Tutorial Praktis Menulis Fiksi Untuk Pemula

Tutorial Praktis Menulis Fiksi Untuk Pemula - Fiksi adalah dunia cerita, bentuknya puisi, cerpen, dan novel. Disini, saya akan fokus hanya ke fiksi yang berupa cerpen dan novel. Dua bentuk fiksi ini memiliki hakikat yang sama. Jadi, tidak perlu dipetakan sendiri-sendiri. keduanya hanya beda dalam panjang pendek ceritanya.

Sebelum masuk ke teknik menulis fiksi, perlu saya tegaskan bahwa hal pertama yang harus dibenahi sebelum menulis fiksi adalah mindset. Ya, cara berpikir.

Jika kita berpikir bahwa mneulis fiksi adalah menuliskan imajinasi, itu tak sepenuhnya benar. Dekat ke salah.

Benar memang, jika fiksi adalah cerita rekaan, karenanya ia membutuhkan imajinasi. Kian kuat imajinasi, kian kuatlah fiksinya. Tetapi perlu diingat bahwa imajinasi yang kuat pasti bersumber dari pengetahuan yang kuat. Itu satu. Yang kedua, imajinasi takkan banyak membantu kita untuk bercerita banyak, akibatnya cerita kita hanya berputar-putar seperti odong-odong kehabisan gizi, jika kita tidak memiliki cakrawala pengetahuan yang banyak dan luas.
Tutorial Praktis Menulis Fiksi Untuk Pemula

Coba bayangkan, bagaimana mungkin kita akan bisa menulis cerpen tentang Cleopatra jika kita tidak tahu bahwa ia adalah penguasa Mesir bersama ayahnya Ptolemeus XII, memiliki saudara laki-laki, Ptolemeus XIII. Cleopatra berhasil mengatasi kudeta yang digebrakkan saudara laki-lakinya, dengan cara bersekutu dengan Julius Caesar, lalu Marx Anthony, tentu salah satu kongsi itu adalah dengan pesonanya. Buktinya, Cleopatra memiliki 1 orang anak dari Julius Caesar dan 3 anak dari Mark Antony.

Cukupkah kita hanya megandalkan imajinasi yang bodoh tentang Cleopatra, lalu menulis cerpen berdasarnya? Apa yang terjadi? Cerpen kita, novel kita, hanya akan menjadi puzzle mbulet imajinasi belaka.

Ini mindset yang harus dibenahi pertama kali, bahwa menulis fiksi tidak cukup hanya dengan mengandalkan imajinasi.

Baik. Sekarang mari masuk ke teknik.

Secara umum, fiksi sebuah cerita yang mensyaratkan hal-hal ini: alur cerita, setting/latar, penokohan, konflik, dan ending. Mari kita bahas satu-satu ya…

1. ALUR CERITA
Alur cerita adalah jalan cerita. Apapun bentuknya sebuah fiksi harus memiliki jalan cerita. Apapun !
Alur cerita ini bebas saja bentuknya, bisa alur maju (dari A-Z), alur mundur (flashback, dari Z-A), atau alur maju-mundur. Semuanya bisa menjadi pilihan satu-satu bahkan gabungan sekaligus. Bebas! Intinya adalah kita harus mencciptakan alur cerita.

Untuk mengalirkan jalan cerita, tentu hal pertama yang harus kita miliki ialah “gambaran jalan cerita”. Membuat outline sebelum menulis merupakan salah satu cara efektif untuk membantumu mengingat rencana alur cerita. Penulis yang sudah berpengalaman, sering tidak membutuhkan outline lagi, tapi cukup membayangkan sebelum menulis atau bahkan mengalir begitu saja saat menulis.
Untuk pemula, buatlah outline dan disiplin dengannya. Tentu akan terjadi pergeseran-pergeseran alur dalam proses penulisannya, tetapi upayakan untuk mendisiplinkan diri dengan outline kita. Khawatir, jika terus-menerus dituruti pergeseran-pergeseran tersebut, lantas cerpen atau novel kita tidak akan pernah rampung lantaran terus berubah-ubah.

Selanjutnya, mengalirkan cerita bisa kita bangun melalui narasi dan dialog. Kombinasikan keduanya secara proporsional. Terlalu banyak narasi, apalagi panjang seperti rel kereta Thomas, tentu akan membuat pembaca bosan. Terlalu dominan dialog, apalagi dialog-dialog yang tidak penting, tentu akan membuat pembaca meyakini kita bahwa kita lebih rewel dan cerewet dari Omas.

Sebaiknya narasi dan dialog diciptakan proporsional. Dan, jangan pernah membuat narasi serta dialog yang tanpa peran untuk membangun cerita. Basa-basi yang basi-basa. Itu tidak pernah menarik. Juga, jangan mengulangi inti dari narasi dalam bentuk dialog atau sebaliknya, karena pengulangan-pengulangan seperti ini hanya akan mencederai karya kita.

2. SETTING/ LATAR CERITA
Setiap cerita selalu membutuhkan latar yang menjadi tempat ia hidup. Apa pun dan bagaimana pun latar itu diciptakan, entah itu nyata atau imajiner dan fantasi, latar itu harus ada.

Latar bukan hanya lukisan tentang tempat. Bukan! Latar juga mencakup suasana emosi yang terbangun dalam tokoh-tokoh itu, karenanya latar bisa dibangun dengan model narasi dan dialog pula.
Dan ingat pula hal ini: lukisan latar itu harus natural, jangan dipaksakan. Ini bukan tidak boleh membuat latar yang fantasi atau imajiner, bukan! Harry Potter sukses berat dengan bangunan latar yang imajiner. Bukan itu poinnya. Tetapi latar yang harus natural itu, alamiah, adalah logis.
Kalau malam gelap. Kalau tahun 194 suasana revolusi. Saat itu belum ada Blackberry, jadi jangan mmebuat latar yang tidak logis.

Film Ainun Habibie menjadi sangat cidera gara-gara memasukkan ikla yang saat kejadian itu tidak pernah ada. Menyebalkan sekali, bukan?!
Hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membangun latar ialah jangan terjebak untuk menjadi rerporter.

Memang benar, bahwa fiksi yang berhasil menyajikan latar dengan kuat, detail, dan rigid tentu akan memiliki kekuatan lebih. Pasti itu! Sebuah novel yang berhasil enceritakan kota Manchester dengan detail, pasti akan mmeiliki kekuatan lebih. Ini bukan tentang kita harus ke Manchester dulu, apalagi sekarang kita dimudahkan dengan adanya Mbah Google yang setia menyediakan segala macam data.
Yang saya maksud jangan terjebak jadi reporter ialah keasyikan menuturkan latar sampai-sampai kita lupa bahwa kita sedang menulis cerita, bukan berita. Artinya, mau sedetail apa pun kita melukskan latar, kita harus selalu menuturkannya dalam bingkai cerita.

3. PENOKOHAN
Di dalam cerita, tentu wajib hukumnya untuk ada tokoh-tokoh. Tokoh utama hingga tokoh sambilan. Semua tokoh ini harus diciptakan karakternya. Dari watak sampai kebiasaan harian atau pun fashion-nya. Posisi peran setiap tokohnya pun harus terang dalam ceritamu. Itulah yang disebut dengan penokohan.

Semua penokohan ini harus diciptakan oleh penulis secara konsisten dan logis. Kalaupun di bagian tengah atau akhir ada perubahan terhadap penokohan seorang tokoh, maka tetap harus ada penjelasan cerita yang logis yang menjadi sebab terjadinya perubahan karakter tokoh itu.

Missal tokohnya sedari awal diceritakan cewek penggila nongkrong di kafe. Di bagian tengah, cewek ini berubah style menjadi cewek rumahan, maka harus ada jalinan cerita yang menguraikan secara logis sebab-sebab pemicu hal tersebut.

Logika tokoh juga mutlak untuk diperhatikan. Ini banyak terjadi di kalangan penulis muda.
Tokohnya, misal, seorang anak SD kelas 4, tapi dialog-dialognya terasa begitu wise layaknya seorang pertapa usia 60 tahun. Ini tidak logis. Maka sesuaikan saja secara alamiah level setiap tokoh kita dengan perannya, caranya berbicara, caranya beraktivitas, dan sebagainya.

Tokohnya tante berumur 48 tahun. Hidup di Jakarta. Tapi dialognya dibuat kalimat seperti, “Ciyusss… Kepo ihhh… ceeilleeeh… atutt… atiiittt…”
So, mau dijadikan apa pun tokoh-tokoh karyamu, silahkan saja, tapi perhatikan betul aspek konsistensi perannya dan logika ketokohannya.

4. KONFLIK
Konflik, ya, setiap cerita harus ada konflik ceritanya. Tanpa konflik, cerita yang kita buat meskipun sudah berhasil membangun alur, latar, dan penokohan, akan terasa sangat datar bin garing bin anyep.
Konflik sesungguhnya merupakan jantung dari sebuah cerita. Berdasar konflik yang dibangun bisa dari awal langsung atau mengalir landau, bangunan cerita kita dibangun kan. Maka kemampuan kita membangun titik konflik yang mendidih akan benar-benar menjadi jantung dari bagus/ tidaknya tulisanmu.

Dalam sebuah cerita, konflik memang tidak harus tunggal. Kalau tunggal, cerita akan terasa sangat sempit. Konflik boleh diciptakan sebanyak-banyaknya, asalkan kamu mampu mengalirkannya dalam cerita yang mendedahkan konflik-konflik itu dengan baik. Namun begitu, tetap saja hanya ada satu konflik utama. Konflik-konflik lainnya bisa dinyatakan sebagai ‘bumbu konflik’ penyedap cita rasa masakan cerita kita.

Konflik yang membahana, yang disajikan dengan alur yang mengalir, latar yang detail, dan penokohan yang kuat, akan benar-benar menjadi pelengkap bangunan cerita kita. Karena itu, jangan memilih konflik ala kadarnya. Pilihlah konflik yang cetar, yang tidak monoton, yang mampu menyedot rasa penasaran para pembaca. Dukunglah konflik cerita kita dengan item-item lainnya dari alur sampai penokohan, maka niscaya cerita kita akan mampu menyeret pembaca.
Ya, menyeret!

Cerita yang baik adalah cerita yang mampu ‘menyeret’: rasa penasaran pembaca untuk terus membacanya, emosi pembacanya sampai dia merasa benar-benar menjadi bagian dari jalan cerita dan kehidupan si tokoh. Tak heran kan, banyak pembaca yang sampai menangis saat membaca sebuah cerita romantic penuh luka berdarah-darah sepanjang masa. So, konflik bebas, boleh apa saja, tapi perhatikanlah untuk membangunnya secara dramatis.

5. ENDING
Apakah ending harus selalu ada? Tidak juga. Tetapi saya sengaja memasukkan aspek ending di bagian ini dalam rangka untuk membuat kita mengerti bahwa setiap cerita tentu akan memiliki akhirnya. Sekalipun kita menulis novel romance dewasa setebal 500 halaman, tetap saja aka nada akhirnya. Akhir itulah yang saya maksudkan sebagai ending.

Ending karenanya tidak harus berupa ‘akhi cerita tokoh’. Tidak. Jangan salah paham
Ending tidak selalu berupa mati atau bahagia. Menikah. Punya anak. Kaya raya! Basi itu. Bukan itu. Ending pun tidak harus ada di akhir bagian novel kita. Bisa ada di mana saja, missal di depan atau tengah, dengan catatan (jika kita bereksperimen model seperti ini) maka kita harus mampu memelihara alur dan logikanya dengan kuat dan baik.

Karenanya, kita mengenai istilah ending menggantungkan. Ending menggantung adalah menutup cerita dengan sebuah adegan atau suasana atau dialog bahkan yang dibiarkan menggantung begitu saja. Ini sah-sah saja.

Tetapi harus dicatat, seperti apapun model ending kita, buatlah ending yang menyentak! Ya, yang menampar, menyergap, mengagetkan!

Ini penting, agar pembaca kita menjadi lebih teraduk emosinya. Intinya, ending itu bisa ada bisa tidak secara formalnya, bisa ditempatkan dimana saja. Yang terpenting adalah akhir dari cerita kita harus mampu menyeret dan menguras emosi pembaca.

***Tulisan ini saya tulis ulang dari salah satu buku @edi_akhiles dengan beberapa perubahan redaksi kalimat. Semoga bermanfaat.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes