Home Unlabelled Aku Tidak Ingin Pulang
Aku Tidak Ingin Pulang
Atiya Fauzan February 19, 2015 0
Republika |
“Aku tidak ingin pulang” begitulah bisik hatiku ketika akan meninggalkan Jakarta, persis dengan judul tulisan ini, tidak ada yang berbeda satu kata pun. Buat kalian yang pernah ‘nyantri’ di sebuah pondok pesantren, tentu kalian tahu perasaan gado-gado yang muncul ketika tiba pada hari H harus kembali ke penjara suci. Nyesek, sedih, dredeg, cemas, dan lainnya. Iya kan? Entahlah. Seperti ada kekuatan besar yang menahan kita untuk tetap tinggal di rumah, untuk merasa sedih setiap akan kembali ke pondok pesantren. Yang ada hanya kalimat “aku tidak ingin kembali”. Begitulah perasaan yang aku alami ketika berada pada posisi di Jakarta dan harus kembali ke Jember. Gado-gado.
Ada banyak alasan kenapa ragaku seperti tertahan dalam pelukan sang ibu kota. Selama di Jakarta, aku hanya bergaul dengan sahabat-sahabatku yang berprofesi sebagai wartawan di sebuah majalah dan harian ternama di Indonesia. Beberapa jam aku mengamati aktifitasnya. Beberapa kali aku pelajari kalimat-kalimatnya. Dan semua tentang dia, adalah apa yang benar-benar ingin aku lakukan. Memburu berita, menemui narasumber, menulis sepanjang waktu, memiliki deadline, dan lainnya. Tak hanya itu, ke’asyikan’ lainnya bagiku adalah ketika pergi dari satu tempat ke tempat lain, mendapati lokasi baru, orang-orang baru, pengetahuan baru, ilmu baru, dan hal lain yang serba baru. Rasanya seperti ‘nikmat’ saja, rasanya seperti berada di’luar’ zona aman, rasanya seperti ‘tantangan’ tanpa henti. Dan itu seru. Aku sudah pernah mengalaminya, ketika masa Praktek Pengalaman Lapangan di salah satu stasiun tv local Surabaya. Waktu yang berbatas 2 bulan saja, rasanya kurang dan membuat ketagihan. Bergelut di bidang penyiaran ataupun jurnalistik, adalah sesuatu yang aku anggap sebagai hobi karena aku sukai. Dan menurut Ridwan Kamil (Walikota Bandung), pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang di bayar. Tepat sekali.
Gatra |
Keinginanku untuk seperti ketiga rekanku yang sudah lebih dulu berakrab-akrab ria dengan jurnalistik, seperti tak pernah mendapat dukungan dari mereka. Aku diyakinkan untuk tidak benar-benar terjun di dunia yang sedang mereka bertiga geluti. Alhasil, cerita pahit, kisah penuh duka, mereka sajikan untuk memudarkan semangatku. Hingga aku bertanya-tanya sendiri, masihkah aku menginginkannya? Dan hasilnya, keinginan itu masih ada. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin seperti mereka bertiga. Jauh di dalam mimpiku, aku masih mengharapkan yang sama. Jauh di dalam rasaku, aku sungguh tidak ingin pulang. Tapi itu semua ditutupi oleh keinginan yang lebih besar dari segala keinginanku yang ada, yaitu melihat ibuku tenang dan bahagia. Jika benar memang takdirku, maka akan terjadi. Itu yakinku.
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment