Home Unlabelled Hingga Rambutmu Memutih
Hingga Rambutmu Memutih
Atiya Fauzan January 13, 2015 0
Tahun 1985. Ayah bersama Mbak Mutmainah. |
Ketika melihat video klip “Ahmed Bukhatir – Ya Ummi”. Dimana dalam visual tersebut digambarkan seorang anak yang mengalami penyesalan atas apa yang dilakukan terhadap ibunya, dan dukanya dunia ini jika tanpa seorang ibu yang sudah melakukan milyaran kebaikan untuk sang putra.
Melihat video ini, aku teringat pada ayah, cinta pertamaku. Mungkin karena aku sudah kehilangan sosok beliau sama seperti apa yang akan dialami sang tokoh utama video klip. Aku memang masih kecil kala itu, tapi kepergian ayah masih terekam jelas, tanpa cacat cerita sedikitpun. Aku memang hanya memiliki waktu 12 tahun bersamanya, tapi aku bersyukur atas ribuan detik tersebut, karena aku masih diperkenankan melihat sosoknya, mendengar suaranya, dan menerima nasehatnya.
Ya Abi, aku sama seperti tokoh dalam video klip, aku menyesal, aku menyesal, aku menyesal. Aku masih ingat dengan jelas saat aku menolak ajakan ayah untuk shalat dzuhur berjama’ah, aku lebih memilih bermain dengan kawanku lainnya, aku berpikir ayah mengganggu hari libur dan jam mainku, aku lebih memilih mengakhirkan sholat. Aku memang bodoh, kala itu berpikir aku masih SD dan istiqomahnya nanti saja ketika sudah mondok dan jadi santri. Aku tidak pernah tahu, berapa lama lagi ayah akan bertahan menemani kehidupanku. Aku tidak pernah tahu, ayah atau aku dulu yang akan meninggalkan dunia ini. Aku tidak pernah tahu, jika waktu ayah sesingkat ini. Aku tidak pernah tahu, jika ayah memiliki waktu yang tidak banyak untuk membimbingku. Aku tidak pernah tahu, jika semester lalu terakhir kali ayah mengambilkan rapor sekolahku. Aku tidak pernah tahu, bahwa semua anak kecil tidak bisa selalu bersama sang ayah hingga dewasa. Aku tidak pernah tahu, aku tidak pernah tahu Abi. Aku kira ayah akan menjadi imamku hingga dewasa. Aku kira ayah akan selalu ada untukku. Aku kira ayah akan bersamaku selamanya.
Ya Abi, bahkan aku belum sempat memanggil Abi, ayah sudah lebih dulu pergi. Aku sudah berjanji untuk memanggil ayah dengan sebutan Abi selepas datang dari tanah suci. Tapi karena belum terbiasa dan malu, aku berjanji pada diri sendiri untuk memanggil ayah ‘Abi’ ketika liburan pesantren tahun depan nanti. Tapi, itu semua hanya mimpi. Saat aku serius belajar dalam kelas sesuai pesan ayah, saat aku menimba ilmu ditempat yang ayah harapkan, kedua saudaraku menjemput pulang tiba-tiba. Aku yang masih berusia 12 tahun lengkap dengan seragam putih-biru, hanya bisa menangis melihat ayah terbujur kaku, disholati, dan dibawa oleh keranda. Aku sudah kehilangan duniaku. Aku sudah kehilangan jiwaku. Aku sudah kehilangan hatiku. Dan hingga detik ini, mengantarkan ayah ke tempat peristirahatan terakhir adalah duka dan luka terdalam. Namun, meratapinya tidak membuat ayah kembali. Ayah tidak akan pernah bangga melihat putrinya larut dalam kesedihan. Ayah hanya ingin aku melanjutkan hidup dengan lebih baik.
Ya Abi, meski aku tidak seperti anak lainnya, yang memiliki seorang ayah hingga rambut sang ayah memutih, aku tidak apa-apa. Aku akan mencintai ayah hingga rambut ayah memutih, karena ayah selalu ada di hati ini. Aku akan tetap menjalankan amanah ayah meski ayah tidak lagi berada di dunia ini. Dan jika saja ayah diberi pinjaman waktu, satu hari kehidupan, aku ingin memeluk ayah, aku ingin meminta maaf pada ayah, atas waktu yang pernah tidak aku hargai.
(Inilah takdir kehidupanku, scenario Yang Maha Sempurna. Untuk para putra/ putri yang masih diberi kesempatan berbakti, hargailah setiap waktu bersama beliau. Jangan pernah menunda setiap perintah baik beliau, karena kalian tidak pernah tahu kapan beliau pergi, dan kapan waktu tidak bisa dikompromi)
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment