Gue Koruptor? (Cerpen)

Pagi. Di sebuah rumah minimalis kompleks perumahan pusat kota Jember. Anita, ibu rumah tangga tulen yang sudah 6 bulan tahun menyandang status sebagai seorang istri, sibuk melakukan aktifitas pagi rutin hariannya. Memasak, menata menu sarapan, membersihkan rumah, dan menyiapkan keperluan kerja suaminya. Tepat pukul setengah tujuh pagi, 30 menit sebelum sang suami berangkat kerja, meja makan sudah nampak lengkap dengan menu spesial favorit mereka berdua, nasi goreng, telur gulung, dan omelet daging.

“Mas pulang jam berapa hari ini?” tanya Anita sembari menyendokkan nasi dan lauk ke piring suami tercinta.

“Sepertinya telat, soalnya ada tugas tambahan di kantor. Kenapa dek?” jawab si suami

“Begini, nanti siang ada arisan. Adek mendapatkan info di grup BBM untuk iuran sosial, karena ibu-ibu akan melakukan bakti sosial” jelas Anita.

“O… terus?” sang suami mulai mengunyah suapan pertamanya.

“Untuk uang arisan, adek sudah pegang. Tapi untuk iuran sosial, adek belum pegang.” Anita membuat pernyataan dengan suara lembut.

“O gitu, Adek tidak perlu keluar ke ATM. Mas ada uang tunai. Berapa iurannya dek?”

“Lima ratus ribu”

“Baiklah” si suami tersenyum penuh cinta.
Gue Koruptor? (Cerpen)
Diwaktu yang sudah dijadwalkan, Anita bersiap dengan pakaian rapi, untuk menghadiri acara arisan bulanan ibu-ibu kompleks. Sesaat sebelum ia melangkahkan kaki meninggalkan gerbang rumahnya, smartphonenya bergetar, pertanda ada pesan masuk.

[Assalamu’alaikum Mbak Anita. Saya telat sekitar 30 menit. Acaranya dimulai saja dulu. O ya, untuk iuran sosial 250ribu, mohon dikoordinir terlebih dahulu. Ibu Sofiah]

Anita membacanya, dan lantas tersenyum. Bibirnya melebar penuh makna.

Siang. Di sebuah sekolah yang memiliki kantor (ruang guru-red) yang cukup luas dengan fasilitas super lengkap. Betty, wanita yang memiliki profesi mulia, yakni sebagai guru. Asyik duduk menikmati waktu istirahat di depan rentetan gadgetnya. Memainkan handphone, mengotak-ngatik laptop, membaca koran, dan semua itu ia lakukan tanpa beranjak dari kursi ‘empuk’nya. Tidak terasa, waktu istirahat berlalu, bel berdering keras. Pertanda siang semakin terik, siswa harus masuk kelas untuk menerima materi, dan guru juga harus masuk kelas untuk berbagi materi yang ia miliki ilmunya serta pengetahuannya. Namun, Betty tidak beranjak. Ia masih asyik dengan aktifitas santai siangnya, lengkap dengan cemilan ringan di atas meja. 15 menit berselang, ada seorang siswa yang menghampiri meja Betty.

“Ibu Betty, saat ini ibu ada jam mengajar di kelas saya. XI IPA-2. Ruangannya di TB-3” ucap si siswa tepat berdiri di depan meja kerja Betty.

“Kamu ketua kelasnya?” tanya Betty seraya memerhatikan wajah si siswa langsung.

“Bukan bu. Ketua kelas kami sakit, saya yang mewakili”

“Saya titip pesan untuk kelasmu, tolong dicatat ya. Kerjakan LKS halaman 16-20. Dikumpulkan di meja saya” ujar Betty menugaskan.

“Ibu sakit atau ada tamu?” si siswa bertanya penuh perhatian.

“Ada hal yang harus saya kerjakan” jawab Betty.

“Baik bu” balas si siswa disertai senyum dan kemudian pamit pergi. Entah si siswa bahagia atau kecewa mendapatkan tugas dari seseorang yang mendidiknya.

Hingga jam pulang sekolah pun, tak ada hal berarti yang dikerjakan oleh Betty. Hanya bercengkerama dan gadget-gadgetnya. Setelah bel pulang terdengar di seluruh penjuru sekolah, akhirnya Betty beranjak. Merapikan meja kerjanya dan berlalu pulang. Hanya tersisa tumpukan LKS yang ia tugaskan pada para siswa-siswinya.

Sore. Di sebuah kamar kos, dipinggiran kota Jember. Caca, seorang ghostwriter muda terlihat cukup sibuk. Dalam ruang berukuran 4x4 tersebut, Caca menghabiskan 20 jam waktu yang ia miliki dalam sehari semalam. Seperti biasa pemandangan yang terlihat dari kamar tersebut, kamar mandi, satu set tempat tidur, tumpukan buku, satu set meja belajar, lengkap dengan Caca yang bertengger di atas kursi dengan pandangan seratus persen fokus dan serius pada laptop, tak lupa sebuah headset menempel di telinganya, dan beraneka ragam camilan tepat berada di samping jemarinya yang merangkai sebuah tulisan. Terlihat sepi jika dilihat dari luar, tapi bagi Caca pribadi, hidupnya sudah sangat ramai, dengan dentuman musik dan ribuan kata yang harus ia tulis setiap hari. Cling. Handphone Caca bernada dering bak bunyi tongkat milik para peri dari negeri dongeng. Sejenak, Caca beralih dari laptop menuju handphone.

[Sist choco, judul yang sudah disetujui kampus sudah aku email. Mohon bantuannya.]

Caca membalas pesan tersebut.

[Baiklah. Proposal penelitian aku kirim akhir bulan. Tanggal skripsi jadi belum bisa aku tentukan karena aku akan lihat tingkat kesulitan penelitianmu dulu. Terima kasih telah percaya padaku. Choco]

Tanpa menunggu menit, Caca mendapat sebuah balasan.

[Aku percaya padamu sist choco. Uang muka sudah aku transfer sejam yang lalu]

Caca tersenyum dan membalas.

[Oke]

Malam. Di sebuah cafe modern di tengah pusat kota Jember. Sekolompok wanita bersahabat, Anita, Betty, dan Caca terlihat duduk di meja yang sama dan menikmati hidangan yang sama pula. Meski sudah hampir satu dekade bersahabat, perselisihan di antara tiga wanita dewasa tersebut, bukan tidak mungkin untuk terjadi.

“Malam ini, aku yang bayar” Anita membuka obrolan.

“Dapat bonus dari suami?” tanya Betty. Sedangkan Caca diam saja, bergantian memandang sosok dua sahabat di hadapannya tersebut.

“Hmmm… dari suami sih, tapi lebih tepatnya bonus dari sisa uang iuran sosial” jawab Anita semabri ternyum lebar.

“Iuran itu tertera dengan pas biaya yang harus dibayarkan. Tidak pernah bersisa. Kamu ini kayak anak sekolahan aja, yang bohong uang SPP” Betty menanggapi pernyataan Anita. Caca tetap terdiam sambil menyimak obrolan tersebut.

“Tapi kan uang suamiku sendiri Bet. Hanya dua kali lipat. Suamiku cari uang ya buat aku dan demi aku” Anita membela diri sendiri.

“Anita sahabatku sayang, meski satu rupiah pun yang kita gunakan, itu harus atas ridho dan ijin suami. Itu artinya, kamu belum paham tentang hak dan tanggung jawab dalam hubungan suami istri. Haduh, pengantin baru ya” sindir Betty. Caca masih bungkam.

“Bet… Bet.. kamu kayak yang paham saja sama hak dan tanggung jawab. Seharian ini kamu online kan? Padahal hari ini katanya kamu punya jadwal jam mengajar yang padat. Gimana tuh?” Anita mencecari Betty dengan dua pertanyaan sekaligus.

“Aku sadar tanggung jawabku, siswaku sudah aku beri tugas sebelumnya untuk mengerjakan LKS. Beres” jawab Betty. Dan Caca hanya bisa menguap mendengar obrolan panas tersebut.

“Tapi kan tetap saja, kamu tidak memiliki alasan kuat untuk tidak masuk kelas. Yang menerima gaji itu kamu apa LKS?” Anita bertanya dengan wajah serius.

“…” Betty terdiam.

“Sudahlah, kalian itu semua salah. Membohongi suami demi uang tambahan dan tidak menjalankan tanggung jawab dengan  benar. Tidak ada yang menang dalam kasus ini, kalian berdua aku stempel sebagai koruptor teri” akhirnya Caca membuka suara dengan pernyataan panjang. Anita dan Betty sontak kompak menatap Caca penuh tanya.

“Kamu hakim Ca? Kamu bukan koruptor teri juga?” tanya Anita.

“Iya, kamu kan membantu oranglain dalam keburukan. Mengerjakan skripsi oranglain dan akhirnya diakui sebagai skripsi orang tersebut. Itu artinya kamu sudah membantu oranglain untuk malas dan bodoh” ujar Betty.

Caca akhirnya melakukan pembelaan diri, “Aku kan baru akhir-akhir ini melakukan itu. Kasihan, mereka butuh bantuan, mereka harus lulus kuliah”

Anita coba menengahi semua obrolan yang seperti tidak akan berujung tersebut, “Baiklah, kita semua salah. Kita terlalu asyik dan terlalu nikmat melakukan kesalahan kita. Tapi beruntung, kita membicarakannya, sehingga kita sadar bahwa sesuatu hal yang salah tidak pernah memiliki alasan yang benar dan sekecil apapun kesalahan itu, salah tetap salah, dosa tetap dosa. Tidak ada kesalahan yang sepele, semua kesalahan itu serius, dan harus diperbaiki. Kita koruptor teri, karena sudah melakukan perilaku korupsi. Dan jangan sampai menjadi koruptor kakap, karena melakukan tindakan korupsi. Setuju?”

“Aku tidak setuju” sanggah Caca.
“Terus?” tanya Betty.
“Kita mantan koruptor kelas teri” jawab Caca lantas tertawa kecil.

*Semoga kita dihindarkan dari perilaku korupsi dan tindakan korupsi.

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes