Home cerpen Who Is He? (Cerpen)
Who Is He? (Cerpen)
Atiya Fauzan July 07, 2015 0
“Siapa dia nak?” tanya Mama-ku diwaktu santai menjelang tidur.
Aku yang terbaring di sampingnya, hanya mengutus sebuah senyuman mendarat di bibirku. Berarti tidak berkenan menjawabnya.
“Siapa? Kamu tidak percaya pada Mama?” sekali lagi, malaikat terlihatku bertanya dan langsung menatap wajahku yang mengarah padanya.
“Masih rahasia Ma” jawabku disertai senyum nakal, menggoda Mama.
“Jangan macam-macam lho ya” nasehat Mama seraya menarik hidungku.
Aku meringis, pura-pura kesakitan dan berujar,
“Mama tidak percaya padaku?” Aku bertanya balik.
Mama membelai rambutku tanpa menjawabnya. Aku tahu, Mama mengkhawatirkanku. Aku tahu, Mama begitu mencemaskanku. Dan aku tahu, Mama sangat mempercayaiku. Namun, untuk saat ini, aku tidak ingin memberitahukan nama Fathan pada Mama. Bukan karena aku tidak percaya, atau bukan karena aku tidak berani. Hanya saja, belum saatnya. Biarlah Mama tahu sekilas tentang Fathan, bukan semuanya. Jika saatnya tepat, akan aku ceritakan segalanya pada Mama. Cerita tentang sesosok manusia bernama Fathan, pria yang mampu membuatku merasakan anugerah terindah, ‘cinta’.
“Baiklah Fathin anakku sayang, setidaknya beri Mama cerita tambahan. Tidak mengapa jika Mama tidak tahu namanya. Toh dunia belum berakhir kan?” Mama-ku memang ibu tergokil yang pernah ada.
“Apa lagi ya Ma? Dia baik, dia pria sederhana, dia penuh rasa tanggung jawab, dia sangat mencintai Ibu-nya, dan apa ya?” jawabku sekaligus bertanya.
“Itu Mama sudah tahu. Cerita tambahan bukan cerita ulang” Mama protes.
“Semisal?” Aku mengerutkan dahi.
“Dimana kalian bertemu, mengenal, dan kenapa kamu yakin Mama tidak perlu mengkhawatirkanmu. Sebaik itukah dia? Di mata Mama, kamu tetap putri kecil Mama yang akan Mama cemaskan 24 jam. Jadi, jangan katakan pada Mama untuk tidak mencemaskanmu” ujar Mama dengan wajah serius menatap mataku langsung.
“Dia seniorku Ma. Dan sudah sewajarnya kami bertemu dan saling mengenal. Bukankah Mama yang bercerita padaku tentang keyakinan hati Mama pada Papa? Mama tidak pernah bisa menjelaskan pada Kakek ketika ditanya. Karena bagi Mama, tidak ada kata-kata yang mampu mewakili kata hati dan keyakinan hati. Mama hanya merasakan, dan melakukannya. Bukankah dulu Papa dimata Kakek bukan siapa-siapa, dan kini Papa menjadi menantu special Kakek. Karena apa? Karena keyakinan Mama. Tanpa penjelasan pada Kakek, tapi Mama meminta langsung pada Sang Pencipta. Yang membuat semuanya ada, termasuk Kakek” jelasku dengan hati-hati.
Mama tersenyum dan memelukku hangat.
***
“Siapa dia, Fathin?” tanya Aryo, kawan lamaku.
Kami bertemu kembali setelah setahun lamanya tidak saling jumpa. Bukan memutus tali pertemanan, meski Aryo tinggal jauh di kota besar, dia tetap rutin memberi kabar, sharing tentang isu-isu politik, diskusi tentang agama, dan lainnya. Dia tetap kawanku, meski Aryo menginginkan lebih dari kawan. Dia tetap kawanku, meski pada akhirnya Aryo membenci dan menyalahkanku. Dia tetap kawanku, meski sama ataupun berbeda perasaannya terhadapku.
“Bukan siapa-siapa” jawabku singkat.
Aku hanya menatap gelas yang berada di meja diantara kami berempat. Ya, siang itu Aryo mengajak kedua adik sepupunya untuk menemuiku di sebuah cafe modern klasik.
“Aku jauh-jauh kesini bukan untuk mendengar diam-mu” balas Aryo.
“Baik, silahkan ajukan pertanyaan, aku akan menjawabnya semampuku. Aku tidak pernah menyuruhmu kesini, aku hanya tidak ingin ada kesalahpahaman diantara kita.” Aku mulai kesal dengan sikap tidak sopan Aryo, yang tidak menghargai diam-ku.
“Siapa dia? Putra kyai mana? Hafal berapa juz?” tanya Aryo dengan wajah serius.
Aku jengah dengan sikap sombongnya, kalau saja aku tidak menghargainya sebagai kawan, sudah aku tinggalkan ia bersama sepupu-sepupu yang menyimak pembicaraan kami.
“Sudah aku katakan, dia bukan siapa-siapa. Dia pria sederhana, dia putra dari seorang ayah yang begitu hebat. Meski ayahnya seorang buruh, namun beliau lebih hebat dari seorang kyai sekalipun, karena mampu mendidik anaknya hingga memiliki akhlaq yang mulia, bahasa tutur yang mulia, dan hati yang mulia. Apa adanya dia, sudah menyempurnakan hidupku. Dan aku tidak tahu ada berapa ayat yang tersimpan di hatinya, yang aku tahu, semakin waktu dia semakin melukiskan dan mencerminkan apa yang ada di dalam Al Qur’an” jawabku panjang lebar.
“…” Aryo terbungkam.
“…” Aku juga terbungkam sembari mengaduk es krim yang mulai mencair.
“Kalian masih berteman kan?” tanya Aryo tiba-tiba ditengah keheningan.
“Iya, kami berteman baik” jawabku.
Aryo tersenyum, dan lantas menyeruput coklat dingin di hadapannya. Ya, aku dan Fathan memang berteman baik, sangat baik.
“Komitmen apa yang kamu buat, Fathin?” Aryo bertanya kembali.
“Kami berteman baik, tidak lebih. Meski tahu perasaan masing-masing, kami saling menjaga. Dan jika ditengah perjalanan pertemanan, ternyata salah satu diantara kami atau bahkan kami berdua bertemu dengan jodoh masing-masing, maka tidak mengapa, let it go. Semua sudah dipasrahkan dan menjadi takdirNya” Aku menjelaskan dengan penuh kehati-hatian, khawatir menimbulkan fitnah.
“Baiklah, aku sudah mengiranya. Terima kasih sudah berkenan menemuiku, maaf jika ada kesalahan atas ucapanku. Aku belajar banyak darimu, terima kasih Fathin. Tidak ada nasehat untukku yang nyaris terluka? Bukankah kamu murid tunggal Mario Teguh” seloroh Aryo disertai mimik canda.
Aku membalas joke Aryo dengan senyum singkat. Aku bersyukur tidak ada fitnah, kemarahan, dan kesalahpahaman dari pertemuan ini.
“Seberapapun besarnya kamu mencintaiku, jika kita tidak berjodoh, maka tidak akan terjadi apa-apa. Dan setertutup apapun hatiku untukmu, jika kita berjodoh, maka kita akan bersama selamanya. Sederhana bukan? Jadi jangan salahkan siapapun, cerita masing-masing manusia adalah skenario terbaik dari Sang Maha Pencipta” nasehatku sok bijak disertai gesture ala motivator.
Aryo tertawa, begitu pun dengan kedua sepupunya. Alhamdulillah, suasana mencair, suasana formal diantara kami dan sikap formalku musnah sudah. Kembali seperti semula, normal dan gokil.
***
“Who is he?” tanya Indah, sahabatku.
“Who?” aku balik tanya.
Kami berdua sudah bertahun-tahun lamanya tinggal dalam satu kamar. Indah adalah orang yang paling memahami dan mengerti tentang diriku. Gayaku berpikir, perubahan jam makanku, caraku meletakkan buku, berapa lama aku menggosok gigi, dan setiap detail kebiasaanku sudah dihafalnya. Itu berarti, aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya, dugaannya lebih tajam dari Shinichi Kudo sekalipun.
“Ehem” Indah hanya membalasku dengan batuk kecil.
“Okay fine. I am going to tell you. His name is Fathan and so what?” jelasku singkat.
“Fathan? Are you serious? I know him” ucap Indah sembari membelalakkan matanya, pertanda kaget.
Aku tahu Indah mengenal Fathan, bahkan lebih mengenalnya daripada aku. Lebih sering bertemu dengannya daripada aku. Dan lebih tahu tentangnya daripada aku.
“Fathan and Fathin? It’s so unique” Indah tetap berkomentar dengan bahasa Inggris khas-nya.
“Opo ae toh Ndah” balasku dengan bahasa Jawa
“Tenan ki? Kok iso seh? Piye ceritane?” Indah mulai kepo.
Aku terdiam tanpa menjawabnya, dan tetap kembali pada aktifitas awalku, yakni melukis. Indah yang sedang menghadap laptop, sudah berhenti menatap layar sejak aku menyebut nama Fathan. Dia menunggu jawabanku. Aku bungkam, jika meladeni Indah, bisa sehari semalam aku harus bercerita di hadapannya, menjawab ribuan pertanyaan cadangan yang tersimpan di kepalanya.
“Fathin?” panggil Indah.
Meski kamar kami cukup luas, tapi tetap saja selirih apapun suara itu pasti akan terdengar. Namun aku berusaha pura-pura tidak mendengarnya. Dan tetap terdiam tanpa kata. Sedetik kemudian Indah menyerbuku dengan lemparan bantal, guling, boneka, dan gulungan selimut untuk membuyarkan konsentrasi melukisku agar meladeni ke-kepo-annya. Aku hanya bisa meringis dan lantas tertawa, menggoda Indah supaya lebih penasaran atas ceritaku tentang Fathan.
***
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment