Menantikan Film Diorama Sepasang Al-Banna




            Tahu novel dwilogi Diorama sepasang al-banna dan Dilatasi memori? Yang sudah tahu, selamat kamu beruntung bisa mengenal novel sekeren itu. Yang belum tahu, monggo dibaca secara online di goggle book atau dapatkan di toko buku terdekat.
            Nah, mengenai dua novel tersebut, aku sudah membacanya berkali-kali-kali-kali. Sudah banyak kali, meski tidak sampai ratusan. Dan jika disuruh membaca berulang kali nanti, aku bersedia, tidak akan bosan. Kenapa? Entahlah. Mengikuti alur ceritanya yang sudah aku hafal, membaca kata per kata disetiap deskripsi, aku suka. Novel karangan Ari Nur ini, tidak mampu membuat jenuh. Meski cerita mayoritasnya tentang keilmuan Arsitektur, yang jauh dari duniaku, aku merasa enjoy setiap melahap istilah ‘aneh’ yang belum pernah didengar sebelumnya. Menurutku, disetiap halamannya adalah karya yang indah dan merupakan tulisan yang mempesona. Ari Nur mampu menyihirku untuk ketagihan terus membaca halaman selanjutnya hingga halaman terakhir. Ajaibnya, meski telah membaca sekian kali, emosiku tetap sama, ketika dua tokoh utama dalam novel tersebut -Ryan dan Rani- menjalani ceritanya sendiri hingga mereka bersama dan menghadapi berbagai cobaan kehidupan. Pokoknya We O We (WOW) banget.
            Sayangnya, novel tersebut masih belum difilmkan hingga saat ini. Layaknya novel lain yang sudah lebih dulu divisualkan dalam bentuk film, meski sudah tahu inti ceritanya, para pembaca atau konsumen tetap mau repot-repot menonton, untuk membunuh rasa penasarannya. Membandingkan antara imajinasi yang didapat selama ini dengan imajinasi orang lain yang berupa sebuah film. Sebut saja seperti film fenomenal “Ayat-ayat Cinta” yang meledak di pasaran. Film ini lahir dari sebuah novel best seller, dimana alur ceritanya bukan rahasia lagi. Semua tahu, semua paham, tapi masih berjuang untuk menontonnya. Yaitu tadi, untuk membunuh rasa penasaran. Fahri, Aisyah, dan Maria ada disetiap imajinasi para pembaca novel Ayat-ayat Cinta. Tokoh-tokoh itu sudah dilukiskan sempurna, dan para pembaca bebas menafsirkannya seperti apa. Seperti halnya sosok Fahri, mahasiswa Al Azhar yang sholeh, kamipun para pembaca punya visual tersendiri, maka ketika Fedi Nuril muncul dengan karakter seorang Fahri, ada yang setuju dan ada yang tidak, tergantung seperti apa ekspektasi yang pembaca pasang. Pihak yang setuju merasa Fedi Nuril sudah pas banget Begitulah pembaca plus penonton, selalu memiliki standarnya sendiri dalam memvonis sebuah karya. Tak hanya dari kacamata seorang tokoh, suasana lingkungan dan atmosfer ceritapun demikian. Jujur, aku begitu penasaran dan ingin melihat langsung  seperti apa pertemuan Fahri dan Aisyah, seperti apa rumah Maria, bagaimana kondisi Maria saat sakit, dan lainnya. Dan ketika novel karya Kang Abik ini difilmkan, bak bertemu genangan air di gurun kering, girang.
Begitupun dengan dwilogi Diorama sepasang al banna dan Dilatasi memori, aku sangat penasaran seperti apa sosok Ryan, Rani, dan Dea jika difilmkan. Mereka orang-orang hebat yang ceritanya mampu memberi inspirasi. Maka tak heran jika para pembaca memiliki imajinasi-imajinasi yang sudah dirangkai sendiri, dan tentunya ingin melihat langsung secara nyata. Seperti apa pertemuan pertama Ryan dan Rani, seperti apa foto yang Jaka tunjukkan pada Ryan, seperti apa Al Banna, seperti apa rumah Ryan dan Rani, seperti apa gemasnya Rifki, seperti apa getuk yang difavoritkan Rifki, seperti apa perdebatan Ryan dan Rani, dan masih banyak lagi. Aku begitu penasaran, dan masih menantikannya hingga detik ini. Semoga.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes