Tolong, Jangan Bercerai (Cerpen)

Safna. Menjadi nama yang selanjutnya akan di drop out dari sekolah. Nama yang rutin absen disetiap hari aktif sekolah. Nama yang beberapa kali masuk ruang BP/BK. Nama yang selalu terpajang untuk mengikuti remidi-remidi. Nama yang tak pernah membanggakan, dan itulah namaku, Safna. Akulah Safna dan Safna itu aku. Entah aku harus berperasaan apa mengenakan seragam putih abu-abu ini.

Selanjutnya, aku tidak tahu kemana kaki harus melangkah, kemana buku-buku yang aku miliki akan berakhir, dan kemana mimpi serta cita harus aku tuntun. Hanya seperti ini? Aku memikirkan semuanya sembari merangkai langkah untuk pulang, bukan, maksudku bukan pulang, karena pulang bagiku adalah kembali ke rumah, sedangkan aku sudah lupa bentuk rumahku, tidak tahu dimana ayah ibuku. Mungkin bagi kebanyakan orang skenario hidupku terlalu drama, mereka bersimpati dan iba, tapi aku tidak memiliki waktu untuk itu semua, ini nyata dan ini hidupku. Mau tidak mau, suka tidak suka, kisah hidup yang bagi orang lain sangat menyedihkan, aku harus menjalaninya, bukan sebagai seorang figuran, tapi sebagai pemain utama. Yah, akulah bintangnya, untuk kisah yang tak pernah diharapkan manusia untuk menghampiri hidupnya bahkan sedetik sekalipun.

“Sudah pulang Saf?” sapa nenekku yang duduk di ruang tamu.
Ah, ternyata aku sudah berada di tengah pintu rumah nenek. Bagiku, ini rumah nenek bukan rumahku.

“Iya nek” jawabku sekenanya lantas berlalu ke kamar pribadi, mungkin lebih tepat disebut tempat tidur.

Karena ruang berukuran 2x3 tersebut hanya cukup menampung satu tubuhku, tanpa leluasa bergerak. Aku begitu penasaran bagaimana akhir skenarioku dan aku begitu bingung bagaimana harus mengatakan masalah drop out pada nenek. Sejak aku masih bayi, aku sudah hidup dengan nenek.

Ayah ibuku bercerai, meninggalkanku, menikah lagi, dan entah seperti apa kebahagiaan mereka saat ini. Mungkin banyak anak broken home diluar sana yang sepertiku, namun mereka masih beruntung, masih diingat orang tuanya, masih dipedulikan, masih dibiayai hidupnya, atau bahkan sama sepertiku ditinggalkan begitu saja, setidaknya mereka masih beruntung, orang tua mereka masih menyisakan agamanya untuk melekat pada anaknya. Sedangkan aku, orangtuaku beda agama, bercerai, aku ditinggalkan, dan mereka hilang begitu saja, tanpa ingin tahu seperti apa putrinya dan tanpa memberi tahu agama apa yang harus aku percaya. Yang aku tahu, hanya ada nenek yang berusaha menghidupiku dengan tangan keriputnya, merawatku seadanya dengan tubuh renta, tanpa peduli apa itu psikologis anak, pendidikan anak, perkembangan anak, dan lainnya. Aku mencoba mengerti, karena yang nenek pikirkan hanya bagaiamana agar aku tidak kelaparan dan aku tidak mati sia-sia.

Entah seperti apa cita-citaku atau kepribadianku, nenek pasti tidak pernah memikirkannya sebelumnya. Rupiah dan rupiah, itulah yang dicari nenek. Begitu beranjak remaja, aku mulai membantu nenek mencari uang, mengerjakan segalanya, agar bisa makan dan sekolah. Dan saat ini, ketika setengah perjalanan masa SMA aku lalui, aku harus menerima kabar pahit, drop out. Itu artinya, aku harus memulai di sekolah baru, suasana baru, masalah baru, dan biaya baru. Aku lelah memikirkannya.
***

“Safna dikeluarkan dari sekolah. Sudah dengar kabar itu kan? Memang pantas sih, setiap hari dia kan absen. Sekalipun tidak ada niatan untuk belajar dan masuk sekolah” ucap salah seorang gadis muda di hadapanku.
Aku melihat segerombolah siswa/siswi yang berseragam sama sepertiku sedang membuat lingkaran, dan membicarakan obrolan dengan serius. Aku tahu, tema pembicaraan itu tentangku. Namun, aku tetap menyimaknya.
“Belum resmi sih, orang tuanya belum dapat panggilan, tapi isu ini 99% sangat akurat. Secara tidak resminya dia resmi meninggalkan sekolah ini” ucap gadis yang lain.
“Aku juga heran, kenapa ada anak sebermasalah Safna. Apa susahnya menjalani hidup normal, tanpa membuat ulah dan melakukannya dengan sedikit kesalahan. Bolak-balik masuk ruang BP/BK. Menurut isu juga nih, Safna pernah melanggar tata tertib dengan poin tertinggi” gadis lain menimpali.
“Memang parah si Safna. Aku juga tidak tahu harus berkata apa, mending kalau dia cerdas. Tapi kan nyatanya dia istiqomah remidi disemua mata pelajaran. Aku heran, kenapa anak sediam Safna begitu ahli mengoleksi kesalahan ya? Orangtuanya gimana sih. Kenapa anak seperti Safna dibiarkan begitu saja. Setidaknya meski Safna begitu disayang atau dimanaja, harus tetap diberi teguran keras. Apa dia tidak pernah punya mimpi dan cita-cita ya?” gadis lain berbicara panjang lebar.
“Dia sudah bikin malu sekolah. Kalian tahu kan, Safna punya geng yang tidak jelas. Dan anggota gengnya dari anak-anak agak berpenampilan aneh dan seram gitu. Apa jadinya kalau Safna nongkrong dengan mereka dan masih mengenakan seragam sekolah. Sekolah yang malu dan kita juga yang malu” gadis lain menjelaskan pendapatnya dengan pandangan berapi-api.
Aku hanya berdiri mematung, marah, ingin menyumpal mulut gadis-gadis itu. Dan…
“Safna” suara nenek memanggilku
“Sudah sore, waktunya jualan. Gorengannya sudah siap” kembali aku mendengar suara nenek.
Aku tersadar dan terbangun, ternyata gadis-gadis bermulut sadis itu hanya bunga tidurku. Aku beranjak lengkap dengan seragam dan mata yang membengkak. Tanpa memedulikan keadaanku, kenapa belum mengganti seragam dan kenapa memiliki mata bengkak, nenek berlalu begitu saja. Aku tahu sebenarnya nenek sayang terhadapku, namun penyakit tuanya membuat seluruh inderanya tidak berfungsi maksimal. Karena jika saja nenek tidak menyayangiku, mungkin aku akan dibiarkannya menangis dalam kedinginan dan kelaparan sebatang kara. Aku berperasaan optimis, meski sekalipun nenek tidak pernah menyatakan cintanya terhadapku.
***

Malam yang dingin, aku lalui dibawah selimut tipis nan lusuh. Setelah sore tadi keliling menjajakan gorengan, setelah itu aku membantu warung lesehan yang cukup terkenal untuk mencuci piring, dan ketika malam baru dimulai, aku menjadi penjual kopi keliling di alun-alun kota. Maka tak heran, detik ini, hampir tengah malam, aku merasakan kelelahan. Besok pagi aku harus ke sekolah, ah, teringat sekolah aku jadi teringat gadis-gadis bermulut sadis dalam mimpiku. Mungkinkah dalam nyata mimpi itu benar terjadi adanya. Dan aku berharap semoga tidak.
***

Pagi hari disekolah yang belum membunyikan belnya, aku benar-benar mematung dengan mata berkaca-kaca. Dalam keadaan sesadar-sadarnya, aku melihat dan mendengar gadis-gadis bemulut sadis tersebut. Ini nyata. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya berlalu meninggalkan mereka, mencari sudut sepi sekolah, dan lantas menangis sesenggukan. Mengurai air mata sejadi-jadinya. Ingin aku berteriak di hadapan mereka semua.

“Kenapa aku?” tanyaku dalam hati yang terluka.
Aku tahu, perbedaan hidupku dengan mereka tidak patut dijadikan alasan atas kesalahan-kesalahan yang aku lakukan. Aku tahu, anak broken home bukan berarti anak bermasalah, semua tergantung individunya. Dalam senggukan tangis, aku bertanya-tanya lirih.
“Salahkah aku jika melakukan kesalahan besar dan lantas ingin memperbaikinya? Salahkah aku jika baru tersadar hari ini setelah mendengar kata drop ut? Salahkah aku jika mengirikan kehidupan teman-temanku? Salahkah aku jika menyalahkan mereka yang menjudgeku begitu saja? Salahkah aku jika ingin berubah saat semuanya terlambat? Salahkah aku jika menyebut mereka sebagai gadis-gadis bermulut sadis?”

Aku hanya bisa menangisi pertanyaan-pertanyaan yang aku buat sendiri. Dan di antara derai airmata yang aku buat sendiri, disebuh pojok tanpa tatapan mata, aku meraih kertas dan bulpoin, merangkai kata untuk mereka, yang entah nantinya akan dibaca atau tidak. Hanya klarifikasi sederhana ini yang bisa aku lakukan.

Kawanku, yang entah siapa nama kalian, aku tidak begitu menghafalnya satu persatu. Ini aku, Safna. Salah satu kawan kalian yang rajin absen di kelas, yang rutin masuk ruang BP/BK, yang selalu remidi, dan yang telah membuat nama sekolah malu.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku tidak seperti kalian. Aku alien dari alam kisah lain yang mungkin tidak akan mampu kalian hadapi segala cerita pahitnya. Sehari saja kalian menjadi aku, mampukah?

Kalian memiliki orang tua yang luar biasa, mengantar sekolah setiap pagi, menyiapkan bekal, memberi uang saku, memberi pelukan kasih sayang, menemani belajar, dan mendo’akan kalian. Kalian memiliki segalanya karena kalian memiliki orang tua dan rumah, meski mungkin orang tua kalian sedikit pemarah atau rumah kalian sedikit sederhana. Tapi tetap saja, hidup kalian sempurna di mataku.

Sedangkan aku? Aku tidak pernah tahu seperti apa wajah orangtuaku, 17 tahun aku hidup dalam bayang-bayang mereka. Jangankan pelukan hangat, agama saja tidak mereka tinggalkan untukku. Hanya nama, yah hanya nama. Nama yang begitu kalian benci, yaitu Safna.
Sepulang sekolah, mungkin kalian istirahat, lantas sore hari dihabiskan bersama keluarga atau sahabat, malam hari bisa belajar penuh, dan kembali istirahat. Aku tidak demikian, aku harus merawat nenekku, merawat rumah nenekku, menjajakan gorengan keliling, menjadi tukang cuci piring warung lesehan, menjual kopi keliling, tukang cuci baju panggilan, dan melakukan apapun asal melahirkan uang.

Kalian bertanya seperti apa orang tuaku, yang tidak mampu mendidik anak dengan baik. Jangankan kalian, aku saja tidak pernah tahu seperti apa mereka. Hanya tiga hal yang aku tahu tentang mereka, yaitu mereka beda agama, mereka bercerai, dan mereka menikah lagi. Selebihnya, silahkan kalian tanyakan pada nenekku langsung.

Perlu kalian tahu, jika anak broken home yang lain masih bisa mengucapkan kalimat “Ayah dan Ibu, tolong jangan bercerai” atau “Aku mohon, jangan bercerai demi aku”. Aku tidak pernah memiliki kesempatan itu. Sebelum aku mengerti bahasa, sebelum aku mengucapkan kata pertama, orangtuaku sudah terlebih dahulu pergi tanpa pesan dan jejak. Lantas aku yang masih bayi merah bisa apa, selain pasrah atas tangan siapa saja yang akan memungutku selanjutnya.

Setelah mengetahui semua kisahku ini, terserah akan iba atau semakin membenci. Aku tidak peduli. Toh, bukan kalian yang memberiku kehidupan. Dan toh aku akan pergi meninggalkan kalian, untuk melalui kisah esok yang tidak pernah aku tahu seperti apa. Satu pesanku untuk kalian, jika kalian ingin menjadi manusia bermanfaat, setidaknya dengan tidak menghina manusia lain. Itu sungguh bermanfaat, sangat bermanfaat. Karena tidak akan ada hati yang terluka oleh lisan atau sikap kalian. Menyenangkan bukan? Salam perpisahan dariku, Safna.
***

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes