MENU

Kutemukan Engkau Dalam Istikharahku




“Aku mencintainya” ucapku sambil menundukkan kepala.
Mataku menatap rumput hijau yang tercampur lumpur. Disampingku, ada Nabil, yang duduk terheran menatapku lekat-lekat, seakan ingin melahap habis sosokku. Meski sudah satu dekade kami bersahabat, Nabil masih tetap saja blak-blakan ketika aku tanyai pendapatnya. Tak pernah ada yang ditutupinya, dan kejujuran yang mempererat ikatan diantara kami berdua.
“Mei? Kamu serius? Kenapa harus Ilham?” Nabil bertanya sambil mengguncang tubuhku perlahan.
“Ada apa dengan Ilham? Salah jika aku mencintainya?” aku mulai memberanikan untuk menatap wajahnya.
“Kenapa tidak kau balas saja perasaan Faza atau Ikal? Kenapa Ilham yang kamu pilih. Masalah ini bukan main-main, Meivi. Kamu harus benar-benar sadar akan pilihanmu, yang akan menemanimu seumur hidup dan yang akan kau abdikan hidupmu untuknya” Nabil mengucapkannya dengan wajah serius. Layaknya wajah seorang ibu yang menegur anaknya karena bermain game.
“Aku tanya, kenapa jika aku memilih Ilham? Karena dia kehilangan tangan kirinya lantas aku tidak boleh mencintainya? Kenapa kamu berpikir seperti itu Nabil? Apakah orang cacat tidak boleh memperoleh cinta?” jawabku tegas dengan mata berkaca-kaca.
Sungguh, aku ingin menumpahkan airmata. Berharap sebongkah batu yang ada dalam dadaku segera terjatuh. Dan aku bisa menjalani hidup ini dengan ringan. Kenapa semua manusia sama? Berkerut dan meragukan keyakinanku saat aku sebut nama Ilham. Apa yang aku miliki? Sampai-sampai semua orang sepakat aku terlalu sempurna untuk Ilham? Dan apa yang tidak Ilham miliki? Sampai-sampai ia terlalu hina untuk aku miliki. Semua meragukan apakah cintaku adalah sebenar-benarnya cinta. Bukankah kita tidak harus memiliki alasan untuk mencintai seseorang? Kenapa harus ada alasan atas degup jantung, debaran hati, kucuran keringat grogi, yang aku alami untuk Ilham. Jika saja aku tahu alasannya, pasti tak akan pernah aku sembunyikan.
Dan setelah aku benar-benar bisa menahan tumpah ruahnya tangisan, Nabil meraih dan mengenggam tanganku. Sentuhannya menguatkanku. Aku tidak menyesal menceritakan ini semua pada Nabil.
“Meivi, tenanglah. Jangan sampai dalam diskusi ini kita menggunakan nafsu, tenanglah dan pikirkan. Gunakan hatimu dan pikiranmu” bujuknya sembari menggenggam tanganku erat.
“Kamu yang mulai Bil. Kamu yang sedari awal tidak menggunakan hati dan pikiran” balasku dengan wajah yang kembali tertuju pada rumput basah.
“Baiklah, silahkan beberkan alasanmu. Kenapa kamu memilih Ilham”
“Maafkan aku Bil”
“Lanjutkan saja ceritamu”
“Adakah alasan kenapa aku harus menolak Ilham? Jika ada, sebutkan saja, maka aku akan menolaknya. Dia baik, dan dia ada dalam istikharahku. Perlu alasan apalagi?”
“Mamamu tidak mungkin setuju. Dan aku tahu, kamu pasti akan mengikuti pendapat Mamamu”
Nabil benar. Dalam hidupku, sebenarnya ini bukan hanya tentang aku saja. Tapi ada Mama, sahabat, dan lainnya. Aku harus memikirkan mereka. Tapi, Mama sendiri yang menasehatiku dengan mengatakan, Jangan pernah menolak berteman dengan orang baik. Orang baik akan memberikan kebaikan dalam hidupmu. Selalu.
“Bil, aku akui Mama memang ibu yang sempurna bagiku. Mama seperti malaikat yang terlihat. Tapi, Mama bukan malaikat yang sebenarnya. Mama juga punya nafsu, penyakit hati dan lainnya. Mamaku manusia biasa. Jangan terlalu cepat memvonis beliau sebagai ibu paling sempurna yang tidak memiliki cela. Aku akan coba memberikan pengertian pada Mama” jelasku pada Nabil
“Tidak akan semudah itu. Ini kehidupan nyatamu Mei. Bukan kehidupan fiksi yang sering kamu karang bebas. Tidak hanya satu masalah yang akan kamu hadapi jika kamu benar-benar bersama Ilham. Akan ada banyak pihak yang mencoba menjegalmu”
“Aku tahu, aku akan dilirik sinis dan penuh kasihan oleh dunia. Tapi, aku hanya berharap untuk disenyumi oleh akhirat. Ilham adalah pria sholeh, pria baik. Lalu aku kemudian tidak membutuhkan apa-apa lagi darinya”
“Iya, aku tahu itu. Tapi kamu jangan terlalu tergoda dengan asmaramu yang sesaat. Kamu harus hidup dan kamu harus bahagia”
“Aku tahu kamu akan seperti Mama. Terlalu cepat menghakimi perasaan yang aku miliki saat ini. Kamu tidak boleh menghakimi hatiku secepat itu. Pasti alasannya karena Ilham tidak sesempurna Hasyim, calonmu. Benar? Kamu masih memepermasalahkan hal tersebut. Iya kan? Pria baik selalu mampu membahagiakan wanitanya. Tak peduli seperti apapun fisiknya”
“Aku hanya ingin kamu bahagia Mei”
“Lalu? Manusia yang memiliki fisik tidak sempurna seperti lham tidak mampu membahagiakanku? Kamu meragukannya?”
“Kamu tidak akan mengerti yang aku maksud. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kamu Mei”
“Seperti kamu memilih Hasyim? Iya? Jika kamu mencintai seseorang karena fisik, maka kamu akan pergi karena alasan fisik tersebut. Dan jika kamu mencintai seseorang karena materi, kamu akan meninggalkannya karena alasan materi juga. Tapi jika kamu mencintai seseorang karena hati, kamu tidak akan pernah meninggalkannya”
“…”
“Hasyim saat ini laksana pria sempurna bagimu. Kamu rela berikrar mengabdikan seluruh hidupmu untuknya. Aku bangga padamu. Namun, jika suatu saat nanti ada hal yang terjadi, tapi aku berharap semoga saja tidak, apa yang akan kamu lakukan?”
“Hal yang terjadi seperti apa?” tanyanya dengan dahi berkerut
“Semisal Hasyim mengalami suatu kecelakaan, yang merenggut seluruh tampilan fisiknya. Wajahnya, tangannya, sudah tidak seperti dulu lagi. Mampukah kamu meniru Ibu Nikmah? Tetap mengatakan “kamu pria paling tampan” saat dunia mengatakan wajah suaminya menyeramkan laksana monster. Mampukah kamu meniru Ibu Nikmah? Dengan tetap disampingnya sebagai kekasih, pendamping, sekaligus perawatnya. Saat dunia sudah menolaknya. Mampukah? Aku mengatakan ini bukan karena sudah mampu, tapi aku masih berada dalam perjalanan untuk dimampukan” jelasku panjang lebar sembari mengingat sosok Ibu Nikmah. Dosen favorit kami berdua, yang begitu setia mendampingi dan merawat sang suami yang dulunya gagah berprofesi sebagai polisi, namun kini harus kehilangan karisma wajah dan kedua tangannya akibat kecelakaan saat bertugas.
Sedetik kemudian Nabil merasa bersalah, “Maafkan aku”
“Aku juga minta maaf” balasku
“Aku minta maaf bukan karena kalimatmu, tapi karena seharusnya aku yang memberikanmu kata-kata nasihat, tapi ternyata malah sebaliknya”
“Tidak apa-apa, kita bersahabat bukan untuk mencari keuntungan tapi untuk melengkapi”
“Bact to topic. Bagaimana dengan Mamamu Mei”
“Akan aku buat mengerti, akan aku biarkan Mama buktikan sendiri kelayakan Ilham untukku”
“Aku belajar banyak hal darimu untuk hari ini”
“Wanita memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Fatimah Az Zahra ada untuk Ali Bin Abi Thalib. Ibu Ainun ada untuk Bapak Habibi. Dan aku, Meivi ada untuk priaku sendiri. Karena setiap wanita memiliki ujiannya sendiri. Kita adalah kita. Dilengkapi dengan segala perbedaan yang ada”
“Jika Mamamu tetap tidak setuju dengan keputusan beranimu ini, apa yang akan kamu lakukan?”
“Keputusan berani? Memilih Ilham termasuk berani? Please Nabil. Ilham juga manusia, sama layaknya Faza dan Ikal. Dia pria sederhana, jangan kau buat seakan-akan sosoknya begitu kontras dengan hukum umum dunia”
“Maafkan aku Mei. Aku tidak bermaksud demikian”
“Baiklah, maafkan aku juga, karena terlalu sensitive saat ini”
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan terhadap Mamamu?”
“Kamu sudah mengenal mamaku. Meski beliau manusia biasa yang juga penuh salah dan dosa, satu hal yang tidak bisa Mama lakukan, yaitu berbohong padaku. Ilham adalah pria baik, aku yakin insting seorang ibu dalam diri Mama akan mengatakan YES untuk Ilham. Dan aku yakin Mama juga akan menemukan Ilham dalam istikharahnya. Aku akan yakinkan pada Mama bahwa bahagiaku bersama Ilham. Insya Allah, dengan bantuan do’a juga, mama akan meridhoi keputusanku”
“Rencana yang sempurna. Maaf, aku telah memandang sebelah mata sosok Ilham. Ternyata dia bukan sekedar baik tapi juga hebat. Selamat”
Nabil memelukku erat. Aku bahagia, akhirnya dia memahami apa yang ingin aku pahamkan. Aku semakin yakin untuk melangkah. Jika sahabatku mendukung, Mama merestui, dan Allah meridhoi, maka tidak alasan lagi bagiku untuk berhenti.



4 comments :

  1. sama kayak cerpen yg ini bu . Jangan menilai seseorang tanpa mengetahui apa – apa.

    Seorang ayah dan anak laki – laki (24) naik kereta api. Sambil melihat keluar jendela, sang pemuda berkata dengan antusias. “Ayah, lihat! Pohon itu seperti terbang mundur!”. Sang ayah tersenyum. Orang disekitar mereka saling bertukar tatapan, terkesan kasihan akan perilaku kekanakan dari sang pemuda. Tak lama setelah itu, sambil tersenyum sang pemuda berkata “Ayah , lihat! Awan itu mengejar kita!”. Sang ayah tersenyum kembali. “Apakah sebaiknya Anda tidak mencarikan dokter untuk anak Anda?” tanya seseorang di sekitar mereka. Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan menjawab “Sudah kami lakukan dan kami baru saja kembali dari dokter. Anak saya buta sejak lahir dan sekarang ia sudah bisa melihat…”.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah sil... keren banget... hati saya tersentuh. Padahal hanya beberapa kalimat. Jempol.

      Delete
  2. saya selesai baca langsung mrinding bu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sil...sama...ceritanya tidak mudah ditebak

      Delete

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes