Bidadari Surga Yang Lain

            “Ibuku, Bidadari Surgaku”, seringkali aku menuliskan ungkapan itu distatus BBM dan lainnya. Namun, yang ingin aku tulis kali ini adalah sosok yang bagiku adalah bidadari surga pula, namun bukan ibu. Ada bidadari surga yang lain dalam kehidupanku, dan mungkin juga kalian. Dia adalah Mauluatul Hidayah, tertakdirkan sebagai kakak sulungku, dia layaknya cahaya kala padam, layaknya air kala kehausan, dan layaknya ilmu kala aku tak tahu apa-apa.
            Mbak Luluk, begitulah aku memanggilnya. Sejak ayah tiada, selalu nama dan tanda tangannya lah yang menghiasi rapor indahku. Tak ada kalimat yang pantas mendeskripsikan cinta dan kasihnya kepadaku, hanya hatiku yang tahu. Dimasa pesantren, dia yang menjengukku satu bulan sekali, mengikuti rapat sekolah, menghadiri imtihan pondok, dan mengambil raporku. Aku kecil yang selalu menangis setiap akan kembali ke pesantren, selalu berhasil ditenangkannya. Dan karena motivasinya pula, aku yang ‘ogah’ kembali, menjadi ikhlas menimba ilmu jauh di rumah. Rutin pula aku sehari tinggal di rumahnya sebelum proses kembali ke penjara suci. Detik itu, detik paling berat dalam hidupku, Mbak Luluk yang bertugas mengantarku ke pesantren akan membiarkan aku seharian menangis di kamarnya. Benar-benar seharian menangis, dan diantara itu semua, Mbak Luluk menghiburku dengan masakan-masakan luar biasanya dan tentu apa yang dibuatnya selalu menjadi favoritku (karena aku belum pernah merasakan apa yang dimasaknya tidak aku sukai, semuanya selalu aku sukai). Usai menangis, dan makan, ibu tiga anak tersebut akan memberi wejangan yang menentramkan hati. Hingga mampu membuat diriku kembali ke pesantren dengan lapang dada tanpa kesedihan.
            Masa-masa kuliah pun, saat pendaftaran diberbagai universitas dan aku ditolak, Mbak Luluk yang sudah berlelah-lelah mengantarkanku ke Probolinggo untuk proses administrasi, ke Malang tes ini itu, ke Surabaya tes lain-lain, tetap tersenyum atas kegagalanku. Dan pada akhirnya aku memiliki takdir dengan Jember, kota yang begitu Mbak Luluk cintai. Karena bertahun-tahun ia habiskan pendidikannya di bumi suwar-suwir tersebut. Meski harus meninggalkan suami dan anak, Mbak Luluk tetap dengan senyum khasnya mengantarkanku untuk pertama kali menghadapi dunia luar, mengajariku bagaimana harus hidup, dan menyiapkan mentalku hidup mandiri tanpa seorang pun yang aku kenal di Jember.
            Selama kuliah, aku menghadapi hidup yang lebih berwarna daripada di pesantren dulu. Kadang suka, kadang duka. Kepada Mbak Luluk lah aku setorkan cerita-cerita ku. Dan kalian tahu, wejangan khasnya hampir setara bijaknya dengan motivator ternama Mario Teguh. Kalau hati panas, dia mengademkan. Hati sedang kusut, dia meluruskan. Hati lagi galau, dia sembuhkan. Begitulah yang aku pahami selama ini.
            Memang sering dia mengatakan bahwa dia bukanlah kakak yang sempurna untuk ketiga adiknya. Namun bagi kami, ketidaksempurnaannya telah menyempurnakan hidup kami semua, apa adanya dia, itulah yang kami cintai. Bukan karena ribuan perhatiannya yang begitu dahsyat, bukan pula karena sosoknya yang mengabdikan diri untuk kami adik-adiknya, dan bukan juga karena jasa-jasanya selama ini demi kebahagiaan serta senyum kami semua. Sungguh, bukan. Memang dia melakukan itu semua, perhatian, pengabdian, dan jasa kebahagiaan untuk ketiga adiknya. Tapi, meski ia tak melakukannya, kami tetap mencintainya apa adanya. Karena apa? Karena Allah SWT. Karena Allah telah mentakdirkan sosoknya sebagai kakak tertua yang harus kami hormati dan sebagai putri sulung dari orang tua kami yang harus kami cintai.
Aku mencintainmu, bidadari surga yang lain-ku.

(Selamat jalan untuk Mbak Luluk dan keluarga, 5 September 2015. Semoga menjadi haji yang mabrur, dimudahkan segalanya, dan kembali sehat ke tanah air. Meski aku tak berpesan, aku tahu Mbak Luluk akan memanggil namaku di tanah suci layaknya Ibu memanggil namanya dan namaku dulu)
Peluk dan cium dari Jember, Si Bungsu @atiyafauzan.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes