Nafsul Mutmainah, Malaikat Keduaku



Nafsul Mutmainah, Malaikat Keduaku
Sering aku mengatakan bahwa ibu bagiku seperti seorang malaikat (pertama) terlihat, karena beliaulah yang benar-benar berusaha mempertahankan senyum di wajahku. Dan pada kesempatan kali ini, aku ingin menceritakan sosok kakak perempuanku (malaikat kedua), Nafsul Mutmainah, begitulah nama panjangnya. Mulai dari pertama kali aku lahir ke dunia hingga detik ini, mbak Nafsul Mutmainah lah yang hidup di dekatku, karena rumah kami bersebelahan sejak dia berkeluarga.
Dia adalah seorang kakak yang tidak pernah memiliki niat untuk menghadirkan tangis dalam hidupku. Jangankan airmata, muka masam pun tak pernah diinginkannya menghiasi wajahku. Lisannya begitu terjaga, aku tak pernah dicela, apa yang aku miliki dan apa yang aku capai selalu dipujinya. Namun, untuk kategori ‘bercanda’, kami memiliki batasannya. Hingga detik ini pun, aku belum pernah mendengar kalimatnya yang berbau ‘hina’ tertuju padaku. Untuk sekedar mengkritik saja, dia hanya mampu melalui perantara dan menggunakan tanda. Dia begitu menjaga, khawatir sikapnya menyakiti adiknya. Namun sungguh, aku sebenarnya tidak apa-apa jika menerima kritikan atau semacamnya dari dia. Hanya saja mbak Nafsul Mutmainah yang terlalu sempurna menjaga perasaan adiknya.

Tempo hari ketika aku ke Jakarta, di detik-detik kepulanganku ke Jawa Timur, ibu dan mbak Nafsul Mutmainah lah yang tetap terjaga mengkhawatirkan keadaanku selama perjalanan hingga pagi menjelang dan hingga aku sampai di tempat tujuan. Dan pasca ibu sakit jantung tahun lalu, jelas membuat ibu tidak bisa hidup mandiri lagi karena harus banyak istirahat. Akhirnya ibu memboyong kan diri dari rumah barat ke rumah timur (rumahku yang bersebelahan dengan rumah mbak Nafsul Mutmainah). Sejak saat itu, mbak Nafsul Mutmainah lah yang merawat ibu dan aku, karena jarak antara rumah kami hanya 3 meter saja. Meski aku bisa memasak sendiri, namun dia tidak pernah memperkenankannya. 

Alhasil, dapur di rumahku pun ditutup. Dan aku menjadi tanggung jawab mbak Nafsul Mutmainah selama liburan/ berada di rumah. Dan mengenai makanan, mbak Nafsul Mutmainah sama seperti ibuku dan sama ketika dia memperlakukan putra-putrinya. Apa makanan kesukaanku, selalu berusaha dia hidangkan. Apa makanan idamanku, selalu berusaha dia buatkan. Lidahku selalu dimanja sempurna. Jadi, aku tidak merasa kehilangan siapa-siapa, selera dan rasa masakan ibuku masih bisa aku santap hingga kini. Terima kasih mbak Nafsul Mutmainah untuk milyaran detik yang terangkai selama hampir 23 tahun aku hidup. Untuk semua jasa, senyum, nasehat, amarah bijak, dan lainnya. Sekali lagi, terima kasih. Ini hanya cerita satu hari dari 23 tahun cerita yang aku punya. Jika aku tuliskan semua, mungkin blog ini akan dipenuhinya.               

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes