Assalamu’alaikum Jakarta



JAKARTA

            13 Februari 2014 tepat pukul 06.00 WIB, aku melaju ke Bungorasih Surabaya bersama sebuah bus. Butuh 5 jam untuk melalui jalanan Jember – Lumajang – Probolinggo – Pasuruan – dan Surabaya.  Melelahkan memang, tapi dinginnya Air Condition membuat letih itu berkurang. Sejuk, dan aku suka itu. Demi mengejar waktu agar tiba tepat waktu di Bandar Udara Juanda, aku harus bersahabat dengan pagi dalam menempuh perjalanan panjang. 14:35 WIB merupakan jadwal  take off pesawat yang akan membawaku terbang. Tak ingin ketinggalan pesawat, aku sediakan payung sebelum hujan, alias lebih baik menunggu daripada terlambat. Dan benar saja, ada banyak waktu yang tersisa dari kedatanganku di Bungorasih sampai waktu terbang pesawat.
            Setelah selesai melaksanakan rutinitas ibadah di musholla sempit nan kecil milik terminal yang luasnya berkali-kali lipat dari Tawang Alun tersebut, aku segera merapikan barang bawaan dan langsung menuju Bus Damri, yang memiliki rute khusus ke bandara.  Tidak butuh waktu lama, beberapa menit kemudian aku tiba di Juanda, begitulah orang-orang menyebutnya. Usai menjalani serangkaian acara khas, check ini, pemeriksaan, dan lainnya, akhirnya aku tiba di waiting room. Untuk kali pertama aku memasuki ruangan ini. Sebab, hal ini adalah pengalaman pertamaku menggunakan transportasi udara, pesawat terbang. Memikirkannya saja, aku gemetar. Lebih-lebih pasca kecelakaan pesawat yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi, begitu pilot, co-pilot, beserta awak kapal dari maskapai yang akan aku tumpangi tiba, surabaya langsung di guyur hujan. Jelas hatiku makin tak karuan. Dan hasilnya, jadwal ditunda hingga 30 menit lebih.
            Selanjutnya, setelah menunggu cukup lama, akhirnya aku memasuki badan pesawat berlambang singa merah ini. Berada di posisi 22 A yang tepat berada disamping jendela, aku girang bukan main. Karena aku bisa menikmati pemandangan dari ketinggian yang luar biasa dan juga bisa memandangi lembutnya awan yang seperti permen kapas. Ah, ternyata kenikmatan itu tidak bertahan lama, baru beberapa menit terbang, ada peringatan bahwa pesawat sedang berada dalam cuaca dan kondisi buruk, semua penumpang diharapkan mengenakan sabuk pengaman. Maka banyak orang yang sibuk berdzikir, tenang dalam duduk diam. Dan alhamdulillah, keadaan genting itu berhasil dilewati dengan mulus. Beberapa detik kemudian, aku sudah terlelap, dan baru tersadar ketika mengudara di langit Jakarta. Wow, akhirnya perjalanan ini berakhir.
“Assalamu’alaikum Jakarta...” sapaku begitu menghirup oksigen ibu kota. Berbaur dengan ribuan manusia yang lalu lalang, mengejar waktu, menggunakan kesempatan.  Didepan mulut bandara, sudah ada bus jurusan Pasar Minggu yang sudah menunggu kedatanganku. Wah... menikmati senja Jakarta, nikmatnya. Berpacu dengan kendaraan lain untuk menghindari macet, meski hasilnya nihil, bus tetap melaju optimis. Dari balik jendela yang basah oleh gerimis, aku menyantap habis pemandangan yang ditawarkan. Gedung –gedung tinggi yang berdiri angkuh, lampu-lampu yang berpijar lucu, dan jalanan yang meliuk-liuk pasrah. Aku mencoba kembali mengingat, adakah kenangan di dalamnya? Karena ini sudah kali ketiga bagiku untuk mengunjungi kota metropolitan, Jakarta. Namun sepertinya liburan masa kecilku di Jakarta dan study banding masa kuliah dulu di kota yang sama, tak menyisakan kenangan apapun di tempat yang aku lumat sore ini. Ah, biarlah. Pemandangan baru ini cukup menghibur. Dan 2 jam perjalanan untuk rute dekat, membuatku bosan dalam kemacetan. Beginilah hukumnya, setiap kelebihan pasti ada kekurangan yang tersimpan.  Begitu juga denganmu, Jakarta.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes