Saya Jomblo, Apakah Bisa Bahagia Bu?


            Siang, perjalanan pulang dari sekolah ke pondok. Dimulai dengan jalanan setapak dari SMKN4 menuju PEMKAB lalu ke HALTE bersama Bu Wahyu. Perjalanan itu otomatis melewati sisi panjang alun-alun Jember. Dan kalian tahu apa? Aku dan Bu Wahyu yang sedang asyik bercanda dengan berhitung dan menyanyikan “pondok-kost” sembari menapaki trotoar PEMKAB dikejutkan dengan pemandangan ‘naudzubillah’.
Sepasang muda-mudi (kami prediksi masih di bangku SMA) mengenakan baju couple, si muda duduk di atas motor, dan si mudi berdiri di hadapannya dengan rambut terurai tanpa spasi tanpa sekat tanpa batas *pipi saling menempel*. Aku dan Bu Wahyu otomatis memperhatikan pasangan yang sedang dimabuk asmara tersebut. “Anak didik kita kah?” tanya masing-masing dari kami dalam hati.
Tetap menatap sampai wajahnya benar-benar terlihat untuk memastikannya. Beruntung siang bolong, jadi pencahayaannya pas, dan wajah mereka akhirnya terlihat jelas. Meski kami tidak mengenal 1000 lebih siswa-siswi SMKN4, setidaknya kami menghafal wajah mereka, dan muda-mudi itu bukanlah anak didik kami. Tapi karena prihatin, kami mencoba menegur mereka dengan tatapan tajam. Akhirnya mereka membuat jarak dan berakting, entah akting apa, kami memilih meneruskan perjalanan.
            Disisa perjalanan, aku dan Bu Wahyu mengucapkan kalimat yang sama, “Anak jaman sekarang memprihatinkan njeh bu pergaulannya. Lah wong kita yang dewasa saja masih berhitung dan menyanyikan ‘pondok-kost’, ini yang masih anak-anak kok malah bertingkah tidak sesuai umur dan statusnya. Masih kecil, uang minta ke orangtua, hubungannya njeh mboten halal, terus kok bisa berani melewati batas. Katanya ingin bahagia, tapi kok malah merusak diri. Piye njeh bu.”
***
            Siang selanjutnya, aku menemani anak-anak yang sedang siaran di Studio Radio SMKN4 Jember. Di waktu istirahat panjang, ada salah satu dari mereka, sebut saja Mawar, yang ingin bercerita dan menanyakan suatu hal padaku. Mawar dan para sahabatnya, menatap ke arahku serempak. Dan terjadilah percakapan panjang di antara kami siang itu;
Mawar : Ibu selama ini jomblo ya? Saya juga bu, kata temen-temen, saya tuh jomblo akut.
Aku     : Jomblo? Saya single bukan jomblo. Jomblo kan nasib, kalau single itu prinsip.
(Kami memulainya dengan pertanyaan dan jawaban ringan namun lucu. Yang sontak saja membuat kami tertawa bersama)
Mawar : Ya udah, saya juga single deh kalau begitu. Kalau saya seperti ibu, emang saya bisa bahagia bu? Galau nih bu.
Aku     : Mawar, bahagia itu letaknya di hati. Yang paling tahu kita bahagia atau tidak adalah diri kita sendiri. Bolehlah manusia itu tersenyum, tertawa, tapi apakah itu bukti manusia bahagia? Belum tentu bukan? Dan sumbernya bahagia itu banyak banget. Pacaran dan bahagia itu tidak ada benang merahnya sama sekali.
Mawar : Tapi kan bu, kata temen-temen, hidup sudah sempurna kalau memiliki seorang kekasih. Saya pernah dibully sama temen yang punya pacar. Kata mereka juga, kalau punya pacar itu enak, ada yang menyemangati, ngingetin jam makan, nganterin kemana-mana, pokoknya bahagia banget. Kalau saya nggak ada bu.
Aku     : Begini lho Mawar, coba kita ibaratkan dengan puasa di bulan Ramadhan. Dibulan puasa kita wajib menahan nafsu makan dan minum. Dan tentu ada orang-orang yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Mereka tidak berpuasa, bebas makan apa saja, di warung mana saja, minum es apa saja, kapan saja, diterik siang sekalipun. Apakah mereka bahagia?
Mawar : Iya bu.
Aku     : Dan kita yang berpuasa, menahan segalanya. Kita berusaha, bekerja, belajar, berkarya, dan beribadah dalam keadaan diri yang sedang berpuasa, apakah kita tidak bahagia?
Mawar : Nggak bu, malah rasanya seperti lebih bahagia.
Aku     : Yap. Kamu benar. Begitupun hubungan kita dengan kaum adam. Kamu tidak akan sakit kelaparan jika tidak ada yang mengingatkan jam makan. Kamu tetap bisa menjadi siswi berprestasi meski tidak ada yang menyemangati belajar. Semua kuncinya ada di kemauan dan kesungguhan. Jujur, bahagia itu sederhana dan mudah. Kenapa? Karena ada banyak sumber bahagia yang mungkin tidak disadari dan digubris banyak orang. Ibu yang non-stop 24 jam mengkhawatirkan kita, kakak-kakak yang selalu peduli, saudara yang menghibur, dan sahabat-sahabat yang memberikan aneka warna kehidupan. Begitupun denganmu, kamu juga memilikinya. Manfaatkan cinta mereka.
Mawar : Tapi kan bu, kita yang berpuasa godaannya lebih berat?
Aku     : Memang. Menahan nafsu dan segalanya bukanlah hal mudah dan sederhana. Ada ribuan godaan. Seperti saya katakan tadi, jika ada kemauan dan kesungguhan, maka segalanya menjadi mungkin. Optimis saja Mawar, tetapkan niat semulia mungkin. Karena saat kita berpuasa, ditawari 10 piring nasi padang gratis sekalipun, kita tetap akan teguh dengan pendirian awal. Puasa. Apakah kamu akan membatalkan puasa gara-gara nasi padang?
Mawar : Ya nggak lah bu. Niat saya puasa selama satu bulan. Harus tuntas sampai lebaran.
Aku     : Wah, hebat kamu. Begitu maksud saya.
Mawar : Berarti bu, lebarannya orang yang berpuasa dan lebarannya orang yang tidak berpuasa, rasanya beda ya bu? Kesimpulan saya dari jawaban ibu, orang yang tidak bisa menahan nafsu makan dan minum selama satu bulan tidak akan merasakan ‘kemenangan’ yang sesungguhnya. Beda dengan orang yang benar-benar berpuasa. Iya kan bu?
Aku     : Iya, kemenangan yang sesungguhnya lah yang kita cari.
Mawar : Terus, lebarannya para jomblo kapan bu?
Aku     : Single maksud kamu?
Mawar : Eh iya, single maksud saya bu.
Aku     : Jika puasa di bulan Ramadhan berakhir di ‘kemenangan’ lebaran. Maka puasa-nya orang-orang single berakhir di ‘kemenangan’ pernikahan.
Mawar : Oh iya, bener bu, bener bu. Ih ibu, makasih lho bu.
Aku     : (tersenyum)





Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes