Home puisi Asal Usul Puisi Tentang Ayah
Asal Usul Puisi Tentang Ayah
Atiya Fauzan March 07, 2015 0
Sebelum menuliskan puisi yang aku tulis kemarin pagi, aku ingin sedikit bercerita kenapa puisi itu ada. Dalam tulisan-tulisan yang lalu, aku pernah menyebutkan nama Epik, keponakanku yang nomer 5. Sejak dia lahir, kami hidup bertetangga hingga kini. Dan hamper setiap waktu dia bermalam di rumahku. Wajar, jika kami begitu dekat. Dia hafal aku, dan aku hafal dia.Dimataku, Epik adalah seorang anak kecil yang aktifdanperiang.Tak ada hari tanpa bercerita baginya. Dan sudah menjadi hobinya juga untuk tampil di atas panggung dan di hadapan banyak orang. Tingkat percaya dirinya bisa dikatakan level 7 (alias level pedas). Maka tak heran jika dia sering mengikuti lomba pidato atau membaca puisi di sekolah formalnya (Pagi-Sekolah Dasar) dan di sekolah non formalnya (Sore-Madrasah).
Dan tebak siapa penulis naskah di setiap penampilannya? Yap! Aku, tantenya sendiri. Selalu begitu. Terkadang dia pulang tanpa apa-apa dan terkadang dia pulang membawa status juara. Kembali ke puisi. Sabtu pagi kemarin, sikecil Epik tiba-tiba nge-BBM. Pesan itu berbunyi, “Lek, buatkan aku puisi ya. Sekarang. Nanti di sekolah ada tugas baca puisi di depan kelas. Oke tak tunggu. Terserah tentang apa. Pokoknya yang bagus.” (Penulisannya tidak serapi ini, tapi serumit ketik-an anak SD). Membaca pesan itu, aku langsung memutar otak, menyalin puisi di laptop akan membutuhkan waktu lama, kasihan si Epik nanti terlambat kesekolah, karena pagi sudah tidak terlalu pagi. Akhirnya aku pun mengetik apa yang ada di otak. Membayangkan rumah, dan mencari obyek yang tidak ada di dalamnya. Ya, ayah. Aku akan menulis tentang ayah, karena menceritakan sosok beliau, aku tidak perlu berpikir panjang. Cukup mengenang dan membayangkan wajahnya. Selesai.
Kala surya masih nyenyak tenggelam
Ayah sudah terjaga di akhir seperempat malam
Melawan rayuan indah setan
Dan berkawan dengan dinginnya malam
Menengadahkan tangan
Merangkai do’a untukku, putrinya tercinta
Saat sinar mentari memanjakan bumi
Ayah berjuang meraih rizki
Meninggalkan anak dan istri
Demi kewajiban bernama ‘menafkahi’
Sekali lagi, itu demi aku, putrinya tercinta
Dan ketika senja datang menyapa dunia
Ayah yang lelah tetap mengejakan cerita
Merangkulku dipenuhi canda
Mengajariku tentang kawan A Ba Tsa
Dan itu hanya untukku, putrinya tercinta
Ayah yang pertama kali mengantarkan tauhid dalam hidupku
Dengan lantunan adzan saat mataku terbuka untuk pertama kalinya
Ayah pula yang dengan bangga menggendongku
Saat aku tidak tahu bagaimana cara menapaki dunia
Dan ayah juga yang menyanjungku penuh haru
Disetiap hal yang pernah aku lakukan untuknya
Ayah
Dimana ibu temukan pria sehebat ayah, imam sebaik ayah, dan ayah sesempurna ayah?
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment