Home cerpen Izinkan Aku Memanggil Abi (Cerpen)
Izinkan Aku Memanggil Abi (Cerpen)
Atiya Fauzan December 04, 2010 2
“IZINKAN AKU MEMANGGIL ABI”
“Labaikallahumma labaik”… Ku ucap hamdalah dalam hati,kudengar para tetangga menggemakan takbir,tak berhenti aku bersyukur pada sang Ilahi Rabbi karena bapak dan ibu diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Mobil beriringan mengantarkan bapak dan ibu ketempat berkumpulnya para jama’ah haji dikota madya. Saat ini pertemuan terakhir aku dengan bapak dan ibu sebelum beliau berangkat ke baitullah. Bapak menjatuhkan airmatanya, untuk kedua aklinya kulihat seorang bapak yang aku kagumi dan aku banggakan menangis, pertama kalinya ketika bapak melepaskan kepergianku untuk masuk dipondok pesantern ketika lulus SD. Aku tersenyum mencoba untuk tegar, tak bias kutahan, aku menangis juga. Kuhempaskan tubuhku dalam pelukan bapak, beliau mengecup keningku dan berbisik “kamu kembali kepondok ya,,,belajar yang rajin. Bapak akan baik-baik saja. Kamu minta oleh-oleh apa nak?” aku hanya menjawab“Bapak kembali ke Indonesia dalam keadaan sehat walafiat, itu sudah cukup”. Bapak tersenyum mendengar jawabanku, lalu akupun bergatian memeluk ibu. Lambaian tangan dan salam menjadi salam perpisahan kami. “Allahu Rabbi, jagalah kedua orangtuaku, lindungi bapak ibuku, dan jadikanlah haji yang mabrur” doaku dalam hati seraya pergi menuju mobil.
Esok aku akn kembali kepondok, sudah ahbis masa izin pulangku. Pondok oh pondok, begitu sulit kulangkahkan kai untuk menuju penjara suci itu. Seabrek kegiatan akan kujalani kembali. Berpisah dengan bapak dan ibu sudah bias abgiku sejak setahun lalu aku sudah dimasukkan kepondok, tapi perpisahan sekarang amat berbeda karena bapak dan ibu tidak berada di Indonesia. Aku harus tegar, aku harus turuti nasehat bapak, belajar yang rajin bukan malah menangis. Ya…aku harus kuat,toh bapak dan ibu hanya satu bulan lebih disana bukan untuk selamanya. Aku patut bersyukur karena bapak dan ibu kesana untuk menunaikan ibadah haji bukan untuk menjadi seorang TKI/TKW. Bapak…ibu… putrid kalian sangat merindukan kalian.
Hari ini aku mulai lagi aktifitas dipondok pasca pulkemarin, mungkin semua santri sama sepertiku, mengeluh dan mengeluh. Dikit-dikit bel menjerit harus ini itu. Fiuh… lelah itu jelas selalu ada tapi aku tak boleh kalah dengan rasa malas ini karena jika aku tak bias menahan lelahnya belajar maka aku harus siap untuk merasakan pahitnya kebodohan. Ayo semangat !!! Masa’ sich seorang Adelin Nauli Fitriana kalah sama yang namanya lelah dan malas. Yupz ! namaku Adelin Nauli Fitriana, biasa dipanggil “nauli”, nama yang bagus bukan??? Ini merupakan nama pemberian bapak ketika aku untuk pertama kalinya menghirup segarnya dunia 12 tahun lalu. Bapak…ibu… aku teringat lagi kepada kedua orangtuaku. Bagaimanakah keadaan orangtuaku disana? Apakah baik-baik saja? Aku takut jika mendengar cerita orang-orang yang menunaikan ibadah ahaji pada tahun-tahun sebelumnya, ada yang biulang banyak yang terinjak-injak, banyak yang terkena lemaparan batu dll. Ya Allah… aku rindu orangtuaku, tolong jaga dan lindungi keduaorangtuaku dimanapun berada.
Sebulan berlalu, aku jalani hari-hariku dipondok dengan penuh sejuta rindu untuk bapak dan ibu. Hari ini telah lama aku nantikan, menyambut bapak dan ibu yang baru dating dari Baitullah. Ada satu orang lagi yang menyimpan rindunya untuk bapak dan ibu, yakni Maz Irwan. Dia satu-satunya saudarku karena kami hanya dua bersaudara. Meskipun Maz Irwan telah berkeluarga tapi sayangnya padaku tidak pernah memudar, aku seperti tidak pernah kehilangan sosok seorang kakak yang sangat menyayangiku. Maz Irwan sudah seperti ayah kedua bagiku setelah bapak, karena Maz Irwanlah yang mengunjungiku di pondok, mengambil raportku, menjemputku dari pondok, karena sejak lulus SD bapak sudah sering sakit-sakitan. Seperti halnya kali ini, Maz Irwanlah yang menjemputku dari pondok, karena nanti sore bapak dan ibu akan dating. Senyum dan tawa tak bias kusembunyikan lagi. “ Ya Allah, semoga bapak dan ibuku pulang dengan selamat” doaku dalam hati.
Sesampainya di rumah, aku kenakan gamis putih yang aku padu padankan dengan jilbab berwarna senada. Aku bersiap-siap berada didepan rumah beserta sanak keluarga dan tetangga untuk menyambut kedatangan bapak dan ibu dari tanah suci Makkah, hiruk pikuuk suasana yang kulihat, ramai sekali. Beginilah kalau di desa, kental dengan sikap kekeluargaan. Aku lihat Maz Irwan sibuk kesana kemari. Aku dan Maz Irwan tidak ikut dalam rombongan mobil yang menjemput bapak dan ibu, kami hanya menyambuut bapak dan ibu dirumah. 30 menit berlalu, deru suara mesin mulai terdengar. Akhirnya bapak dan ibu dating. Tak aku hiraukan lagi suasana disekelilingku, aku terus berjalan menuju mobil, kulihat bapak dan ibu dengan wajah lelah dan haru dikerumuni oleh banyak orang, lalu aku jatuhkan tubuhku dalam dekapan bapak. Aku menangis, bapak dan ibupun demikian. Semua orang diselimuti dalam tangis kebahagiaan. Kuucapakan hamdalah berkali-kali, terima kasih Ya Allah, telah Engkau lindungi kedua orangtuaku.
Suatu ketika dikamarku, disaat bapak dan ibu sedang santai, beliau membantuku untuk mengemasi barang-barangku yang akan dibawa ke pondok, karena jatah pulangku dari pondok telah habis. Aku senag bisa berada disisi kedua orangtuaku. Ada banyak oleh-oleh yang aku dapatkan dari bapak dan ibu. Ditengah kehangatan ini, ibu memulai pembicaraan
“Nak… nanti yang betah kalau sudah kembali ke pondok, jangan mikirin apa-apa”
“Iya, bapak dan ibu kan sudah dating” sambung bapak
“Iya pak,bu.” Jawabku
“Kamu tetap panggil bapak dan ibu?” Tanya ibu
“Iya bu, memangnya kenapa?”
“Ibu kirain kamu seperti mazmu, yang ganti panggil abi dan umi, bukan bapak dan ibu lagi”
Aku hanya tersenyum. Putrimu masih malu bu, belum terbiasa, setelah pulang lagi nanti, insya allah aku akan memanggil bapak dan ibu dengan sebutan abi dan umi. Tapi tidak untuk saat ini, semoga orangtuaku mengerti.
Hmmm… pondok lagi, pondok lagi. Aku harus kembali lagi ke pondok ini, tapi apalah daya, ini merupakan kewajibanku untuk menuntut ilmu, aku harus ikhlas, aku harus terus belajar dan belajar. Mencari ilmu tidak mengenal lelah. Aku yakin jika sesuatu hal dilakukan dengan ikhlas, maka semuanya terasa indah dan tidak akan ada beban. Sepekan, dua pecan, tiga pekan telah berlalu, aku jalani seluruh aktifitas seperti biasa. Jam mulai menunjukkan angaka 07.00, berarti lima belas menit lagi sudah waktunya masuk kelas. Segera aku rapikan buku-buku yang telah aku siapakan sejak tadi malam. Langkahku terasa berat menuju sekolah, tiba-tiba aku sangat merindukan bapak dan ibu. Wajar saja seorang anak merinduka orangtuanya yang jauh dari pandangan matanya.
Teet… teet… teet… bel sekolah menjerit-jerit dan mengembalikan kesadaranku. Barusan aku melamun, melamunkan wajah teduh dan dami kedua orangtuaku. Aku percepat langkah menuju kelas. Alhamdulillah, ustadnya belum datamg, lima menit kemudian ustad Firdaus sudah memasuki kelas. Beliau adalah ustad yang mengajar ilmu Nahwu dikelasku. Setengah jam berjalan, lalu tiba-tiba dipintu kelas muncul seorang wanita berjilbab mengucapkan salam, wanita itu sudah tidak asing lagi bagiku. Bibi ! Aku kaget, kenapa bibi tiba-tiba kesini? Hari inikan bukan waktunya mengunjungiku kepondok. Bibi sedikit berbincang-bincang dengan ustad Firdaus, aku dan teman-teman dikelas tidak begitu jelas mendengarnay. Dan ustad Firdaus mempersilahkan aku untuk tidak mengikuti pelajarannya kali ini. Karena menurut bibi memang ada keperluan yang penting. Aku patuh saja, kutinggalkan kelas dengan langkah penuh Tanya. Tak kuat menyimpan rasa penasaran, akhirnya aku bertanya juga pada bibi
“Bi, memangnya ada keperluan apa? Kok kayaknya penting banget”
“Tidak ada apa-apa kok, kamu Cuma mau diajak liburan sama maz irwan mu, sekarang kamu langsung pulang, bibi barusan sudah mengurus perizinannya dipondok, kamu kemasi saja barang-barangmu”
“Hah? Pulang?” tanyaku terheran-heran. Aku berteriak dalam hati, hore…
Selama perjalanan pulang aku merasa bahagia, akhirnya bisa pulang juga, tapi ada perasaan aneh. Aku merasa cemas, takut, dan khawatir. Ada apa ini? Seharusnya perasaan ini tidak ada, karena aku akan pulang, tapi biarlah, semoga prasangkaku salah. Yang penting, aku sekarang pulang. Bapak.. ibu.. I’m coming. Oops, maksudnya Abi.. umi.. I’m coming.
Dari kaca mobil kulihat mulut gang menuju rumahku dan aku heran ketika melihat masjid dekat rumahku yang lebih tepatnya berada disamping mulut gang, sangat ramai sekali, dipenuhi orang-orang berkopyah dan bersarung, kok bisa? Ini kan bukan hari jumat.
“Bi, ini kok ramai sekali”
“Oo.. ini ada pengajian” jawab bibi agak sedikit gugup.
Aku hanya diam saja, sebentar lagi aku akan bertemu dengan abi dan umi.(he…). Ditengah-tengah lamunanku, mobil tiba-tiba berhenti, ternyata sudah ada didepan rumah. Aku kaget setengah mati, melihat rumahku dipenuhi orang-orang yang tak aku mengerti sedang apa mereka dirumahku. Merka semua melihat kearah mobil dengan linangan airmata. Tangis? Liburan dengan tangisan? Apa hubungannya? Meski aku masih duduk dikelas VIII SMP, aku mengerti bahwa bibi membohongiku. Aku amati orang tersebut, kulihat ada umi dan Maz Irwan di teras rumah. Abi kemana? Kok tidak ada.
“Nauli, ayo cepat turun!”
Iya bi, ini sebenarnya ada apa?”
“Ayo nauli, turun dulu”
Aku turuti kata-kata bibi, benar dugaanku tentang kebohongan yang diciptakan bibi, tidak mungkin aku pulang untuk liburan dengan Maz Irwan. Aku tidak melihat abi, mungkin beliau masih dimasjid, mengikuti keramaian tadi, tapi kenapa orang-orang ini menangis. Banyak tanya yang aku simpan, langkahku gontai dengan kepala penuh pertanyaan, keringat dinginpun mulai membanjiri sekujur tubuhku. Aku cium bergantian punggung tangan umi dan Maz Irwan, kulihat mata keduanya sanagat sembab.
“Assalamu’alaikum umi” sapaku pada umi, mungkin merasa asing dengan panggilan yang aku tujukan pada beliau barusan. Umi tetap terus menangis, beliau tak menjawab salamku.
“Umi.. maz…, abi mana?”
Umi merangkulku keras, dan semakin keras pula tangisannya.
Maz Irwan dan umi menuntunku ke ruang tamu, kulihat disana ada abi, terbujur kaku.
“Abi…………..” teriakku
Tak bisa kupercaya, abi telah dipanggil oleh Sang Ilahi Rabbi. Aku cium abi untuk yang terakhir kalinya. Akupun menangis histeris dan setelah itu aku sudah tidak sadarkan diri, samara-samar aku lihat disekelilingku, dengan lirih aku berucap, “izinkan aku memanggila abi”.
About Author
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
atiya.....
ReplyDeletejangan buat aku menangis
atiya.....
ReplyDeletejangan buat aku menangis