MENU

Cerpen_Dad n Mom, I Will Always Love You

“Dad and Mom, I will always love you”
      Udara dingin menembus jaket yang kukenakan. Argh… dingin sekali. Kulihat teman-temanku tertidur lelap dalam pelukan malam. Di serambi masjid inilah kebanayakan santri menghabiskan malamnya dalam mimpi. Aku masih tetap bertahan membuka mata, menerawang jauh, mengingat semua nikmatNya hingga aku bisa berada di pesantren ini.
Bermula saat aku terlahir di keluarga Kristiani. Papa dan mamaku adalah umat kristiani yang taat. Akupun demikian. Mengikuti apa yang kedua orangtuaku lakukan. Rutin pergi ke gereja, misalnya. Semuanya berjalan normal dan lancar. Namun, sejak Qanita, sahabatku didunia maya hadir dalam hidupku, semuanya perlahan berubah. Qanita mengenalkanku dengan Islam, agamanya. Timbul keraguan dalam diriku. Selama berhari-hari aku dilanda dilema. Jika memang kelak aku tidak sejalan lagi dengan Papa dan Mama, aku tidak mau menyalahkan kedua orangtuaku. Setiap orang berhak menganut agamanya masing-masing yang diyakininya. Jika yakin itu perlahan sirna pada diriku, aku tentu berhak untuk mencari yang benar-benar aku yakini. Petualangan ilmupun dimulai. Setiap hari aku sering chatting atau telpon Qanita. Menanyakan segala sesuatu yang aku sendiri tidak tahu jawabannya. Dengan sabar, Qanita mau mengajariku banyak hal. Aku tanyakan mengenai arti Islam, kenapa harus Islam, dll. Aku lakukan semuanya tanpa sepengetahuan Papa dan Mama. Aku tidak siap untuk mengatakan semuanya. Papa dan Mama pasti akan kecewa padaku, putri tunggalnya.
Hari berganti hari, aku semakin mengenal Islam dan semakin ingin mengenalnya. Coba aku tepis rasa takutku pada Papa dan Mama. Kemantapanku sudah tidak dapat ditawar lagi. Aku yakin akan jalan ini. Dan sebelumnya, aku tidak pernah seyakin ini dalam hal apapun. Dengan sekuat tenaga dan daya, aku beranikan diri menceritakan dan memohon ijin atas keputusanku pada Papa dan Mama.
“Pa… Ma… Natali ingin membicarakan sesuatu” ucapku disertai keringat dingin. Papa dan Mama yang sedang menonton TV mencoba memperhatikanku sejenak.
“Ada apa sayang? Kok kayaknya serius” balas Mama
“Natali bolehkan minta waktu Papa dan Mama sebentar?” tanyaku dengan grogi
“Tentu dong sayang. Pa… matikan dulu Televisinya” perintah Mama pada Papa
Dalam sekejap, perhatian Papa dan Mama tertuju padaku.
“Begini, kalau seandainya Natali tidak setuju dengan pendapat Papa dan Mama, apakah Papa dan Mama akan kecewa?” tanyaku perlahan
“Nggaklah Natali, kamu bebas bersuara. Papa tidak mau mengekang kamu” kata Papa bijaksana
“Kalau Natali berjalan berbeda arah dengan Papa dan Mama, apakah Papa dan Mama akan marah?”
“Maksudnya apa sich sayang?”
“Jawab saja Pa, Ma”
“Selama itu baik menurutmu, ya silahkan saja. Tidak selalu orangtua lebih baik dari anaknya. Memangnya ada apa?”
“Natali ingin menjadi seorang Muslimah” ucapku tegas
“Natali… kamu yakin?” ucap Mama lirih
Aku hanya menganggukkan kepala.
Mama menangis sesenggukan. Aku terdiam, tidak bisa berkata-kata. Aku tidak menyesal telah melakukan semua ini. Aku lihat Papa juga terdiam menatap keluar dengan mata berkaca-kaca. Berdosakah aku?.
“Natali masuk kamar” perintah Papa tanpa melihat wajahku. Aku menuruti kemauan Papa. Orangtua mana yang tidak shock mendengar putri semata wayangnya berpindah agama. Aku mengerti apa yang sedang dirasakan Papa dan Mama. Aku coba bersabar dan berharap, jalanku selalu dimudahkan.
Empat jam berlalu, Papa dan Mama masih belum memanggilku. Aku termangu didalam kamar. Sejak tadi samar aku dengar perbincangan Papa dan Mama, namun aku sama sekali tidak memahaminya.
“Natali…” panggil mama dari luar kamar
Akhirnya, aku dipanggil juga.
“Iya ma…”
Dengan tangan gemetar, aku buka pintu kamar. Terlihat mata Mama yang sembab. Maafin aku ma.
“Papa dan Mama ingin bicara denganmu”
“Iya ma, Natali siap”
Dengan pegangan yang kuat, aku genggam jemari Mama menuruni tangga rumah. Papa menungguku dibawah tanpa senyuman. Aku ingin semua ini cepat berlalu. Aku berusaha untuk kuat, namun tidak bisa. Aku tidak berani menatap mata Papa. Aku tertunduk lemas.
“Dari siapa kamu mengenal Islam?” tanya Papa to the point
“Qanita, teman Natali di dunia maya”
“Sejak kapan kamu sembunyi-sembunyi mempelajari Islam?” tanya Papa lagi
Papa sama sekali tidak melihat ke arahku. Mama tertunduk dalam, dengan sesekali menjatuhkan buliran airmata.
“Satu bulan lalu”
“Kenapa kamu ingin mengenal Islam?”
“Keyakinan Pa”
“Sekarang kamu sudah masuk Islam?”
“Belum”
“Papa tidak mau memaksamu untuk meyakini apa yang Papa dan Mama yakini. Kamu berhak untuk memilih agamamu sendiri. Ini berat bagi Papa dan Mama. Namun Papa hargai kejujuranmu. Silahkan saja kalau mau masuk Islam, Papa bersedia mengantarkanmu ke seseorang yang mengerti dan memahami Islam, agar mau mengajarimu.” jelas Papa panjang lebar. Aku bersorak sorai dalam hati. Syukurlah, Papa dan Mama memberi lampu hijau atas keputusanku. Meski aku mengerti, mereka tidak rela. Akupun memeluk Papa dengan sangat erat.
“Makasih pa” ucapku berbisik.
Sore harinya, Papa dan Mama mengantarkanku ke rumah teman Muslim Papa. Senyuman tak pernah lepas dari bibirku saat itu. Aku sangat bersyukur karena memiliki orangtua yang sangat bijak. Didalam rumah itulah, catatan sejarah berharga dalam hidupku ditorehkan. Untuk pertama kalinya aku mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dituntun oleh teman Papa tadi. Selanjutnya, aku telah resmi masuk Islam tinggal melaksanakan rukun-rukun yang selanjutnya. Papa terdiam mencoba menahan airmatanya, dan Papa mampu melakukannya.
“Makasih pa” ucapku seraya menyalami Papa dan Mama secara bergantian
“Iya nat, maafin Papa juga. Meski sekarang kamu adalah seorang Muslim, kamu tetap anak Papa”
“Pasti Pa, selamanya” ucapku dengan senyum lebar
“Papa ada hadiah untukmu. Ini ambil saja” kata papa sambil mengeluarkan sebuah bingkisan. Dengan segera aku cari tahu isinya. Ternyata sebuah jilbab berwarna putih. Aku jatuhkan tubuhku dalam pelukan Papa. Aku tumpahkan airmataku. Mama membelaiku dengan sentuhan lembut. Aku tidak bisa berkata-kata, aku tetap menangis dalam pelukan Papa. Aku rasakan airmata Papa jatuh. Papa… Mama… Terima kasih telah mengerti Natali.
***
Kini, aku berbaring di serambi masjid pesantren. Mataku belum terpejam juga. Jika teringat Papa dan Mama, aku ingin menangis. Meski kedua orangtuaku berbeda agama denganku, aku tetap sayang mereka. Betapa beruntungnya aku memiliki orangtua seperti Papa dan Mama. Beliau sangat pengertian. Setelah aku resmi menjadi seorang Muslimah, Mama sering mengajakku belanja untuk membeli rok panjang, baju panjang, dan jilbab. Aku bahagia. Papa rela mengantarkan kami dan menunggu, selama Papa tidak sibuk bekerja. Saat itu, ditengah-tengah asyiknya belanja, terdengar suara adzan.
“Nat, sudah waktunya shalat ya?”
“Iya Pa”
“Papa antar?”
“Tidak perlu Pa, Papa dan Mama nunggu disini aja. Setelah selesai shalat, Natali kesini lagi”
“Oke. Papa tunggu di restoran itu. Gimana?”
“Oke Pa”
Akupun berlalu. Aku terharu dengan rasa pengertian Papa dan Mama. Aku menuju ke Mushala dengan mata berkaca-kaca. Sungguh indah jika mengingatnya.
Malam ini dibawah selimut, aku coba memasuki dunia mimpi. Bismikallahahuma ahya wabismika amut.
***
Tet… tet… tet… Kudengar suara bel saling bersahutan. Beginilah suasana di pesantren sekitar pukul 02.30 pagi. Aku paksakan diri untuk berjalan ke kamar mandi agar mendapatkan antrian wudhu’. Selanjutnya, aku masuki barisan jama’ah shalat tahajud. Delapan rakaat usai aku kerjakan. Di atas sajadah merah pemberian Mama, aku munajatkan do’a untuk kedua orangtuaku. Air hangat membasahi pipiku, aku menangis lagi. Aku hanya berharap Papa dan Mama mau berjalan searah denganku, tapi aku tidak bisa memaksa kedua orangtuaku untuk memiliki keyakinan yang sama denganku. Aku hanya bisa mendo’akannya saja. Setelah itu, akupun membaca Al-Qur’an dan terhanyut didalamnya. Lagi dan lagi aku menangis. Terima kasih Papa, terima kasih Mama. Telah membantuku untuk masuk di pesantren ini. Dengan berat hati Papa membolehkanku masuk pesantren. Lebih-lebih Mama, beliau awalnya sangat berat melepasku. Tapi, demi kebahagiannku Papa dan Mama rela menuruti kemauanku. Papa berkata “Jika kamu yakin akan pilihanmu, jangan melakukannya setengah-setengah. Papa senang kamu mau bersungguh-sungguh menjadi seorang Muslimah. Belajar yang benar ya nat…” Senyumku mengembang dan tak pernah pudar. Papa dan Mama mau mengantarkan dan mengurus segala keperluanku di pesantren. Saat itu Mama terlihat anggun, memakai celana panjang yang dipadukan dengan baju tertutup dan kerudung yang menutupi sebagian rambutnya. Meski Mama umat kristiani, tapi Mama rela untuk beradaptasi dengan lingkungan baru putrinya di dunia pesantren. Aku bangga pada Papa dan Mamaku.
***
Seusai shalat subuh dan ngaji kitab kuning, aku tunaikan shalat dhuha. Lalu berbaring sebentar di atas sajadahku. Aku belum ingin ke kamar. Sekarangkan hari libur sekolah, biarlah aku habiskan pagiku disini. Entah mengapa aku sangat merindukan Papa dan Mama. Dulunya aku kira, setelah aku menjadi seorang Muslimah, Papa dan Mama akan membenciku dan tidak menyayangiku seperti dulu. Ternyata dugaanku salah. Liburan semester kemarin, aku habiskan di rumah. Dengan bahagia yang amat sangat, Papa dan Mama menyambutku. Banyak perubahan yang aku lihat. Kini tidak ada anjing yang setia menemani keluargaku. Entah kemana aku tak tahu, aku paham maksud orangtuaku tentang hal ini. Selama aku di rumah, Mama tidak pernah sekalipun masak babi panggang. Aku benar-benar terharu dengan sikap kedua orangtuaku. Mama pernah berkata kepadaku
“Nat, nanti kalau sudah tiba waktu kamu puasa, Mama akan siapkan masakan buat buka dan sahur disetiap harinya. Gimana?” tanya Mama
“He… makasih Ma. Tapi tidak perlu repot-repot Ma. Telur dadar saja cukup” jawabku
“Jangan Ma… Papa juga mau menemani Natali makan. Jadi Mama harus masak banyak” sambung Papa
“Papa bisa aja” balasku
“Nat, nanti kalau bulan Ramadhan tiba dan Papa ada waktu kosong, kita makan bersama diluar. Sekalian nemenin kamu buka puasa. Gimana?”
“Setuju Pa” jawabku disertai sebuah senyuman.
Berulang kali aku ucapkan hamdalah dalam hati. Bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan padaku. Aku kira, niatku masuk Islam akan sesulit muallaf-muallaf lain. Yang ditentang keluarga, hingga penyiksaan dan aksi kabur dari rumah. Melihat Papa dan Mama, hatiku damai. Tidak ada yang berbeda dari mereka.
Kulangkahkan kaki menuju kamar. Banyak tugas yang harus aku lakukan. Cuci piring, rendam baju, beres-beres lemari, beli makan, dan piket kamar. Aku baru ingat kalau kali ini jadwalku piket.
“Dari masjid nat?” tanya salah seorang teman kamarku
“Iya”
“Piket ya…” katanya mengingatkan
“He’em. Inget kok bos” jawabku bercanda
Akan aku lalui ratusan hari-hariku di pesantren ini. Bersama ratusan santriwati lainnya. Dengan diselingi tawa dan derai air mata. Papa dan Mama akan selalu aku sebut dalam do’a. Terima kasih Papa. Terima kasih Mama. I will always love you.
THE END

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes