Home curahan Ceritaku Mengundang Airmata
Ceritaku Mengundang Airmata
Atiya Fauzan March 04, 2015 0
Beberapa waktu lalu, salah seorang rekan kerjaku bertanya, “Sejak kapan Bu Atiya suka mengarang cerita ataupun menulis fakta?” Mendengar pertanyaan itu, pikiranku dipaksa untuk mengenang pada masa beberapa tahun silam. Dan satu kata yang aku temukan, pesantren. Ya pesantren. Yang begitu identik dengan gerbang besi, tembok tinggi, aturan untuk santri, dan tidak ada handphone, internet, apalagi televisi. Yang ada hanya kitab, buku, surat kabar, kitab, buku, surat kabar, kitab, buku, surat kabar, dan selalu seperti itu setiap hari. Namun, semua itu tidak menghentikan langkah kami (para santri) untuk mencari hiburan. Mungkin ‘imajinasi’ adalah warisan dari santri-santri terdahulu untuk membunuh kebosanan. Dan kami pun santri masa kini, melakukannya juga.Banyak diantara kami, yang mencari hiburan dengan menulis dan bermajinasi. Maka tak heran jika disetiap pesantren akan ada banyak cerpen dan novel yang ditulis dengan tangan dan pena penulisnya langsung. Kemudian karya itu akan berjalan dari satu kamar ke kamar yang lain. Selalu begitu, selalu digilir. Bahagia rasanya bisa menghibur rekan seperjuangan dengan cerita-cerita yang entah akan menjadi apa nantinya. Waktu itu, kami hanya menulis dan terus merangkai cerita. Tanpa tahu apa manfaat sejatinya. Terus menulis, menghasilkan karya, karena dengan begitu, pesantren ini setidaknya lebih indah, dan setidaknya juga dengan menulis kami bisa menekan rindu pada keluarga. Tentu, cerpen demi cerpen, novel demi novel, lahir dari tangan para santri yang mencoba mencari hiburan. Tanpa memikirkan seperti apa tekniknya, kami hanya menulis, karena kami membutuhkan cerita baru untuk mewarnai hidup ini. Meski di perpustakaan pesantren juga banyak bertengger novel-novel, kami tetap menulis mengarang sebuah cerita, tidak pernah takut akan dibaca atau tidak pada akhirnya. Kami hanya menulis dan merasa percaya saja. Dan benar, akan ada banyak santri yang mengantri untuk membaca karya kawannya sendiri. Maka dari itu kami terus menulis, untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain.
Hal kedua yang biasa dilakukan oleh kami (para santri) termasuk aku juga, adalah bercerita melalui lisan. Setiap istirahat sekolah, aku selalu menghabiskan waktu bersama sahabatku yang tolak (sebutan untuk siswa yang sekolah di lingkungan pesantren namun tidak tinggal di pesantren). Aku selalu meminta sahabatku untuk bercerita tentang sinetron atau reality show yang tayang di televise pada malam sebelumnya. Setelah tuntas memahami episode baru yang ditayangkan televise, aku pun bersiap bercerita pada rekan kamarku yang berjumlah puluhan. Sepulang sekolah, aku masih menahan cerita. Biasanya mereka bertanya,
“Gimana? Ada cerita lanjutannya?”
“Tentu” jawabku sambil tersenyum lebar
“Ya udah, nanti ya setelah jama’ah sholat asar” pintanya dengan penuh harap
“Kan sekolah diniyah. Ustadzahku sudah sembuh” balasku
“Oke, setelah diniyah saja”
Begitu tiba pada waktu yang telah dijanjikan, aku akan duduk disudut tengah dengan dikelilingi rekan-rekanku sendiri, mulai dari teman kamar sampai tetangga kamar. Dan aku pun mulai bercerita, tanpa jeda tanpa iklan. Mungkin bagi sebagian orang kegiatan ini terdengar aneh, karena aku lakukan hampir setiap hari. Tapi beginilah salah satu cara kami menghibur diri, bagi yang malas membaca cerita, mereka lebih baik mendengarkan cerita dan mengimajinasikannya sendiri. Dan untuk hal yang satu ini, aku juga sering menceritakan cerita yang aku karang sendiri, tidak hanya dari televisi (yang melalui sahabatku sendiri). Entah bagaimana ceritanya, mereka para pendengar ceritaku akan memberi respon yang membuatku untuk tidak berhenti bercerita. Mereka menjerit saat sang tokoh protagonis dikalahkan, mereka juga menangis saat tiba pada sesi sedih, dan mereka juga akan tertawa jika ada hal yang lucu. Aku bahagia jika mengenangnya. Hingga kini, ingatanku samar akan semua alur cerita dan judul-judul cerita yang pernah aku tulis ataupun aku ceritakan. Tapi kenangannya masih tersimpan kuat.
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment