Bagaimana Pelukan Dan Ciuman Di Keluargamu?




            Pertanyaan ini lahir ketika aku dihadapkan dengan keluarga yang kaku dan statis. Tanpa obrolan, candaan, apalagi pelukan dan ciuman. Hanya ada kalimat tanya, kalimat perintah, dan kalimat jawab. “Sudah makan?” “Matikan TVnya” “Iya” “Tidak”. Aku hanya bisa bergumam dalam hati, bagaimana mereka tahu indahnya kehidupan, jika dengan orang terdekatnya saja demikian. Bagaimana cara mereka tertawa menikmati hidup bersama orang-orang terkasih. Dan bagaimana mereka mengaplikasikan perasaan hati ketika tidak ada media untuk hal tersebut.
            Obrolan, candaan, pelukan, bahkan ciuman (kening atau pipi) menjadi kehidupan sehari-hariku ketika di rumah. Akan ada sesi ‘ngobrol’ disetiap harinya, dari hati ke hati (4 mata) atau ngobrol bareng. Disaat obrolan ini dijalin, semua mata harus berinteraksi satu sama lain, tanpa gadget dan tanpa lamunan. Jika ada yang demikian, ibu biasanya akan menegur langsung, “Kok HP terus yang diotak-atik, belum selesai urusannya?” Entah siapapun yang melakukannya, ibu akan mengkritik tanpa pernah pandang bulu. Anak sulung favoritnya, anak kedua kesayangannya, anak ketiga andalannya, atau anak bungsu semata wayangnya. Semuanya sama. Jika berkumpul, jika bersama, jika berkomunikasi, jika mengobrol, letakkan semua atribut kesibukan dan fokuslah pada satu hal yang berharga, keluarga.
            Candaan. Menjadi menu wajib dalam keluarga kecilku. Jika aku mengingat, tidak pernah seharipun aku hidup tanpa canda dan tawa (terkadang juga canda itu berakhir tangis). Ada saja hal-hal lucu dan unik yang menghibur disetiap harinya. Entah dari ibu (yang memang sudah spesialis dalam hal ini) atau dari kakak-kakakku dan juga keponakan-keponakanku. Mengeluarkan kalimat-kalimat lucu nan menghibur, bertingkah dengan unik yang mengundang tawa, dan saling mengusili satu sama lain. Dan tentang kelucuan-kelucuan yang aku alami pribadi, aku pernah menangis (dan ditertawakan semuanya) tatkala menganggap serius akting kakak tentang penyakit ibu, aku pernah lari terbirit-birit dengan uraian airmata tatkala dikejar keponakan kecilku yang sedang memegang ulat, aku pernah menjerit dan akhirnya tersenyum saat ditakut-takuti dalam kegelapan, aku pernah tertawa kocak saat melihat tingkah dan ekspresi salah satu kakakku yang terkenal pendiam dan anggun dimata umum (padahal…), aku pernah senyum-senyum sendiri saat mengetahui kakakku yang menjadi tersangka utama  dari kasus lucu yang diselidiki ibu (dugaan tersangka adalah aku dan keponakanku), aku pernah menomorduakan Raditya Dika saat kakak gantengku mengeluarkan kalimat-kalimat gokilnya, aku pernah, aku pernah, aku pernah, dan masih banyak hal lagi yang tidak bisa aku tulis satu persatu dalam paragraf ini.
            Mengenai pelukan dan ciuman (kening atau pipi), bukan hal asing lagi dalam keluargaku. Ibu memeluk anak-anak dan cucunya, kakak memeluk adiknya, keponakan memeluk om atau tantenya, atau sebaliknya, sudah menjadi hal biasa yang sering dilakukan. Begitupun dengan ciuman yang mendarat di pipi. Saat sedang asyik berdiri menata baju dilemari bagian atas, tiba-tiba kakak sulungku memeluk dari belakang dan mendaratkan ciumannya di pipi sembari berbisik “I love you At” (entah ia belajar darimana padahal ia bermusuhan dengan drama korea apalagi sinetron indonesia), bukan hal aneh memang, tapi entah kenapa kami semua bertindak sebagai korban yang pura-pura tidak suka dan risih (tentu diselingi canda). Meski aku protes, kakakku tetap mengulanginya, begitupun dengan keponakan-keponakanku, meski mereka protes, aku tetap mengulaginya. Berbeda dengan ibu, mau seberapa sering anak atau cucunya memeluknya dan menciumnya, ibu tidak pernah protes. Meski dalam sehari semalam sudah terjadwalkan 7 kali aku mencium pipi kanan dan kiri beliau, ibu menerimanya dengan bahagia. (kecuali Ikal, cucu termuda yang memiliki kebiasaan unik dalam hal ini).
Membicarakan masalah Ikal, dia adalah keponakan yang aku hindari bukti sayangnya (pelukan dan ciuman). Setiap kali dia membutuhkanku (entah untuk memandikan, minta uang, menemaninya makan atau lainnya), dia akan memasuki rumah dan kamarku dengan sendirinya, jika mendapati aku sedang tertidur atau sibuk dengan hal lain, Ikal yang baru berusia 2 tahun akan memanggil ketiga kakaknya dan mengajaknya ke kamar. Alhasil, tubuhku dipegangi oleh kakak-kakaknya yang kemudian dengan heboh berteriak “Hayo Ikal, cium lek atik, cium, cium, cium, cium…” lantas Ikal kemudian mendaratkan mulutnya di pipiku tentu dengan seluruh air liur yang membasahi wajah. Huft. Aku terpaksa menyerah pada si kurcaci kecil nan menggemaskan tersebut. Karena sering juga aku mengusili keponakan-keponakan kecilku. Seperti saat mereka berkata, “Lek, lihat Thomas di laptop”, maka dengan otomatis aku menyahut, “Sayang dulu”, dan dengan segera mereka mencium pipiku. Aku menuruti mereka jika mereka menurutiku. “Lek, minta coklatnya”, “Sayang dulu”, “Lek, aku nginep sini ya?”, “Sayang dulu”, “Lek, aku mau makan”, “Sayang dulu”, “Lek, minta uang”, “Sayang dulu”, “Lek, belikan es krim”, “Sayang dulu”, de el el.
Hal lain mengenai ini adalah kebiasaan telingaku mendengar “I love you, At”, “Aku sayang lek atik” “Hmmm… anak kecintaanku”, dan lain sebagainya. Aku pun demikian, membalasnya dengan kalimat-kalimat penuh cinta juga, mulai dari menggunakan bahasa Madura, Indonesia, hingga Korea. Apapun itu bahasanya yang digunakan, bahasa cinta akan selalu mudah untuk dipahami dan dimengerti. Benar begitu bukan? So, yuk budayakan obrolan, candaan, pelukan, dan ciuman di keluarga.
#SelamatPagiJember #SelamatPagiProbolinggo #SelamatPagiBondowoso          

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes