Home cerpen Pohon Mbing (Cerpen)
Pohon Mbing (Cerpen)
Atiya Fauzan July 06, 2015 0
Belasan tahun yang lalu, saat aku memasuki usia remaja sebagai seekor burung betina, seharusnya aku bahagia, karena itu artinya mendapatkan ijin untuk terbang diluar Pohon Mbing. Meninggalkan keluarga, berburu, menikmati indahnya alam negeri burung, mengunjungi Pohon Manrai yang katanya memiliki sangkar emas, Pohon Mawin yang katanya dihuni oleh burung berbulu indah, dan pada akhirnya kembali pada Pohon Mbing dengan membawa sejuta oleh-oleh cerita untuk aku bagikan pada Ayah dan Ibu. Namun, pada kenyataannya tidak demikian yang terjadi padaku. Tepat dihari yang sama, dihari seharusnya aku bahagia, tiba-tiba ada serbuan dari manusia. Mereka menyerang Pohon Mbing. Memisahkanku dengan keluargaku. Menjadikanku sebatang kara. Aku terisak diantara Pohon Mbing yang porak poranda. Ada ratusan tangis lainnya, meski tahu Ayah dan Ibu tidak akan kembali, aku tetap menangis, meski tidak ada gunanya airmata ini, aku tetap menangis.“Jangan menangis, ikutlah denganku, setiap pohon pernah mengalami hal yang sama” ucap sosok yang buram dalam penglihatanku yang penuh air mata.
“Siapa yang manusia ambil darimu?” tanyaku
“Tidak ada. Keluargaku berhasil menyelamatkan diri” jawabnya
Aku geram. Jelas dengan mudah mengatakan untuk tidak menangis, karena ia tidak tahu bagaimana sakitnya kehilangan, perihnya ditinggalkan, dan putus asanya hidup tanpa siapapun.
“Aku tahu yang kamu rasakan. Jangan dikira aku tidak memahaminya. Jika kamu tidak memiliki siapapun kini, aku bersedia menjadi siapapun yang kamu inginkan. Aku Popo” balasnya dan lantas memperkenalkan diri.
Menyadari niat baik itu, tidak mungkin aku terlunta dan berharap belas kasih dari sahabatku yang juga mengalami hal yang sama. Popo, seekor burung jantan yang baru kukenal beberapa saat, aku percayakan esokku padanya. Setidaknya dia memiliki hati yang tulus, memiliki empati, dan mensejajarkan diri dengan kesedihan yang meliputi Pohon Mbing.
“Aku Qoqo”
“Bisa terbang? Akan kuantar kamu menemui keluargaku yang juga akan menjadi keluargamu dan sahabatku yang juga akan menjadi sahabatmu” ajaknya
Dan sejak saat itulah, kami bersama, dimana ada Popo disitulah aku berada. Begitupun sebaliknya.
***
Sepuluh tahun berlalu. Aku dan Popo bukan lagi burung kecil yang memiliki sayap lemah. Kami berdua menjelma menjadi burung dengan sayap yang kuat nan indah. Kedewasaan yang membuat kami berubah. Tidak ada yang berbeda. Keluarga Popo tetap menjadi keluargaku. Sahabat Popo tetap menjadi sahabatku. Dan Popo tetap menjadi sauadara sekaligus sahabatku. Tidak ada yang berubah. Namun, pada akhirnya aku menyadari sesuatu. Mereka sama dan aku yang berubah.
Perhatian Popo, hati baiknya Popo, pengorbanan Popo, kesetian Popo, membuat hatiku mencintainya. Entah mulai kapan dan hingga kapan. Namun, aku tidak lebih dari seorang adik atau sahabat baginya. Maka dengan lantang aku membuat keputusan untuk meninggalkan Pohon Mbing yang pada intinya meninggalkan Popo.
Aku tidak ingin merusak apa yang sudah kami bangun selama ini, tali persaudaraan. Dan ‘pergi’ merupakan cara ampuh untuk melupakan Popo serta semua kenangan tentangnya. Aku percaya bahwa tempat baru, suasana baru, kawan baru, akan memberi nuansa baru juga pada hatiku. Dengan cekatan, aku siapkan segala keperluan untuk menuju sebuah tempat baru. Istana Margalenta, menjadi pilihanku, karena hanya burung-burung luar biasa yang bisa tinggal di dalamnya. Mengabdi untuk Raja Negeri Burung.
Tanpa Popo ketahui, aku mempersiapkan segalanya. Dan aku berjanji, di hari kepergianku, akan kukatakan semuanya. Setidaknya dengan begitu, aku tidak terlalu berat untuk meninggalkan Pohon Mbing dan juga Popo atau tidak terlalu sakit saat berikrar untuk tidak pernah melihat sosok Popo lagi.
***
Siang yang melelahkan, santai usai perburuan di sebuah dahan yang menjadi tempat favorit kami. Sejuk dan rindang.
"Aku akan terbang ke Istana Margalenta, Po" ucapku tiba-tiba dengan kepala menunduk, menghindari tatapan matanya.
Inilah saatnya aku sampaikan rencana kepergianku. Tidak ada waktu lagi. Aku hanya bisa menatap tanah, karena aku tahu, Popo sangat mencintai Pohon Mbing, rumah kami berdua dan ribuan burung lainnya. Semalampun ia tidak pernah meninggalkan Pohon Mbing, begitupun denganku.
"Baik, akan aku antar. Hari ini?" tanyanya dengan suara datar.
Mungkin dia tidak suka aku menyebutkan nama Istana Margalenta, tempat impian dari semua burung di negeri ini, kecuali Popo. Semua tahu bahwa burung yang pergi ke tempat mewah nan megah tersebut hanya untuk dua hal, berpesta atau bekerja.
"Iya hari ini, Po. Waktuku tidak banyak. Aku akan tinggal disana, dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi ke Pohon Mbing" jawabku dengan mata berkaca-kaca.
Popo mendengus marah, dahan yang kami berdua pijak bergetar hebat. Lantas ia mencecar,
"Qoqo, kamu kenapa? Ada yang memusuhimu disini? Ada yang mengancammu? Ada yang menyakitimu? Siapa? Katakan!"
Aku tahu dia kesal. Sejak keluargaku dibantai oleh manusia biadab, hanya Popo yang aku punya. Bertahun-tahun kami bersahabat, hingga menjadi sepasang burung yang saling tergantung satu sama lain. Namun, seiring waktu yang menua, aku merasakan hal yang berbeda.
"Qoqo, jawab!!!" bentaknya.
Angin yang menerpa tubuhku serasa tidak menyejukkan lagi. Ini bentakan pertama yang aku terima dari Popo.
"Aku mencintaimu, Po. Dan aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri serta dirimu" ucapku dalam hati.
Sebesar apapun keberanian yang aku miliki, kalimat itu tidak pernah keluar. Aku tetap mematung dan terdiam. Popo menatapku yang tertunduk lemah dan kemudian ia terbang meninggalkanku sendiri tanpa menyisakan kata. Sepeninggal Popo, aku hanya bisa terisak dalam airmata, entah harus menangisi kesedihan yang mana. Membuat Popo marah atau keputusan bodoh yang aku buat atau perasaan yang tidak bisa aku atasi atau sikap Popo yang tidak mencoba untuk menahanku pergi.
***
"Terbanglah Qo" ucap Popo datar.
Meski malam ini waktu terakhirku di Pohon Mbing. Sedikit pun dia tidak ingin mencegah kepergianku. Jika satu kata saja, "Jangan Qo" ia ucapkan, tentu dengan senang hati aku akan tetap tinggal di Pohon Mbing.
"Baiklah Po, aku pergi" aku menjawabnya juga dengan kalimat tak bernada.
Ah, mungkin sudah baiknya seperti ini. Bertahun-tahun tinggal di Pohon Mbing, bukan hal yang mudah bagiku untuk meninggalkannya begitu saja. Apalagi terbang ke Istana Margalenta, sedetik pun aku tidak akan bisa kembali ke Pohon Mbing. Mulai besok hingga aku mati dan menjadi seekor bangkai, aku harus membuka lembaran hidup baru. Melupakan segala hal tentang Pohon Mbing, termasuk Popo.
"..." aku diam, tidak ada yang bisa aku ucapkan lagi.
Tapi tidak dengan Popo, dia benar-benar tidak mencegah kepergianku. Menasehatiku panjang lebar agar menghiasi sayap terlebih dahulu, membawa perbekalan, agar mempelajari setiap inchi Istana Margalenta, dan agar menjadi burung yang berakhir dengan sebuah nama yang akan dikenal seluruh penduduk Negeri Burung. Benar sudah keputusanku untuk meninggalkan Pohon Mbing beserta dirinya. Popo tidak merasakan apa yang aku rasakan. Aku hanya Qoqo, yang perlu dikasihani, maka dari itu Popo teramat menjaga dan menyayangiku.
“Selamat tinggal, Po” ucapku ditengah penjelasan panjangnya tentang yang harus aku hadapi ke depan.
“…” Popo mendadak terdiam.
“Terima kasih untuk semuanya.” Aku menunduk, tak menghiraukan langit yang dihiasi bintang.
“Ini adalah keputusanmu Qo, aku hanya bisa mendukungmu. Kamu tahu yang terbaik untuk dirimu sendiri. Aku takut salah jika harus mengguruimu.” Ia juga menunduk.
“…” Aku yang kini terdiam, sedikit menyesali keputusan untuk jauh dari Popo dan Pohon Mbing.
“Jangan sedih, meninggalkanku tidak sesakit saat kamu ditinggalkan oleh Ayah dan Ibumu. Kamu pasti bisa mengatasinya. Disana, pasti akan lebih banyak burung-burung lain yang lebih baik dariku. Namun, kapanpun kamu ingin kembali ke Pohon Mbing, silahkan. Dan aku tidak akan menunggumu, setidaknya itu tidak membebanimu. Kembali atau tidak, aku rasa kamu akan memilih pilihan yang tepat” pesan Popo.
Sontak saja airmataku berhamburan keluar. Menangis terisak di hadapan Popo. Dengan pandangan yang sama saat pertama kali aku meilhatnya, buram, aku terbang meninggalkan Popo seorang diri. Terbang entah kemana malam ini,aku hanya ingin gelap cepat berlalu. Aku ingin pagi segera membawaku pergi ke Istana Margalenta. Tanpa Pohon Mbing dan tanpa Popo.
About Author
Ibu rumah tangga yang selalu dibuat bahagia oleh imam hidupnya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment