Home Unlabelled Sakitnya Kehilangan…
Sakitnya Kehilangan…
Atiya Fauzan October 08, 2014 0
03 oktober 2014, aku kehilangan salah satu kakak sepupu terbaikku. Banyak hal yang terasa kurang ketika memasuki blok rumahku. Ada yang ‘hilang’, itulah yang kurasakan atas kepergiannya. Tidak ada lagi yang menyapa ramah kedatanganku, “Prei lek? Bileh belih?”(Bahasa Madura artinya, liburan dek? Kapan balik?). Melihat rumahnya (yang berhadapan dengan rumahku) pikiran seakan tidak percaya, bahwa sosok yang begitu dermawan memberiku beraneka makanan, yang tersenyum lebar saling lempar joke-joke dengan ibuku, yang memiliki suara khas memanggil namaku, Lek Atik, yang begitu perhatian pada ibuku, yang begitu peduli dan baik pada saudara-saudaraku, ternyata sudah pergi. Sosok itu sudah tidak ada lagi. Beginilah dunia, turut berduka atas kehilangan orang-orang terbaiknya.
Yang aku khawatirkan adalah bagaimana perasaan putra-putrinya dan bagaimana sakitnya hati sang ibunda. Karena sungguh, kehilangan itu tidak sekedar menyakitkan, aku pernah merasakan. Kehilangan seseorang yang kita cinta, rasanya seperti kita kehilangan dunia. Meski luka itu abstrak, sakitnya lebih perih dan lebih ngilu dari luka nyata. Kehilangan itu tak pernah ada obatnya, waktu pun tak bisa menyembuhkannya. Maka untuk orang-orang yang ditinggalkan, harus membawa dan merawat luka itu disisa hidupnya. Yang telah kehilangan, tak bisa berbuat apa-apa selain menerima dan bersahabat dengan sakit serta luka. Entah butuh berapa tahun untuk mengobati kesedihan itu, meski satu dekade telah berlalu, luka itu belum tertutup sempurna. Masih tersisa tanpa mengurangi rasa sakitnya. Kehilangan seseorang yang tak akan pernah kembali, yang kita cintai, itu berarti hanya sampai disitu kenangan terangkai. Senyumnya, marahnya, nasehatnya, bijaknya, kebaikannya, hanya sampai disitu. Maka simpanlah dengan baik kenangan itu, dan rangkailah kenangan terbaik dan terindah dengan orang-orang yang masih ada disisi kita.
Sungguh sakit ditinggalkan tanpa tahu kapan waktu akan mempertemukan kembali. Hanya mampu berharap melihatnya lagi dalam mimpi, hanya bisa mengenang dan mengenang. Aku bisa bicara panjang lebar tentang sakitnya kehilangan, aku bisa merasakan sedihnya ditinggalkan, karena tepat diusia 12 tahun aku kehilangan seorang pria yang begitu aku cinta, yang aku panggil dengan sebutan ‘Bapak’. Yah… aku sudah bilang bahwa aku pernah merasakannya. Bagaimana sesaknya dada, bagaimana rasanya dunia runtuh, bagaimana ngilunya hati, bagaimana perihnya mata yang tak pernah kering, bagaimana menangis dengan mata dan menangis dengan hati, bagaimana terguncangnya jiwa, tatkala sosok itu terkubur dalam tanah dan yang tersisa hanya nisan dengan sebuah nama. Itu saja.
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment