Cerita Dibalik Lampu Merah

Sore itu, seperti biasa sepulang sekolah aku menaiki angkot menuju ma’hadku tercinta. Sudah menjadi favoritku untuk duduk di pojok belakang dekat jendela, membuka kaca, menikmati segarnya udara jalanan yang tercampur polusi, serta melahap pemandangan yang sudah ribuan kali aku lihat (A.Yani – Trunojoyo – Gajah Mada – Hayam Wuruk – Otista). 

Berbincang-bincang dan berakrab ria dengan sesama penumpang angkot yang ramah sudah menjadi rahasia umum. Pertemuan yang hanya 20 menit mampu mengantarkan banyak cerita. Mulai dari adik-adik pelajar, ibu-ibu, sampai kakek nenek yang tua renta. Dan, senja itu di perempatan lampu merah Pasar Tanjung, ada satu hal yang menarik. Kala itu aku duduk di pojok belakang sebelah kanan. 
Cerita Dibalik Lampu Merah
Biasanya, aku seorang diri menatap ke luar jendela, namun sekarang hamper seluruh penumpang jua mengikuti arah tatapan keluar. Karena penasaran, aku mengikuti ekor mata mereka dan mencari sumber obyek. Benar saja, dua orang pemudi dengan rambut pirang kecoklatan berboncengan menggunakan motor Be*t, kulit putih bersih, mengenakan kaos berlengan pendek ketat, bercelana pendek pula dengan ukuran tidak lebih 30 cm, dilengkapi dengan kaki jenjang yang diterpa secercah mega merah sore, tepat berada disamping depan angkot yang aku naiki. Meski tidak tahu seperti apa wajah sempurnanya, semua kaum adam disekitarnya takjub menikmatinya, mungkin dalam hati mereka berkata, “andai lampu merah ini lebih lama”. Aku menggambarkan kaum pria demikian, karena tepat saat kejadian, sebuah pick up yang berada tepat di belakang 2 pemudi yang bak batu akik langka di hiruk pikuk padatnya arus lampu merah itu, sontak membuat sang sopir pick up dan asistennya grusa-grusu (terburu-buru) mengambil handphone dan mengabadikan momen yang dianggap rejeki itu.
Melihat semua fenomena itu, ibu-ibu yang duduknya berhadapan denganku langsung berkomentar, “Wong lanang ndelok wong wedhok koyok ngunu, persis karo wong wedhok ndelok barang diskonan, nafsu nemen. Makin akeh seng kethok yow makin akeh diskone. Tambah seneng akhire (Pria yang melihat perempuan seperti itu, sama dengan ketika perempuan melihat barang diskon, sangat bernafsu. Makin banyak yang kelihatan ya makin banyak diskonnya. Tambah senang tentunya.)” ujarnya tanpa tertuju pada siapa-siapa berharap ada yang menanggapi komentarnya tersebut. Bapak paruh baya yang menggunakan batik rapi, ternyata tertarik dengan tema ini dengan membalas sang ibu-ibu, “Jujur ae buk, kabeh wong lanang seneng ndelok e. Tapi yow mek gawe guyonan lan seneng-seneng, gak gawe niat utowo gawe serius. Podho karo wong wedhok ndelok klambi diskonan, yow paleng dituku, digawe sepisan utowo digawe neng pawon terus gawe keset, gak kiro digawe riyoyo kan (Jujur saja bu, semua pria senang melihat hal demikian. Tapi itu hanya dibuat becanda dan senang-senang saja, tidak ada niat atau dibuat serius. Sama dengan ketika perempuan melihat baju diskonan, mungkin dibeli, dipake sekali, dipake di dapur dan dijadikan keset deh, tidak mungkin dipakai hari raya kan.)” Dan obrolan pun berlanjut dengan gelak tawa

Post a Comment

My Instagram

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes