Aku Berhenti Mengharapkanmu

Perjalanan hidup memang tidak selalu mulus, akan ada kerikil yang membuat kita jatuh dan sakit. Semuanya pernah mengalami hal yang sama. Pertanyaan terpentingnya adalah, bukan seberapa banyak kita terjatuh tapi apakah kita bangkit dan meneruskan perjalanan? –Atiya Fauzan
            Kecewa. Satu kata yang diperoleh manusia tatkala harapan tak sesuai dengan kenyataan. Inilah yang disebut masalah. Satu hal ini membuahkan warna tersendiri dalam kehidupan seseorang. Sekarang bahagia, besok kecewa. Bukankah seperti itu kehidupan yang indah sesungguhnya? Lukisan selalu menakjubkan karena menampilkan perpaduan dari banyak warna. Pun sama dengan kehidupan, akan menakjubkan juga jika memadukan banyak warna perasaan.
            “Aku berhenti mengharapkanmu”, mungkin kalimat inilah yang coba kita pelajari tuk diucapkan dan diaplikasikan. Benar memang kata Tere Liye, sebenarnya yang membuat kecewa itu adalah diri kita sendiri, kita yang mengharap, kita yang bermimpi, dan kita pula yang kecewa. Aku setuju memang dengan pendapat Bang Tere Liye. Sederhananya begini, ketika kita tidak merangkai harapan-harapan dan ketika kita tidak menginginkan janji sepihak, maka kita tidak akan pernah kecewa. Namun, benarkah kita bisa hidup tanpa harapan? Benarkah kita bisa bernafas tanpa imbalan dari kerja keras? Benarkah kita bisa membuka mata tanpa keinginan pemenuhan janji yang ditawarkan dunia?
            Aku, kamu, kita, tidak terlalu mampu untuk menjalani kehidupan tanpa harapan. Setiap detik selalu berharap. Tentu mengharapkan akibat yang baik dari setiap apa yang kita lakukan, dari setiap apa yang orang lain janjikan, dari setiap apa yang dunia tawarkan, dan dari setiap apa yang kehidupan suguhkan. Lelah memang, karena kita sudah tahu kemana harapan itu bermuara pada akhirnya, ‘sesuai’ atau ‘tidak sesuai’, ‘berhasil’ atau ‘gagal’. Tapi kita terus berharap, bahkan didetik terakhir pun, kita masih mengharapkan harapan yang kita harapkan.
            Dan ketika ujungnya ditemukan, hanya ada dua pilihan, kecewa atau bahagia. Jika harapan itu selesai dan berakhir bahagia, kita tentu hanya tersenyum menikmati kehidupan, bersyukur atas akibat baik yang didapatkan, dan bahagia ya bahagia. Rasa yang membuat hidup manusia lebih berwarna, lebih berarti, lebih indah, dan lebih baik. Namun saat harapan itu selesai dan melahirkan kecewa, maka kecewa ya tetap kecewa. Mau seberapa panjang kalimat Mario Teguh yang dibaca, pahit itu tetap ada. Benar bukan? Jika boleh menjiplak kalimat iklan (Le Mineral, “kayak ada manis-manisnya gitu”), kecewa itu rasanya kayak ada sakit-sakitnya gitu.
            Maka jalan terakhir yang bisa diambil, tetap berharap, tetap bahagia, dan tetap kecewa. Karena seberapa kuat kita mengatakan, “aku berhenti mengharapkanmu”, kita tidak pernah bisa untuk memusnahkan harapan dari benak kita masing-masing. Selalu saja mengharapkan meski kita tidak ingin mengharapkannya. Karena hati tak sama dengan tangan. Jika tangan bisa kita perintah untuk mengambil, mengusap, memukul, namun berbeda dengan hati. Tidak serta merta saat lisan berucap ‘benci dia’, ‘sayangi dia’, lantas hati menurutinya dan melakukannya. Tidak. Hati memiliki rahasinya sendiri, bagaimana dia beroperasi.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes