyanya berbisik sembari mencari tempat untuk duduk.
Aku hanya mengikuti langkah disampingnya.
“Tidak bisakah kamu menyukai Kimia?” tanyaku balik.
Kara terdiam, tidak menjawab pertanyaanku. Mulutnya terkunci rapat jika aku menyebut mata pelajaran yang dianggap lebih dari musuh baginya tersebut. Dan hal lain yang membuatnya terdiam, mungkin dia menyadari bahwa antara ‘suka’ dan ‘benci’ itu masalah hati, ditetapkan oleh hati, dikeluarkan oleh hati, serta dikerjakan oleh hati. Setampan apapun guru Kimia, Kara tetap teguh untuk membencinya. Begitupun dengan aku, seaneh apapun Wildan di mata Kara, aku tetap menyukainya.
“Kamu itu Mrs.Drama, penggila fiksi, makananmu novel dan film, dan kamu tahu Wildan seperti apa? Aku satu klub dengannya. Dia sangat realistis dan juga aneh” Kara mengoceh disuapan pertama baksonya.
“Tak bisakah kamu panggil Kak Wildan? Dia kakak kelas kita” aku sedikit membela.
“Oke, Kak Wildan. Puas?” matanya membelalak.
Tapi aku tahu Kara tidak sedang marah padaku, dia kesal dengan sahabat keras kepala sepertiku yang tidak mau menuruti kemauan hatinya. Itu saja. Mau seperti apapun ekspresi dan kalimatnya, aku akan menerimanya.
“Dia berbeda Kar. Mungkin karena dia berbeda, aku jadi semakin menyukainya” balasku dengan senyuman.
Kara hanya mengerutkan kening. Kami yang duduk berhadapan di hiruk pikuk kantin, berusaha mengobrol dengan tenang, agar rahasia hatiku untuk Wildan tetap menjadi rahasia.
“Kara, kamu tahu kan bagaimana aktor dalam film atau tokoh utama dalam novel? Semua pria di dunia ini seperti itu. Tapi Kak Wildan berbeda. Kamu ingat Bowo? Pria lebay yang mencoba mendekatiku waktu MOS. Setiap hari aku mendapatkan bekal makan siang darinya, dan dia juga yang melakukan piket harianku. Murahan bukan? Aku sudah mengahafalnya” jelasku.
Kara terlihat tidak senang atas deskripsiku pada Bowo, siswa paling so sweet di matanya. Padahal, sebenarnya biasa saja. Dia terlalu memfiksikan kenyataan. Topeng. Palsu. Ah, tapi sahabatku tidak mampu melihatnya.
“Lalu Kak Wildan-mu bisa melakukan hal yang lebih keren dari itu?” Kara mulai dengan senyuman khasnya, sinis manis.
“Dia terkadang perhatian dan terkadang tidak peduli. Padahal aku tahu kalau dia sedang mencoba mendekatiku. Tapi dia bersikap biasa saja, dia hidup seperti tanpa skenario. Dia kebalikan dari Bowo. Sederhana”
“Stop” Kara menyuruhku diam.
Aku berhenti dari aktifitas makan siangku. Dan Kara melanjutkan kalimatnya,
“Sederhana? Jadi kamu tidak suka dengan kelebayan Bowo? Bukankah kamu senyum-senyum sendiri dengan tragedi gombalan ‘keturunan Jawa’ di depan kelas?”
Ah, iya aku ingat maksud Kara, tragedi ketika kami masih duduk di kelas sepuluh. Saat pergantian jam pelajaran, aku mencoba menghapus tulisan di papan sebelum guru masuk. Dan ketika itu Bowo menghampiriku ke depan, menanyakan sesuatu yang aku tidak mengerti pada awalnya. Masih dengan jelas aku ingat pertanyaannya, “kamu keturunan apa?” Dengan polosnya saat itu aku menjawab, “Jawa-Madura. Kenapa?” Semua teman yang duduk di kursi masing-masing mulai memperhatikan kami berdua. Bowo membalasnya dengan kalimat “tanya aku balik dong.” Aku pun menurutinya, “kalau kamu keturunan apa?” Bowo menjawab dengan satu kata, “Jawa.” Karena penasaran aku menanyakannya kembali, “Jawa apa? Jawa-Sunda, Jawa-Batak, atau Jawa apa?” Dengan serius Bowo menjawabnya dengan kalimat yang seisi kelas tidak akan pernah lupa, “jawa-ban atas do’a-do’amu selama ini.” Sontak seisi kelas riuh dengan sahutan panjang ‘Cie…’. Mendengar kalimat Bowo aku memang tersenyum manis dan terlihat bahagia mungkin, tapi bukan karena tersentuh seperti yang Kara prediksi, tapi karena lucu. Yah, lucu. Bagiku kalimat Bowo terdengar lucu, tidak lebih. Tapi kehadiran guru saat itu, tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa-apa, kecuali diam dalam senyuman.
***
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment