I’m Waiting For You (Cerbung)

#2003, Kelulusan SMP. Dihari terakhir mengenakan seragam putih biru, aku memberanikan diri untuk mengutarakan sebuah gejolak, yang mungkin kebanyakan orang katakan sebagai ‘cinta monyet’. Tapi bagiku tidak. Sebelumnya, perkenalkan namaku Muhammad Kindi Shafa Farisi, biasa dipanggil Kindi. Dan wanita yang entah beruntung atau sial karena telah aku sukai saat itu hingga saat ini bernama Mareta. Berbulan-bulan memendam rasa itu rasanya seperti tercekik setiap hari. Maka dengan membuang malu dan menerima segala resiko yang ada, aku mengutarakannya pada Mareta. Gadis imut yang menghiasi mimpi-mimpiku beberapa bulan terakhir.


Aku hanya mengatakannya, tanpa bermaksud mengajaknya pacaran atau sejenisnya. Aku hanya ingin tahu perasaannya. Aku hanya ingin tahu apakah ada namaku di hatinya. Untuk menjadi pasangan, aku tidak sempat memikirkan hal tersebut. Aku masih pemuda SMP yang minta uang jajan pada orang tua. Usia saja masih jauh dari angka 17. Nanti saja untuk urusan pasangan berpasangan. Yang penting sekarang memastikan. Jika memang Mareta merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan, maka aku akan menyuruhnya menunggu hingga sepuluh tahun ke depan, karena saat aku menjadi pria dewasa, aku akan menjadikannya wanita halal bagiku dan menjadikan diriku sebagai ayah yang hebat untuk calon anak-anaknya kelak. Wuih, rencana masa depanku sepertinya akan ditertawakan para remaja seusiaku. Tapi berpikir dewasa dan matang itu penting, semuda mungkin, dan aku melakukannya.

Kembali pada Mareta. Melalui secarik kertas putih dengan tinta hitam aku mengutarakan perasaan yang sungguh tak tahu mengapa ada dan bersarang di hati. Dengan fokus tingkat tinggi, aku merangkai kata untuk menyampaikan pesan cinta padanya. Dan disenin siang, dihari pengumuman kelulusan, aku meletakkannya di laci meja Mareta. Berharap ia membacanya. 3 jam kemudian, surat itu belum tersentuh.

Akhirnya aku mencoba berbicara padanya langsung bahwa ada pesan cinta untuknya di laci meja. Berhadapan langsung dengan Mareta, membuat lidahku kelu, keringat dingin mengucur entah kemana, jantung berdebar dahsyat. Ah, sederhananya Mareta meluluh lantakan keberanian dan kepercayaan diriku. Alhasil, aku menyobek secarik kertas dan menuliskan kalimat singkat yang berbunyi, “Mareta, ada surat untukmu dari aku (Kindi) di laci meja” titik dan selesai. Aku serahkan kalimat singkat itu dan berpaling secepat mungkin, secepat mungkin, secepat yang aku bisa. Aku terheran-heran, padahal bertemu selebritis dan primadona sekolah saja aku biasa saja, mereka ‘hanya cantik’ dan selesai.

Tidak ada ketertarikan, tidak ada magnet, tidak ada debaran. Tapi Mareta berbeda. Apa ya? Kenapa ya? Entahlah. Cinta adalah fitrah meski perasaan itu lahir dari pemuda ingusan sepertiku. Cinta tetap cinta. Takdir dari Sang Maha Kuasa. Yap! Aku tersadar bahwa perasaan ini takdir, perasaan ini anugerah Tuhan, perasaan ini ada karena Tuhan telah menumbuhkannya. Tugasku sebagai seorang hamba, menjaga dan merawatnya agar tetap suci dan mulia. Aih, kenapa aku tiba-tiba menjadi puitis begini ya. Mungkin karena sedang berusaha membangun cinta dan menunggu jawaban dari sang pujaan. Thank you Mareta.

Sehari dua hari tidak ada sinyal ataupun jawaban dari Mareta. Tidak ada telepon darinya, tidak ada surat balasan, dan tidak ada pesan sama sekali. Dihari bertemu kembali dalam acara lepas pisah kelas 3, dia melihat ke arahku dan aku jauh lebih menatap ke arahnya. Dalam hati aku berharap Mareta menjawabnya dengan jawaban yang aku ingin “Iya, Kindi”. Sayangnya hanya kalimat singkat yang terdengar “Selamat ya Kindi. Semoga sukses.” Lebih dari itu sudah tidak ada lagi. Sikapnya seperti tidak ada apa-apa. Padahal dua malam aku merangkai kalimat yang super panjang kali lebar untuknya. Namun bukannya jawaban yang aku dapatkan, hanya sikap datar dan keterdiaman yang penuh makna tapi aku tak mampu mendefinisikannya. Ah, Mareta. Aku butuh balasan atas perasaan ini, kau merasakan hal yang sama atau tidak. Bukan tindakan bungkam seperti yang kau lakukan.

#2006, Kelulusan SMA. Berakhir sudah segala suka duka dan tangis tawa yang aku lalui di masa putih abu-abu. Tiga tahun menjalani pendidikan SMA, bukanlah hal yang ringan bagiku. Mengapa? Karena di masa ini aku menempuh sekolah yang sama, jurusan yang sama, dan kelas yang sama dengan Mareta. Yap, Mareta.

Wanita yang sudah bertahun-tahun silam bertahta di hatiku. Yang hingga tahun 2006 pun dia sama sekali tak bergeming dengan kebisuannya. Aku bisa apa? Selain mendo’akan yang terbaik untuknya. Setiap hari kita bertemu dan bertatap muka, dia hanya tersenyum tanpa kata. Namun, Mareta tetaplah Mareta. Dan aku tetap aku. Mareta tetap tak merespon apapun atas perasaanku selama ini. Sedangkan aku tetap mencintainya dalam do’a.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ia bersikap seperti tidak ada apa-apa. Aku pun mengikuti alur pertemanannya, seperti tidak ada apa-apa. Bahkan orang-orang di sekitar tak pernah tahu bahwa ada cinta di hatiku untuk Mareta. Selama menempuh pendidikan bersama Mareta, aku hanya berteman dengannya. Namun saat di hari terakhir kelulusan SMP atau SMA, dengan gambalang aku menyatakan perasaan. Khawatir terlambat, khawatir kehilangan kesempatan, dan khawatir hari itu adalah hari terakhir aku bersamanya. Dan dihari itu pula, aku siapkan surat untuk Mareta, sama seperti 3 tahun yang lalu, dan aku juga siapkan hadiah untuknya. Berharap ia menjawabnya. Aku butuh kepastian, aku butuh jawaban, aku butuh kata-kata, entah itu tulisan atau lisan, aku butuh iya atau tidak. Bukan diamnya, senyumnya, wajah datarnya, bukan. Aku butuh jawaban. Maka dengan keberanian yang tak perlu aku pancing lagi, masih lengkap dengan seragam kelulusan yang masih melekat, aku menarik Mareta dari kerumunan sahabat-sahabatnya. Menyodorkan sepucuk surat dan sebungkus hadiah manis berisi buku idamannya, aku hanya berucap, “Aku tidak akan pernah berhenti Mar, sampai kau menjawabnya”. Dia menerima pemberianku dan berlalu. Diam tanpa ekspresi. Lagi dan lagi aku harus berkutat dengan rasa penasaran yang hampir 6 tahun bersahabat. Kembali aku tak mampu menafsirkannya. Mareta oh Mareta, gejolak apa yang sedang kamu alami sebenarnya?

Kenapa begitu mahir menyimpannya rapat? Cintakah? Bencikah? Biasakah? Menunjukkannya saja kamu tak pernah apalagi mengutarakannya dengan kata-kata. Dan segiat apapun aku menulis surat untuknya, memberi hadiah untuknya, Mareta masih tak bergeming. Ia masih berdiri dalam diam dan bisunya. Tak menjawab apapun. Aku hanya mampu setia menunggunya, bahkan meski satu hari hidup dalam penantian, lamanya sama dengan satu abad hidup tidak dalam penantian, aku masih mencoba bersabar. Karena mulai dari aku mengenal Mareta yang masih gadis kecil hingga sekarang menjadi seorang remaja anggun, sekalipun ia tidak pernah membina hubungan apapun dengan lawan jenisnya. Dia selalu sendiri dan dia selalu tidak mampu menjawab pertanyaanku. Hingga detik itu, hingga ia akan menjadi seorang mahasiswi sekalipun.

2010. Wisuda S1....
(Bersambung)

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes