Jok & Owi (Cerpen)

“Serius kamu mencintaiku?” tanya Jok, sahabatku.
Wajahnya begitu sulit ditebak. Aku yang baru duduk beberapa detik dihadapannya pun terbungkam otomatis. Beberapa pelanggan dan pelayan cafe yang tidak sengaja mendengar pertanyaan lantang Jok, ikut serta memandang mejaku dan Jok. Aku hanya bisa tertunduk, dan mencoba menafsirkan apa arti mimik Jok. Dan gagal. Aku tidak pernah tahu apa maknanya, dia bahagia atau kecewa atau sekedar kasihan padaku yang terlanjur terbongkar rahasia hatinya. Ini semua gara-gara diary usang. Jok tahu semuanya, tanpa terkecuali.

“Iya” jawabku dengan lemah.

Ingin rasanya aku ditelan bumi saja dan menghilang dari hadapan Jok. Aku merasa kisahku di episode ini ditulis dengan penuh titik klimaks bak drama korea. Ini nyata? Aku bertanya-tanya dalam hati.

“Kenapa? Sejak kapan? Bagaimana ceritanya? Owi, kamu serius? Ada milyaran pria lho di dunia ini, kenapa aku?” rentetan panjang pertanyaan Jok menyentakku.

Aku bergumam sendiri. Dia memang sahabat ter-anehku. Dia yang kurang peka atau aku yang terlalu sensitif. Dia yang terlalu polos atau aku yang terlalu imajinatif. Ingin rasanya menasehati Jok panjang kali lebar, bahwa aku ini wanita, keberanian bertemu dengannya saja, pasca terbongkarnya sang rahasia, aku harus berusaha ekstra untuk menutupi rasa malu tersebut. Apalagi menjawab pertanyaan panjang itu, Jok oh Jok. Kamu tidak pernah sadar, di hadapanmu aku serasa duduk di kursi panas, luar biasa cemas.

“Owi ayo dijawab. Satu pertanyaan dulu, kenapa kamu mencintaiku?” pintanya tanpa rasa berdosa.
Aku yang mendengar pertanyaan tersebut ingin sekali memukul kepala Jok hingga ia hilang ingatan dan melupakan semuanya. Aku tetap terdiam tanpa niat menjawabnya, dengan sesekali menyeruput coklat dingin yang sudah tersaji di meja.
“Owi? Kenapa?” Jok masih penasaran.

Sayangnya aku tidak memiliki keberanian cukup untuk menjawabnya. Tetap membungkam, itulah pilihanku. Semenit dua menit, keheningan terjadi. Jok diam, aku diam. Kami berhadapan. Meja yang sama. Tapi tidak ada satupun kata terucap. Dan pada akhirnya aku mengalah. Seperti inikah perasaan para koruptor yang tertangkap tangan oleh KPK dan dipaksa mengakui semua perbuatannya? Akhirnya aku mulai membuka suara.
“Jika kamu tanya kenapa Jok, aku tidak tahu harus menjawab apa. Ya udah, semuanya terjadi begitu saja. Ibaratnya iman sebagai hidayah, begitupun cinta sebagai anugerah. Tuhan memberi, lantas kita bisa apa, diterima saja. Aku tidak punya alasan kenapa mencintaimu, hanya satu hal yang aku tahu. Aku mencintaimu karena Tuhanku, itu saja. Ini sudah takdirNya, skenarioNya, dan kehendakNya. Aku syukuri semua, setiap episode kehidupan yang ku miliki” jawabku tanpa berani menatap sosok Jok.

“Sungguh? Begitu saja?” Jok mulai memasang wajah serius.

“Aku hafal sebuah kalimat bijak yang mengatakan bahwa ‘Seseorang yang mencintaimu karena alasan fisik, maka suatu hari nanti ia akan pergi meninggalkanmu karena alasan fisik tersebut. Seseorang yang mencintaimu karena alasan materi, maka ia juga akan pergi meninggalkanmu karena alasan yang sama. Namun, seseorang yang mencintaimu karena hati, ia tidak akan pernah pergi meninggalkanmu, karena hati tidak mengajarkan relatif lebih baik atau lebih buruk.’ Aku bukan ingin mengajarimu tentang kalimat itu Jok. Itu kalimat untukku sendiri, untuk aku pelajari dan pahami. Dan setidaknya, kamu berhenti menanyaiku Jok, kamu tidak tahu rasanya seperti apa berada di posisiku saat ini” jelasku panjang lebar.

Terlihat Jok mulai memikirkan kata-kataku, dan berusaha berhenti dari keusilannya untuk membuatku tersipu malu. Namun Jok tetaplah Jok. Hanya hitungan menit ia bertaubat, setelahnya ia kembali berulah.

“Memangnya sejak kapan Wi? Setahun yang lalu atau dua tahun lalu?” kembali Jok menyodorkan pertanyaan dengan wajah setengah serius dan setengah bercanda.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang, tidak tahu harus berbuat apa untuk membungkam Jok dari pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku rahasiakan jawabannya, seumur hidupku.

“Jok, mencintai seseorang itu bukan seperti hari dimana manusia terlahir ke dunia. Ada tahun, ada bulan, ada tanggal. Cinta tidak demikian, karena hakikatnya cinta adalah sebuah titipan. Entah aku mencintaimu setelah bertemu denganmu, atau setelah membaca tulisanmu, atau setelah aku mengenalmu. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, cinta itu ada, entah dari kapan dan hingga kapan” aku kembali berbicara panjang.

“Kamu cinta banget ya sama aku? Kalau aku tidak mencintaimu bagaimana?” Jok tersenyum ke arahku tanpa melepaskan pandangannya.
Sudah ku tebak, si Jok mulai kumat bercanda. Jika saja ia bukan sahabatku, sudah ku tinggalkan ia sendiri di cafe ini.

“Cinta ya cinta, tidak ada istilahnya agak cinta atau cinta banget. Normal saja, jangan pernah berlebihan dalam hal apapun. Bukan cinta yang mengatur kita, tapi kita yang mengatur cinta. Cinta tak berbalas, memang sakit. Namun jika kita mengaturnya dengan indah. Tidak akan ada airmata dan tidak akan ada kegalauan. Dan setiap penyakit ada obatnya. ‘Ya sudahlah’ sesederhana itu harusnya kita menghadapi masalah kehidupan, seperti lagu Bondan Prakoso. Dan aku selalu mencoba mempelajarinya disetiap hari yang aku miliki, untuk masalah apapun. Ya sudahlah.” Aku mencoba mengimbangi canda Jok.

“ Berarti kamu rapopo, sahabatku?” Jok tetap dengan senyumnya.

“Aku tidak pernah berharap apapun pada cinta yang aku simpan untuk seseorang. Aku mencoba tidak memikirkannya, aku mencoba tidak memedulikannya, dan aku mencoba berharap untuk dicabut lebih cepat olehNya. Karena yang lebih aku pentingkan adalah, cinta yang seseorang simpan hanya teruntukku. Mencintai seseorang dalam diam, bukan hal baru lagi bagiku. Dan ketika aku sedang mencintai seseorang, maka otomatis aku tidak bisa obyektif untuk melihat seseorang yang mencintaiku. Bukankah begitu Jok? So, kamu rapopo juga sahabatku?” tanyaku balik, juga disertai senyum nakal ala Jok.

Jok terdiam. Wajahnya kembali seperti semula, dimana ketika obrolan panjang ini dimulai. Wajah yang tanpa pernah bisa tertebak.

“Jok?” panggilku ditengah lamunan singkatnya.

Tersirat ada kekagetan, dan lantas Jok mencoba meraih sesuatu dalam ransel hitamnya. Lengkap dengan pandangan mengitari sekeliling cafe, seakan-akan berjaga bahwa tidak ada retina yang menangkap geraknya. Dan…

“Ini untukku?” tanya Jok dengan kembali berulah.

Tersenyum. Alisnya dimainkan naik-turun. Dan menyodorkan buku diary usangku. Entah di halaman ke berapa, namun aku tahu puisi yang Jok tunjukkan padaku. Karena akulah yang menulisnya. Sudah ku hafal diluar kepala puisi berjudul ‘Maaf Untuk Cinta’ tersebut.

Aku mencintaimu disertai ribuan maaf
Maaf, cintaku tak sedahsyat cinta Khadijah untuk Rasulullah
Maaf, cintaku tak tersimpan rapat layaknya cinta Fatimah untuk Ali
Maaf, cintaku tak sekuat milik Ainun untuk Habibi
Maaf, cintaku hanyalah cinta
Kemampuanku untuk mencintaimu apa adanya
Maaf, aku tak bisa berjanji tentang batas waktu akan cintaku
Hari ini, lusa, tahun depan, atau selamanya
Aku hanya bisa meminta, agar Allah berkendak menitipkan cinta lebih lama
Karena cintaku hanya sebuah titipan
Yang hilang bukan karena kesalahanmu, bukan karena kekuranganmu, dan juga bukan karena perubahanmu
Tapi karena Allah telah mencabutnya dari kalbuku
Maaf, aku tak bisa definisikan kapasitas cinta dihatiku
Seluas samudera, setinggi gunung, atau sejagat raya
Aku hanya bisa mengatakan bahwa, 'ada cinta untukmu'
Tanpa ukuran dan tanpa batas
Cinta yang memang telah digariskan tanpa kebetulan
Cinta yang bisa membesar dan mengecil tanpa kontrol dariku
Semua atas kuasa Allah tanpa tercampuri oleh hati
Maaf, aku tak bisa mengekspresikan cinta yang ku punya
Dalam bahasa lisan ataupun perbuatan
Aku hanya mengadu dalam do'a
Bahwa cinta itu ada
Dan biarkan berjalan tanpa melewati garis, bernama aturan
Maaf, sungguh maaf
Cinta sederhana dalam balutan sahaja
Hanya itu yang aku punya
Maaf, beribu maaf
Cinta tanpa jaminan
Hanya itu yang aku simpan
Maaf, maaf, maaf
Atas cinta yang kumiliki
Atas kehendakNYA aku miliki cinta

“Owi, iyakan? Untukku kan?” Jok kembali bertanya, sekali lagi dengan wajah tanpa dosa.
“Bukan, tapi untuk Tom Cruise” jawabku asal.

Senyum Jok semakin menjadi-jadi. Tingkat kepercayaan dirinya sudah diambang batas, dia tahu segala rahasia hatiku, dan aku sedikit pun tidak tahu rahasia hatinya. Itu berarti, dia memiliki satu kekuatan dan aku memiliki satu kelemahan. Seumur hidup, dia pasti akan meledekku dengan diary usang tersebut. Dan setelah obrolan panjang tak berujung tersebut, kami beranjak pergi meninggalkan cafe. Kami mengakhirinya dengan satu kata, ‘pulang’.

Bumi Allah, Jember, 30 Juni 2015.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes